Kamis, Juli 29, 2010

Maklumat Abah Mengenai Kayfiah Dzikir Jahr

MAKLUMAT
No : 20.PPS.VI.1994

Bismillahirrohmanirrohim.

Dalam rangka meningkatkan ketertiban dalam melaksanakan pengamalan Thariqat Qadiriyah Naqsyabandiyah, maka dengan ini Abah mengharap:
1. Dzikir Jahr yang dilaksanakan secara berjamaah harus tertib, tartil/fasih seirama dan senada sehingga jelas terdengar hurufnya (LAA ILAAHA ILLALLAAH) : jangan ada yang cepat/kencang, ada yang lambat, tidak teratur, sehingga tidak bisa mencapai konsentrasi atau khusyu’.

2. Bila dzikir dilaksanakan sendirian, suaranya jangan keras-keras, terutama bila malam telah larut.
3. Dzikir karena terlalu khusyu’, sampai ingin menangis, hal itu dibolehkan, dengan catatan jangan sampai mengganggu orang lain, sehingga suasana menjadi goncang, hal tersebut harus dicegah.
4. Bilamana orang yang zikir dapat mengganggu orang lain, maka Imam harus bertindak untuk mencegah orang itu, yaitu dengan memperingati atau merendahkan temperatur suara dzikir secara bersama.
5. Berjamaah dzikir, baik di Mesjid maupun di rumah, hendaknya cukup mengikuti hitungan 165 kali, andaikata ingin lebih banyak, hal tersebut dapat dilaksanakan secara sendirian dengan suara yang tidak terlalu keras.
6. Bila ada yang kebetulan mendapatkan inkisyaful qolbi/terbuka hati, hal ini jangan diberitahukan kepada orang lain tapi cukup dirasakan sendiri sehingga makin mantap.
7. Senantiasa membaca, menghayati dan mengamalkan TANBIH.
8. Senantiasa meningkatkan peribadatan, dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah SWT.

Demikian harapan Abah, semoga para ikhwan dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

Suryalaya, 25 Juni 1992

Sesepuh Pondok Pesantren Suryalaya

KH. Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin

Jumat, Juli 23, 2010

Memperkuat Kompetensi Melalui Karya Tulis

KORWIL DKI JAKARTA terus mengasah kompetensi ikhwan-akhwat TQN di lingkungannya. Kali ini, pada Sabtu 26 Juni 2010, Korwil Jakarta mengirimkan duapuluhan ikhwan-akhwat untuk mengikuti Pelatihan Menulis Kreatif Non-Fiksi Islami yang diselenggarakan oleh Jakarta Islamic Center.

Pelatihan tersebut dinarasumberi oleh Asrori S. Karni (Wartawan Senior Majalah Gatra), H. Thobieb Al-Ashar, S.Ag, MSi (Tim Penyusun Pidato Menteri Agama RI dan penulis kreatif berbagai judul buku islami) dan Jaylani Ali Muhammad (Wartawan dan Editor Koran Seputar Indonesia).


Pegiriman ikhwan-akhwat TQN dalam pelatihan ini adalah wujud komitmen Korwil DKI Jakarta untuk menjadikan ikhwan-akhwat TQN Suryalaya yang Tangguh, Bermartabat dan Modern. Peningkatan kemampuan di bidang penulisan sangat penting, mengingat masih kurangnya informasi mengenai tasawuf dan TQN Suryalaya yang ditulis langsung oleh warga TQN Suryalaya.

Di zaman informasi dan teknologi sekarang ini keterampilan menulis sangat diperlukan. Masyarakat bisa dengan mudah digiring opininya pada sebuah persolan oleh hanya sekumpulan tulisan dalam artikel di media massa. Seringkali tulisan itu menjadi bahan diskusi oleh sebagian kuli warta di media elektronik. Tergantung seberapa unik judul dan konten tulisan. Begitu besarnya daya tarik sebuah karya tulis.

Sebuah laporan mengenai Piala Dunia yang baru berakhir beberapa hari yang lalu misalnya, tidak mungkin bisa dilaporkan tanpa kemampuan sang wartawan untuk menuliskan laporannya. Sementara itu, jika kita mencari informasi mengenai tasawuf di dunia maya, beragam informasi akan ditampilkan oleh internet. Dari yang mendukung hingga yang membenci bahkan mengharamkan.

Kiranya kemampuan menulis ini memang perlu diasah, meskipun rata-rata penduduk Indonesia yang sempat mengenyam pendidikan formal pernah melakukannya. Tetapi hampir dipastikan sedikit sekali yang memiliki keberanian untuk mempublikasikannya di media-media publik.

Para narasumber dalam pelatihan kali ini semuanya sepakat, untuk menumbuhkan kemampuan menulis, harus dilatih. Pak Thobieb bercerita, ia awali kegiatan menulisnya sejak duduk di bangku kuliah. Kala itu, Pak Thobieb yang berstatus mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Jakarta (UIN Jakarta sekarang) mengawalinya dengan banyak menulis untuk majalah dinding di kampusnya. Kemudian ia memberanikan diri untuk mengirimkan artikel-artikelnya ke salah satu surat kabar harian nasional. Artikelnya tidak langsung dimuat oleh surat kabar tersebut, perlu puluhan kali pengiriman artikel yang berbeda hingga dimuat di kolom opini. Karena itu ia sering mendapat ‘surat cinta’ (begitu rekan-rekan mahasiswanya sering menyebut) dari redaksi surat kabar tersebut saking seringnya artikelnya ditolak dimuat.

Namun akhirnya, penolakan demi penolakan itu menumbuhkan semangatnya untuk menulis lebih kreatif lagi. Sampai pada masanya ia mampu menulis berbagai tulisan dan tulisan-tulisannya pun dibukukan. Dari jari-jarinya yang gemar menari di atas computer, ia mampu menulis berbagai judul buku, diantaranya : “Bahaya Makanan Haram” (Al-Mawardi, Jakarta, 2002), “Fikih Gaul” (Syamil, Bandung, 2004), “Sufi Funky” (GIP, Jakarta, 2002), “Menuju Era Wakaf Produktif” (Mumtaz Publishing, Depok, 2007), dan lain-lain.

Mas Jaylani Ali Muhammad, punya cerita lain. Wartawan yang bermahkotakan rambut ikal panjang mirip mas “JAY” yang koreografer terkenal itu, memiliki kemampuan berbahasa baku yang hebat. Karena itu mas Jay dipercaya bertugas di bagian editor di kantornya. Mas Jay mengajak peserta untuk menyikapi sebuah paragaraf dalam salah satu contoh tulisan. Dalam tulisan itu tersurat beberapa kalimat yang tidak sesuai logika, bertentangan dengan historis dan tidak faktual.

Menurut Mas Jay, kesesuaian sebuah tulisan dengan logika, historis dan fakta yang ada di masyarakat sangat penting, apalagi jika tulisan tersebut bersifat non-fiksi. Karena itu untuk bisa membuat sebuah tulisan non-fiksi yang sesuai dengan tiga hal diatas, perlu banyak gizi pendukung. Gizi pendukungnya adalah banyak membaca!

Pada sesi latihan menulis, Pak Thobieb, mengajak seluruh peserta untuk menulis sebuah karya non-fiksi yang temanya diambil dari dua buah gambar yang ditampilkan pada screen projector. Dalam waktu lima belas menit, para peserta sudah banyak yang mampu menulis sesuai tema yang ditugaskan dan beberapa diantara mereka mendapatkan reward dari Pak Thobieb karena judul dan konten tulisan mereka yang unik.

Di akhir pelatihan, Ust. Abdul Latif (Kabid Pengembangan SDM Korwil DKI Jakarta) mengumpulkan para peserta dari TQN Suryalaya. Beliau berterimakasih atas kesediaan para ikhwan yang mau menjadi peserta pelatihan ini. Harapannya, setelah mengikuti pelatihan ini para peserta dihimbau agar mengirimkan karya-karya tulisnya ke www.tqn-jakarta.org untuk dipublikasikan di dunia maya. Semoga melalui pelatihan ini, semakin banyak ikhwan-akhwat TQN Jakarta yang mampu menghasilkan tulisan-tulisan kreatif dan banyak bermanfaat untuk masyarakat. (han)

Meruya, 21 Juli 2010

Meraih Qurbah Ilallah dengan Khataman Tamm

Jum’at malam, 9 Juli 2010, Korwil DKI Jakarta menggelar riyadhoh Khataman Tamm. Waktu pelaksanaannya mengambil berkah peristiwa Isra Mi’raj Rasulullah saw, yakni pada malam tanggal 27 Rajab. Bertempat di TQN Center Masjid Al-Mubarak, Rawamangun Jakarta Timur. Sebagian besar yang hadir adalah ikhwan-akhwat TQN Suryalaya se-DKI Jakarta di bawah usia 45 tahun.

Sebanyak 60 ikhwan dan 30 akhwat telah berkumpul di TQN Center sejak pukul 20.30 wib. Tidak ketinggalan para donatur yang telah menyiapkan beragam penganan untuk para jamaah yang melakukan riyadhoh.


Khataman Tamm, adalah dzikir khatam yang biasa dilafalkan oleh ikhwan TQN Suryalaya ba’da dzikir harian seusai sholat Maghrib dan seusai sholat sunnah Lidaf’il Bala (waktu ‘Isya), namun jumlahnya dibaca sesuai dengan yang tertera dalam kitab Uquudul Jumaan. Misal, Sholawat yang tertera dalam kitab tersebut harus dibaca 100 kali, ya dibaca 100 kali.

Riyadhoh atau latihan ini tidak lain untuk membiasakan ikhwan-akhwat TQN Suryalaya menjalani latihan fisik dan ruhani berdzikir semalam suntuk, meneladani para senior di dalam thariqah yang telah melakukannya terlebih dahulu. Sebagaimana Syekh Abdul Qadir al-Jaylani yang telah melakukan ibadah sholat dan dzikir sepanjang malam selama 40 tahun berturut-turut di masa-masa akhir kehidupannya. Mudah-mudahan pula waktu yang bertepatan dengan malam Isra Mi’raj turut membawa berkah dan meningkatkan spiritualitas para ikhwan-akhwat.

Bertindak selaku imam dalam dzikir Khataman Tamm, Ust. Handri Ramadian dan Ust. Andhika Darmawan. Keduanya bergantian mengimami dzikir, mengawal para ikhwan meleburkan diri dalam ikatan ruhaniah bersama Waly Mursyid, Pangersa Abah Anom.

Ritual Dzikir diawali dengan melakukan sholat sunnah muthlaq berjamaah. Lalu dzikir jahr dan khofiy. Dilanjutkan dengan dzikir khatam. Saat dzikir jahr saja, kesyahduan sudah mulai merasuk dalam tiap-tiap diri jamaah. Meskipun bukan sebuah ukuran kekhusyu’an berdzikir, sedu sedan dan isak tangis membahana dari lisan para perindu Rahmat Ilahi menambah suasana haru. Apalagi ketika Imam sudah mulai masuk pada rangkaian tawassul tujuh al-Fatihah. Dilanjutkan dengan pembacaan sholawat serta aurad-aurad lainnya.

Malam itu menjadi malam yang paling indah bagi para pedzikir yang hadir. Enerji dzikir semakin menarik qalbu para jamaah, menyatukan ruhani dalam robithoh. Mengharap bimbingan sang Waly Mursyid menuju padaNya.

Rangkaian dzikir khatam diakhiri pukul 02.30 wib. Sebagian jamaah beristirahat sejenak dengan penganan kecil yang sudah tersaji dari beberapa donatur. Beberapa menit kemudian Imam menginstruksikan untuk melakukan qiyamul layl, munfarid. Sebagian jamaah serta merta melakukan instruksi tersebut. Begitulah riyadhoh tersebut bergulir hingga terbit fajar.

Seusai sholat Shubuh dan dzikir harian, para Imam kemudian memberikan tausiyah. Dalam salah satu tausiyahnya para imam menekankan bahwa kegiatan ini bukan untuk pertama kali dan terakhir. Seyogyanya bisa dilakukan secara berkesinambungan. Paling tidak tiga bulan sekali. Jamaah pun menanggapi dengan antusias. Mereka siap untuk melakukannya kembali tiga bulan ke depan.

Di purna kegiatan, panitia menyiapkan sarapan nasi uduk. Hmm… nikmat luar biasa yang tak terkira. Ruhani terisi, jasmani terisi. Allah SWT benar-benar menjamin rejeki hamba-hambaNya yang berusaha mendekat kepadaNya. Mudah-mudahan kuallitas ruhani ikhwan-akhwat yang mengikuti kegiatan dzkir khataman tamm ini semakin meningkat, menuju qurbah ilalllah. Amiin. (han)

Meruya, 21 Juli 2010.

Senin, Juli 19, 2010

Tatacara Shalat Nisfu Sya'ban

Shalat Khoir ini dikerjakan pada malam ke lima belas bulan Sya’ban sebanyak 100 rakaat (2 rakaat-2 rakaat). Pada tahun ini bertepatan dengan tanggal 16 Juli 2011. Shalat Nisfu Sya’ban boleh dimulai sejak ba’da Maghrib. Tiap-tiap satu rakaat membaca Al-Fatihah dan Surat Al-Ikhlas 10 kali. Setiap dua rakaat satu salam, maka total 50 kali salam dan total surat al-ikhlas yang dibaca dalam 100 rakaat adalah 1000 kali.

Ulama salaf mengerjakan shalat Syaban ini dan memberi nama sholat ini Shalatul Khoir. Sulthonul Awliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani juga mengerjakan sholat Khoir ini.

Telah diriwayatkan dari Sayyidina Hasan Rohimahullah bahwasanya telah menceritakan tiga puluh sahabat Nabi kepadaku, “Barangsiapa yang melaksanakan sholat Nisfu Syaban pada malam ini Allah akan memandang padanya dengan 70 pandangan dan Allah emberikan padanya setiap pandangan 70 kebutuhan, yang paling dekat adalah maghrifoh Allah swt”.

Niat Shalat Nisfu Syaban / Shalat Khoir:
Ushalli sunnatan nishfu syaban rakataini lillahi taala Allahu Akbar
(atau) Ushalli sunnatal khoir rakataini lillahi ta'ala Allahu Akbar
(atau) Ushalli sunnatal muthlaqi rakataini lillahi ta'ala Allahu Akbar

Adapun shalat yang kewarid di dalam Nisfu Syaban banyaknya 100 rakaat, 1000 Qulhuwallahu ahad. Shalat ini diberi nama Shalatul Khair yakni shalat yang sebaik-baiknya.

Niat shalat nisfu Syaban pilih diantara 3 yang diatas. Kalau ragu haditsnya pilih saja niat yang ketiga (Sunnah Muthlaq), Karena sunnah muthlaq boleh dilakukan kapan saja, tanpa ada batasannya dan tidak terikat oleh waktu.

Bagi yang tidak mau mengerjakan sholat ini juga tidak apa apa. Asal jangan menyalahkan karena shalat ini dikerjakan juga oleh Sultonul Awliya Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dan banyak para Wali dan para ahli thariqah mengerjakannya.

Dimana Anda Shalat Nisfu Sya'ban?

Berikut info tempat pelaksanaan Sholat Nisfu Sya'ban Senin 26 Juli 2010 ba'da sholat Maghrib sd selesai (diselingi dengan shalat Isya) di beberapa tempat di DKI Jakarta :

1. Jaktim, TQN Center Masjid Al Mubarok Jl. Balai Pustaka Baru (blkg RS Dharma Nugraha) Rawamangun.
2. Jaksel, Graha Wisma Lintang lt 3 Jl. Taman Kemang No 20 (depan KEMCHICK)
3. Jakbar, Masjid Nurul Huda Jl. KH Moh. Mansyur No. 97 Jembatan Lima
4. Jakut, Masjid Al Mu'tamar Jl. Kalibaru Timur III Gg Masjid RT007/03 Kalibaru Cilincing
5. Jakpus, Masjid Asy-Syura, Jl. Taruna Raya RT013/03 Serdang Kemayoran
6. Dan tempat-tempat lain di masjid atau rumah yang tidak semuanya bisa dicantumkan dalam artikel ini.

Shalat Nisfu Sya'ban, Sunnah yang Dianggap Bid'ah

Oleh : Ust. Abdul Latif, SE, MA

Banyak orang menuduh shalat nisfu Sya’ban sebagai bid’ah. Mereka menuduh demikian bisa jadi dengan niat yang baik untuk membersihkan praktek ibadah dari Bid’ah dan mengembalikan agar ibadah yang dilakukan sesuai sunah Rasul. Alasannya sangat sederhana karena shalat Nisfu Sya’ban tidak pernah dikerjakan jaman Rasul. Benarkah shalat Nisfu Sya’ban bidah? Apakah nabi tidak pernah melakukannya?

Untuk lebih melengkapi khazanah kita, akan kami paparkan pula beberapa pertanyaan yang mengingkari shalat nisfu Sya’ban dari berbagai dialog. Antara lain:

Pertanyaan Pertama:
Tidak ada keistimewaan malam nisfu Sya’ban dibandingkan malam lainnya. Sehingga tidak perlu mengkhususkan ibadah pada malam tersebut. Beberapa Hadis yang menerangkan keutamaan nisfu Sya’ban adalah maudhu’ (palsu) dan dha’if. Sehingga tidak boleh diamalkan.

Para ulama semisal Ibnu Rajab, Ibnul Jauzi, Imam al-Ghazali, Ibnu Katsir dan yang lainnya, menyatakan hadits-hadits yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini sangat banyak jumlahnya. Hanya, umumnya hadits-hadits tersebut dhaif, namun ada juga beberapa hadits yang Hasan dan Shahih Lighairihi. Untuk lebih jelasnya, berikut di antara hadits-hadits dimaksud:

Hadis 1

عن علي بن إبي طالب عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إذا كان ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها, وصوموا نهارها, فإن الله تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا, فيقول: ألا مستغفر فأغفرله, ألا مسترزق فأرزقه, ألا مبتلى فأعافيه, ألا كذا ألا كذا, حتى يطلع الفجر)) [رواه ابن ماجه والحديث ضعفه الألبانى]

Artinya: "Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah saw bersabda: "Apabila sampai pada malam Nishfu Sya'ban, maka shalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya Allah akan turun ke dunia pada malam tersebut sejak matahari terbenam dan Allah berfirman: "Tidak ada orang yang meminta ampun kecuali Aku akan mengampuni segala dosanya, tidak ada yang meminta rezeki melainkan Aku akan memberikannya rezeki, tidak ada yang terkena musibah atau bencana, kecuali Aku akan menghindarkannya, tidak ada yang demikian, tidak ada yang demikian, sampai terbit fajar" (HR. Ibnu Majah dan hadits tersebut dinilai Hadits Dhaif oleh Syaikh al-Albany).

Hadis 2

عن عائشة قالت: فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافع رأسه إلى السماء, فقال: ((أكنت تخافين إن يحيف الله عليك ورسوله؟)) فقلت: يا رسول الله, ظننت أنك أتيت بعض نسائك. فقال: ((إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى سماء الدنيا فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب)) [رواه أحمد والترمذى وابن ماجه وضعفه الألبانى فى ضعيف الترمذى].

Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Suatu malam saya kehilangan Rasulullah saw, lalu aku mencarinya. Ternyata beliau sedang berada di Baqi' sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau bersabda: "Apakah kamu (wahai Aisyah) khawatir Allah akan menyia-nyiakan kamu dan RasulNya?" Aku menjawab: "Wahai Rasulullah, saya pikir anda pergi mendatangi di antara isteri-isterimu". Rasulullah saw bersabda kembali: "Sesungguhnya Allah turun ke dunia pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni ummatku lebih dari jumlah bulu domba yang digembalakan" (HR. Ahmad, Ibn Majah dan Turmidzi. Syaikh al-Albany menilai hadits riwayat Imam Turmudzi tersebut sebagai hadits Dhaif sebagaimana ditulisnya pada 'Dhaifut Turmudzi').

Kedua hadits tersebut adalah hadits yang dinilai Dhaif oleh jumhur Muhaditsin di antaranya oleh Syaikh Albany, seorang ulama yang tekenal sangat ketat dengan hadits.

Namun demikian, di bawah ini juga penulis hendak mengetengahkan Hadits Hasan dan Shahih Lighairihi yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini. Hadits-hadits dimaksud adalah:

Hadis 3

عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه, إلا لمشرك أو مشاحن)) [رواه ابن ماجه وحسنه الشيخ الألبانى فى صحيح ابن ماجه (1140)]

Artinya: "Dari Abu Musa, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah muncul (ke dunia) pada malam Nishfu Sya'ban dan mengampuni seluruh makhlukNya, kecuali orang musyrik dan orang yang dengki dan iri kepada sesama muslim" (HR. Ibn Majah, dan Syaikh Albani menilainya sebagai hadits Hasan sebagaimana disebutkan dalam bukunya Shahih Ibn Majah no hadits 1140).

Hadis 4

عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا اثنين: مشاحن, أو قاتل نفس)) [رواه أحمد وابن حبان فى صحيحه]

Artinya: "Dari Abdullah bin Amer, Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya akan menemui makhlukNya pada malam Nishfu Sya'ban, dan Dia mengampuni dosa hamba-hambanya kecuali dua kelompok yaitu orang yang menyimpan dengki atau iri dalam hatinya kepada sesama muslim dan orang yang melakukan bunuh diri" (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban sebagaimana ditulisnya dalam buku Shahihnya).

Namun, Syaikh Syu'aib al-Arnauth menilai hadits tersebut hadits yang lemah, karena dalam sanadnya ada dua rawi yang bernama Ibn Luhai'ah dan Huyay bin Abdullah yang dinilainya sebagai rawi yang lemah. Namun demikian, ia kemudian mengatakan bahwa meskipun dalam sanadnya lemah, akan tetapi hadits tersebut dapat dikategorikan sebagai hadits Shahih karena banyak dikuatkan oleh hadits-hadits lainnya (Shahih bi Syawahidih).

Hadis 5

عن عثمان بن أبي العاص مرفوعا قال, قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا كان ليلة النصف من شعبان نادى مناد: هل من مستغفر فأغفر له؟ هل من سائل فأعطيه؟ فلا يسأل أحد شيئا إلا أعطيه, إلا زانية بفرجها أو مشركا)) [رواه البيهقى]

Artinya: "Dari Utsman bin Abil Ash, Rasulullah saw bersabda: "Apabila datang malam Nishfu Sya'ban, Allah berfirman: "Apakah ada orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang meminta dan Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik" (HR. Baihaki).

Dengan memperhatikan, di antaranya, hadits-hadits di atas, maka tidak berlebihan apabila banyak ulama berpegang teguh bahwa malam Nishfu Sya'ban adalah malam yang istimewa, karena bukan hanya dosa-dosa akan diampuni, akan tetapi juga doa akan dikabulkan. Hadits-hadits yang dipandang Dhaif yang berbicara seputar keistimewaan malam Nishfu Sya'ban ini, paling tidak kedudukan haditsnya menjadi terangkat oleh hadits-hadits lain yang berstatus Hasan atau Shahih Lighairihi.

Atau boleh juga dikatakan, karena hadits-hadits dhaif yang berbicara seputar keutamaan malam Nishfu Sya'ban ini dhaifnya tidak parah dan tidak berat, maka satu sama lain menjadi saling menguatkan sehingga kedudukannya naik menjadi Hadits Hasan Lighairihi. Wallahu'alam.

Istimewanya malam Nishfu Sya'ban ini juga dikuatkan oleh atsar para sahabat. Imam Ali bin Abi Thalib misalnya, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab, apabila datang malam Nishfu Sya'ban, ia banyak keluar rumah untuk melihat dan berdoa ke arah langit, sambil berkata: "Sesungguhnya Nabi Daud as, apabila datang malam Nishfu Sya'ban, beliau keluar rumah dan menengadah ke langit sambil berkata: "Pada waktu ini tidak ada seorang pun yang berdoa pada malam ini kecuali akan dikabulkan, tidak ada yang memohon ampun, kecuali akan diampuni selama bukan tukang sihir atau dukun". Imam Ali lalu berkata: "Ya Allah, Tuhannya Nabi Daud as, ampunilah dosa orang-orang yang meminta ampun pada malam ini, serta kabulkanlah doa orang-orang yang berdoa pada malam ini".

Sebagian besar ulama Tabi'in seperti Khalid bin Ma'dan, Makhul, Luqman bin Amir dan yang lainnya, juga mengistimewakan malam ini dengan jalan lebih mempergiat ibadah, membaca al-Qur'an dan berdoa. Demikian juga hal ini dilakukan oleh jumhur ulama Syam dan Bashrah.

Bahkan, Imam Syafi'i pun beliau mengistimewakan malam Nishfu Sya'ban ini dengan jalan lebih mempergiat ibadah, doa dan membaca al-Qur'an. Hal ini sebagaimana nampak dalam perkataannya di bawah ini:

بلغنا أن الدعاء يستجاب فى خمس ليال: ليلة الجمعة, والعيدين, وأول رجب, ونصف شعبان. قال: واستحب كل ما حكيت فى هذه الليالي

Artinya: "Telah sampai kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih besar kemungkinan untuk) dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum'at, malam Idul Fithri, malam Idul Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada malam Nishfu Sya'ban. Imam Syafi'i berkata kembali: "Dan aku sangat menekankan (untuk memperbanyak doa) pada seluruh malam yang telah aku ceritakan tadi".

Dari pemaparan di atas nampak bahwa sebagian besar para ulama salaf memandang istimewa malam ini, karenanya mereka mengisinya dengan mempergiat dan memperbanyak ibadah termasuk berdoa, shalat dan membaca al-Qur'an.

Pertanyaan Kedua:
Shalat Nisfu Sya’ban Bid’ah karena tidak pernah dilakukan Rasul. Sehingga ibadah mereka tidak sesuai sunnah Rasul.

Nama panjang dari shalat Nisfu Sya’ban adalah “SHALAT MUTHLAQ yang dilakukan pada malam Nisfu Sya’ban”. Untuk memudahkan pengucapan, ulama menyebutnya shalat nisfu Sya’ban.

Karena termasuk jenis shalat Muthlaq, maka boleh dikerjakan kapan saja termasuk malam pertengahan Sya’ban selama dikerjakan tidak pada waktu yang dilarang. Kalau pada malam yang lain boleh melakukan shalat Muthlaq, maka pada malam nisfu Sya’ban juga boleh.

Membid’ahkan shalat nisfu Sya’ban sama dengan membid’ahkan shalat Muthlaq yang sunnah.

Apalagi ada hadis yang menyatakan bahwa Rasul menggiatkan qiyamul layl pada malam nisfu Sya’ban. Semakin kuat lah dasar shalat nisfu Sya’ban.

ومنها حديث عائشة ـ رضي الله عنها ـ قام رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ من الليل فصلى فأطال السجود حتى ظننت أنه قد قُبِضَ، فَلَمَّا رفع رأسه من السجود وفرغ من صلاته قال: "يا عائشة ـ أو يا حُميراء ـ ظننت أن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قد خَاسَ بك"؟ أي لم يعطك حقك . قلت: لا والله يا رسول الله ولكن ظننت أنك قد قبضتَ لطول سجودك، فقال: "أَتَدْرِينَ أَيُّ ليلة هذه"؟ قلت: الله ورسوله أعلم، قال "هذه ليلة النصف من شعبان، إن الله عز وجل يطلع على عباده ليلة النصف من شعبان، فيغفر للمستغفرين ، ويرحم المسترحِمِينَ، ويُؤخر أهل الحقد كما هم" رواه البيهقي من طريق العلاء بن الحارث عنها، وقال: هذا مرسل جيد.

Dari A'isyah: "Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.

Bahkan kalau kita menyandarkan pada hadis di atas, justru MEREKA YANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN IBADAHNYA SESUAI SUNNAH RASUL.

Pertanyaan Ketiga:
Shalat Nisfu Sya’ban saja Bid’ah, apalagi melakukannya secara berjamaah. Semakin jauh dari Islam. Kalaulah memang bagus mengapa Rasul dan sahabat tidak melakukan? Padahal Mereka adalah generasi terbaik.

Saudaraku, selama ada dalil umum yang membolehkan, maka mengenai tekhnisnya berjamaah atau tidak, dapat diatur menurut kondisi dan keadaan.

Pelaksanaan mengisi malam Nishfu Sya'ban diberjamaahkan ini pertama kali dilakukan oleh ulama tabi'in yang bernama Khalid bin Ma'dan, lalu diikuti oleh ulama tabi'in lainnya seperti Makhul, Luqman bin Amir dan yang lainnya. Bahkan terus berlanjut dan menjadi tradisi ulama Syam dan Bashrah sampai saat ini.

Meski tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya, kami lebih condong untuk mengatakan tidak mengapa dan tidak dilarang. Tidak semua yang tidak dipraktekkan oleh Rasulullah saw dan para sahabatnya menjadi sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Selama ada hadits dan qaidah umum yang membolehkan, maka mengenai tehnis, apakah diberjamaahkan atau sendiri-sendiri, semuanya diserahkan kepada masing-masing dan tentu diperbolehkan. Hal ini sebagaimana tradisi takbir berjamaah pada malam hari raya.

Hal ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabatnya. Rasulullah saw dan para sahabat hanya melakukannya di rumah masing-masing. Tradisi berjamaah membaca takbir pada malam Hari Raya ini pertama kali dilakukan oleh seorang ulama tabi'in yang bernama Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad. Dan tradisi ini pun sampai saat ini masih diberlakukan dan diamalkan hampir di seluruh negara-negara muslim.

Demikian juga dengan shalat Tarawih diberjamaahkan. Rasulullah saw hanya melakukannya satu, dua atau tiga malam saja secara berjamaah. Setelah itu, beliau melakukannya sendiri. Dan hal ini berlaku juga sampai masa khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq serta pada permulaan khalifah Umar bin Khatab. Setelah Umar bin Khatab masuk ke sebuah mesjid dan menyaksikan orang shalat tarawih sendiri-sendiri, akhirnya beliau melihat alangkah lebih baiknya apabila diberjamaahkan. Sejak itu, beliau manunjuk sahabat Rasulullah saw yang bernama Ubay bin Ka'ab untuk menjadi imam pertama shalat Tarawih diberjamaahkan. Tradisi ini juga berjalan dan terus dipraktekkan sampai sekarang ini.

Kalaulah shalat qiyamu Ramadhan (Tarawih) yang beliau lakukan selalu tidak berjamaah dengan sahabat, kecuali hanya 1-3 malam saja, boleh dilakukan secara berjamaah, lalu takbir malam ‘Ied juga boleh dilakukan secara berjamaah, mengapa shalat Muthlaq malam nisfu Sya’ban (untuk menyingkat selanjutnya disebut “shalat Nisfu Sya’ban”) tidak boleh dilakukan berjamaah? Tentu ini tidak fair.

Di zaman Rasul, para sahabat dengan melihat rasul qiyamul layl saja mereka sudah melakukannya. Namun di akhir zaman ini jika ada ustad berkata, “wahai umat Islam, shalat tarawih yang dilakukan Rasul tidak berjamaah dan dilakukan di tengah malam (bukan ba’da Isya langsung). Oleh karena itu shalatlah sendiri-sendiri nanti malam.” Yang shalat tarawih pasti sedikit. Kecuali instruksi itu untuk bangun malam dalam rangka menyaksikan final piala dunia antara Belanda Vs Spanyol insya Allah jamaahnya banyak meskipun jam 1.30 malam.

Jadi kondisi zaman mengarahkan untuk shalat tarawih secara berjamaah.

Begitu pula dengan shalat nisfu Sya’ban. Di akhir zaman ini, Kalau shalat Nisfu Sya’ban (apalagi jika 100 raka’at) dilakukan hanya boleh sendiri-sendiri, saya yakin sangat-sangat sedikit orang yang mau menghidupkan malam Nisfu Sya’ban. Namun kalau dilakukan secara berjamaah, satu sama lain dapat saling memotivasi sehingga lebih semangat.

Pertanyaan Keempat:
Terlebih lagi dalam shalat nisfu Sya’ban, mereka menetapkan jumlah 100 rakaat. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasul.

Ada beberapa alasan mengapa saya shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat:

1. Karena shalat nisfu Sya’ban termasuk shalat Muthlaq, maka jumlahnya bebas. 10 rakaat boleh, 20, 30, bahkan 100 rakaat juga boleh. Kalau kita sanggup 1.000 rakaat juga tidak ada yang melarang, karena shalat Muthlaq. Mengapa kita berani melarang jumlah tertentu dalam shalat Muthlaq? Apakah kalau 99 rakaat boleh, 101 juga boleh lalu khusus 100 rakaat tidak boleh?
Nabi SAW pernah berkata kepada Bilal, sesudah mengerjakan shalat Shubuh sebagaimana berikut: “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amalan yang engkau kerjakan dalam Islam yang penuh dengan pengharapan karena aku mendengar suara sandalmu di depanku di syurga”. Bilal menjawab tidak pernah aku melakukan suatu perbuatan yang saya harapkan kebaikannya, melainkan pasti aku bersuci dahulu, baik saatnya malam hari atau siang hari. Sesudah aku bersuci aku melakukan shalat sebanyak yang dapat kulakukan”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim)
Jabir bin Hayyan, penemu ilmu Kimia sekaligus orang pertama memperoleh julukan Sufi, melakukan shalat Muthlaq 400 rakaat sebelum memulai penelitian.
Kalau ada seseorang menganjurkan untuk shalat nisfu Sya’ban 77 rakaat karena dia senang dengan angka 7, boleh saja. Namun daripada saya mengikuti dia, lebih baik saya mengikuti para ulama yang shalih.
2. Banyak ulama-ulama shalih yang ahli ma’rifat seperti syekh Abdul Qadir Jailani melakukan shalat nisfu Sya’ban 100 rakaat, begitu pula dengan imam Ghazali dan ulama lainnya. Maka tidak ada salahnya jika kita mengikuti beliau. (baca juga dasar hukum shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dll di tqn-jakarta.org)
Dan ikutilah jalannya orang yang kembali kepadaKu (Luqman 31:15)
3. Jumlah 100 rakaat ada hadisnya. Meskipun banyak orang yang menolak hadis tersebut. Namun Imam Ahmad berkata, “hadis dhaif lebih aku sukai daripada pendapat pribadi seseorang".

Pertanyaan Kelima:
Bacaan dalam shalat Nisfu Sya’ban (al-Ikhlas 10 kali setelah al-Fatihah, sehingga dikallikan 100 rakaat menjadi 1.000 kali membaca al-Ikhlas) adalah bacaan yang mengada-ada. Tidak pernah dilakukan juga oleh Rasul.

Bacaan yang dibaca dalam shalat nisfu Sya’ban setelah al-Fatihah terserah. Ayat manapun termasuk al-Ikhlas boleh dibaca dalam shalat asalkan ayat al-Qur’an. Tidak ada juga ketentuan bahwa surat al-Ikhlas tidak boleh dibaca beberapa kali dalam satu rakaat.

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْءَانِ

karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur'an. (QS. Al-Muzammil:20)

Imam masjid Quba selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no. 741).

Kesimpulannya, shalat Muthlaq pada malam nisfu Sya’ban secara berjamaah sebanyak 100 rakaat dengan membaca surat al-Ikhlas 10 kali setiap bada Fatihah DIBOLEHKAN. Jangan sampai kita mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Kalau nabi saja tidak boleh apalagi kita. Teknis shalat Nisfu Sya’ban silakan dilihat di tqn-jakarta.org.

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ

HAI NABI, MENGAPA KAMU MENGHARAMKAN APA YANG ALLAH HALALKAN BAGIMU (QS. At-Tahrim:6)

Wallahu a’lam bis shawab.