Rabu, Desember 17, 2008

Salim dan Mocin, Merentas Kendala Dakwah

Hari sudah beranjak sore ketika Salim berkemas, mempersiapkan semua perlengkapan untuk berbicara di depan para peserta Pelatihan Muballigh di sebuah pesantren. Panitia pelatihan mengundangnya memaparkan materi tentang pengantar Ilmu Falak Dasar ditinjau dari sudut ilmiah kekinian.

Meski ini pengalaman pertamakali menyampaikan ilmu falak, ia tetap bersemangat menyiapkan segala sesuatunya. Bekal sudah ia dapatkan. Ia banyak menyimak Ustadz pembimbingnya berbicara masalah ini. Juga beberapa referensi yang didapat dari sumber informasi modern, internet. Materi dalam bentuk power point pun sudah ia siapkan. Ia bergumam dalam hati kecil, Ya Allah mudahkanlah urusanku, janganlah Engkau persulit. Ya Allah sempurnakanlah Kebaikan-Mu padaku.

Motor Cina kreditan dari kantor telah siap sedia. Banyak kisah suka dan duka yang ia alami bersama motor kesayangannya ini. Sebuah anugerah istimewa dari Allah yang ia peroleh seusai mengelola program sosial untuk narapidana dan tahanan di sebuah lembaga pemasyarakatan di Tangerang. Walau harus mencicil, mocin ini dianggapnya sebagaimana bouraq Rasulullah SAW ketika melakukan Isra dan Mi’raj. Sebuah kendaraan yang memiliki misi dakwah. Dan memang itulah tugas yang sedang diemban mocinnya. Dengan mocin merahnya ini, Salim telah banyak menyelesaikan tugas dakwah ke berbagai lokasi di Jobodetabek.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, mocin yang sudah menemani Salim selama dua tahun lebih ini harus dicek di sana-sini. Maklum kalau mocin sudah ngadat, ongkos perbaikannya nggak tanggung-tanggung, bisa separo harga mocin bekas. Tekanan angin pada ban dicek, rem depan dan belakang demikian, tidak ketinggalan lampu-lampu. Hari ini Salim akan melakukan perjalanan dakwah yang lumayan jauh. Ke wilayah Bogor, tepatnya di Cilengsi.

Setelah semua siap, Salim berangkat. Perlahan ia arahkan mocin ke arah Jalan Raya Bogor, melalui Cawang – Cililitan – Kramat Jati - Cibinong. Ia putuskan untuk menyusuri Jalan Raya Bogor dan berbelok ke arah Citeureup. Karena jalur ini yang sering ia lewati ketika berkunjung ke rumah kakak iparnya di kawasan Citeureup. Dari situ ia akan menyusuri jalan dua arah Citeureup-Cilengsi yang dipenuhi mobil-mobil truk pengangkut bahan dasar semen. Pikirnya, dengan melewati jalur ini maksimal pukul tujuh malam ia sudah tiba di lokasi pelatihan.

Manusia boleh berencana, tetapi Allah SWT Sang Pemilik Takdir. Hujan deras turun membasahi bumi ketika Salim baru sampai Condet. Ia tidak jadi menyusuri Jalan Raya Bogor melalui Kramat Jati karena khawatir terperangkap macet. Setelah beristirahat sebentar di depan sebuah Ruko yang telah ditinggal pulang karyawannya, Salim mengeluarkan jas hujan lalu mengenakannya. Salim kembali melanjutkan perjalanan.

Adzan Maghrib berkumandang ketika Salim sampai di Cibinong. Langit masih menurunkan hujannya ke atas bumi, walau sudah sedikit mengecil. Ia singgah di sebuah pom bensin dekat pintu tol Jagorawi, di Citeureup. Rupanya mocin kesayangannya ini kehausan. Memang, ia juga perlu beristirahat setelah dua jam lebih mematung diri, duduk di atas jok. Salim perlu peregangan otot, sekalian shalat Maghrib mumpung waktunya belum habis.

Usai istirahat, Salim bertanya kepada petugas pom bensin yang kebetulan melaksanakan shalat Maghrib bersamanya, “Permisi Mas, numpang tanya. Kalo ke arah Taman Buah Mekarsari, berapa kilometer lagi, ya? Kira-kira jam berapa sampai sana?”

“E… kurang lebih 35 kilometer lagi, Pak. Ya…, tergantung kecepatan motornya. Kalo lari santai kira-kira satu setengah jam lagi deh dari sekarang,” jawab petugas pom bensin.

Salim kembali melanjutkan perjalanan. Gerimis masih belum reda. Kecepatan motor dipacunya perlahan. Ketika melalui jalan Cituereup-Cileungsi, ia harus ekstra hati-hati. Jalan beraspal menjadi licin karena diguyur hujan, sementara truk-truk pengangkut bahan dasar semen berjalan beriringan membentuk antrian semut. Salim harus cerdik mencari celah jalan untuk menyalip diantara antrian itu. Akhirnya Salim keluar dari perangkap antrian truk setelah melewati perempatan Cibubur-Bekasi-Cilengsi-Citeureup.

Setelah melewati perempatan itu, jalan relatif lebih sepi. Salim lebih leluasa memacu motornya ke kecepatan yang lebih tinggi. Namun ia tetap harus berhati-hati. Kadang ia harus nge-rem mendadak ketika berhadapan dengan perbedaan permukaan aspal. Maklum, ternyata sedang ada pengerjaan perbaikan jalan di jalur tersebut.

Di depan pintu gerbang Taman Buah Mekarsari, Salim menghubungi panitia melalui ponsel. Ia dipandu untuk sampai ke lokasi pelatihan. Salim masih beranggapan bahwa lokasinya pasti berdekatan dengan Taman Buah Mekarsari. Tetapi setelah mendengar panduan dari panitia, urat-urat tubuh Salim melemas. “Masya Allah, masih jauh rupanya,” lirih Salim. Tetapi karena sudah bertekad, Salim membuang jauh-jauh pikiran sempit itu. “Aku harus tiba di lokasi. Peserta sudah menungguku. Masa sudah jauh sampai sini, mau mundur. Jangan menyerah, Salim!” seru hati kecil Salim.

Berdasarkan panduan panita, Salim kembali menyusuri jalan raya. Sesekali Salim berhenti dan bertanya kepada penduduk yang ditemuinya. Sampailah ia di mulut desa tempat lokasi pesantren berada. Setelah bertanya kepada salah satu tukang ojek di dekat sebuah mini market dan ditunjukkan jalan ke arah pesantren yang dimaksud, hati Salim mulai berbunga. “Hmm… Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga,” gumamnya.

Tetapi, dalam melaksanakan sebuah kebaikan pasti ada ujiannya. Salim masih menyusuri jalan desa untuk masuk ke pesantren. Sebuah komplek perumahan sederhana yang kelihatannya baru dihuni oleh beberapa pembelinya, ia lewati. Selepas itu jalan menjadi gelap. Tidak ada penerangan. Lampu-lampu jalan desa padam. Ternyata PLN memadamkan aliran listriknya ke desa tersebut karena hujan yang terus turun sejak sore tadi.

Pandangan Salim kabur. Ia hanya mengandalkan penerangan mocinnya yang sudah mulai suram. Marka jalan menuju pesantren tidak bisa dilihatnya. Kini Salim mengandalkan ketajaman feeling. Sepertinya ia telah jauh masuk ke dalam desa. Cepat-cepat Salim mengeluarkan ponsel dan menghubungi panitia. Benar saja, ia tersasar cukup jauh. Kembali Salim dipandu.

Akhirnya Salim menemukan papan penunjuk lokasi pesantren. Ukurannya sangat kecil. Dengan kondisi yang gelap gulita sebagaimana saat itu, wajar saja papan itu tidak terlihat. Hati-hati Salim menyusuri jalan ke arah pesantren. Kondisi jalan tidak lagi beraspal. Tanah yang diguyur hujan sejak sore mengakibatkan becek. Salim harus meningkatkan kewaspadaan melalui jalur yang cocok untuk pembalap motocross.

Semakin ke dalam kondisi jalan semakin parah. Salim tidak berani menggunakan rem belakang. Khawatir ban belakang slip. Ia hanya berakselerasi dengan gigi satu. Kecepatan antara 0-10 km per jam. Di hadapannya jalan becek serasa kubangan lumpur. Salim masih belum tahu dimana lokasi pesantren sesungguhnya.

Tiba di sebuah jembatan kecil yang kondisi jalannya agak lebih baik dibanding yang lain, Salim melemparkan pandangan jauh ke depan. Semua serba gelap. Pandangannya terhenti di sebuah padang yang lapang. Ia tahu bahwa itu lapang karena ada pantulan cahaya dari kejauhan yang menerpa pandangannya. Tidak nampak sebuah kehidupan masyarakat di sana-sini. Kanan-kiri jalan kelihatan hanya ilalang setinggi satu meter. Salim mulai meragu. Jangan-jangan ia tersesat lagi.

Salim memutuskan berputar arah. Ia sempat melihat jalan setapak di kiri jalan yang barusan dilalui. “Mungkin jalan setapak itu yang sesungguhnya jalan menuju pesantren,” serunya lirih. Tiba di jalan itu, keraguan kembali menghampiri Salim. “Ah, kayaknya jalan ini nggak menuju pesantren. Daripada nyasar lagi, ya sudah Aku hubungi panitia lagi, deh.” Beberapa detik kemudian Salim mengeluarkan ponselnya. Ia kabarkan posisi mutakhir. Ternyata, benar. Salim kembali tersesat. Harusnya ia lurus terus di jalan tadi sebelum berputar arah dan harus melewati jalan berbecek yang tidak berujung.

Kemudian Salim kembali ke jalan berbecek. Ia semakin meningkatkan kewaspadaan agar tidak tergelincir. Setelah ia berlalu sejauh 100 meter, barulah ia temui pintu gerbang pesantren. Alhamdulillah. Akhirnya datang juga.

Di lokasi pesantren sinar lampu listrik tidak padam sebagaimana di jalan-jalan tadi. Rupanya komplek pesantren dialiri listrik dari generator. Tidak heran aktivitas pendidikan Islam tidak pernah berhenti. Salim disambut panitia dengan senyum gembira. Mereka pikir, Salim tidak akan sampai ke pesantren mereka. Tetapi, itulah Kuasa Allah. Jika Dia sudah Menghendaki terjadi, ya terjadilah. Salim memandangi motor dan dirinya. Kotor. Di sana-sini bercak-bercak lumpur menempel. Salim meminta ijin untuk membersihkan diri sebelum melakukan presentasi di depan peserta pelatihan.

Meruya, 16 Desember 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar