Kamis, Mei 06, 2010

MUSABAQAH HIFZHIL KHATM

Memunculkan Kader Imam Dzikir Khatam yang Handal

Korwil Jakarta kembali membuat gebrakan baru. Dalam rangka menumbuhkan minat ikhwan-akhwat TQN Suryalaya melestarikan amalan dari Waly Mursyid, Korwil Jakarta meng-create program Musabaqah Hifdzil Khatm (MHK) atau Lomba Menghafal Dzikir Khatam. MHK digulirkan untuk meningkatan kepedulian mengamalkan, mengamankan dan melestarikan amalan-amalan Waly Mursyid. Hal ini erat kaitannya dengan tumbuh suburnya majlis-majlis manaqib di wilayah DKI Jakarta yang jumlahnya mencapai 200-an lebih dalam satu bulan. Jumlah yang tidak sedikit ini memunculkan peluang kaderisasi petugas-petugas manaqib.

Ide MHK pertama kali digulirkan Ketua Korwil Jakarta, KH. Wahfiudin, saat memberikan sambutan pada Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani qs di Masjid Al-A’raf Toko Buku Walisongo Kwitang Jakarta Pusat pada 20 Februari 2010. Beliau mengajak jamaah untuk meningkatkan khidmah kepada Waly Mursyid dengan memperbanyak ikhwan-akhwat yang mampu menghafal dzikir khatam. Memang bukan sebuah pekerjaan yang mudah, karena tidak semua ikhwan memiliki kesadaran pribadi untuk menghafal. Oleh sebab itu, perlu usaha pengkondisian, dan MHK adalah salah satu usaha yang patut direalisasikan.


MHK terbuka luas untuk semua ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di DKI Jakarta. Musabaqah ini terdiri dari dua kategori, yakni kategori usia di bawah 35 tahun dan diatas 35 tahun. Tiap perwakilan dari lima kota diharuskan mengirimkan utusannya untuk masing-masing kategori sebanyak dua regu. Satu regu beranggotakan lima orang. Sehingga peserta MHK berjumlah seratus orang. Keseratus orang inilah yang nanti akan memimpin dzikir-dzikir khatam di majlis-majlis dzikir.

Korwil Jakarta dengan segera melakukan sosialisasi. Surat-surat undangan untuk mengikuti MHK di sebar ke lima perwakilan. Pengumuman-pengumuman disampaikan di majlis-majlis manaqib. Pendekatan personal pun dilakukan dalam rangka memotivasi ikhwan-akhwat untuk terpacu semangatnya menghafalkan dzikir khatam. Hari-hari menjelang musabaqah adalah masa-masa sulit membangkitkan minat calon-calon peserta.

Sebuah program baru yang belum familiar dalam lingkungan TQN adakalanya mengundang pro dan kontra. Ada kalangan yang memahami substansi dasar program ini dan mendukung sepenuh hati. Namun, ada juga kalangan yang skeptis dan menganggap program ini penuh unsur ria. Masya Allah, terhadap anggapan ini Korwil Jakarta menyampaikan klarifikasi. Semua ini dilakukan dalam rangka menggerakkan ikhwan untuk meningkatkan kualitas individu. Yang tadinya hanya duduk di belakang imam, menjadi pengikut. Kini ditingkatkan menjadi pemimpin-pemimpin baru.

Memang, sangat disadari, amaliah dzikir khatam adalah kewajiban ikhwan-akhwat untuk mengamalkannya. Tapi, jujur diakui, di beberapa majlis dzikir khatam dan manaqib beberapa tahun terakhir ini, pemimpin dzikir dan petugas-petugas manaqib selalu itu-itu saja. Tidak terjadi proses regenerasi dan kaderisasi. Jika ini dibiarkan alamiah, mengalir bagaikan air, lalu kapan ada pemimpin-pemimpin baru? Kapan tongkat-tongkat estafet itu berpindah tangan? Apakah harus menanti pemimpin-pemimpin lama berguguran satu demi satu? Bagaimana pun kondisinya, kaderisasi mesti diwujudkan.

Minggu, 25 April 2010, babak penyisihan berlangsung. Perwakilan Jakarta Barat mengirimkan empat regu. Dua regu ikhwan kategori dibawah usia 35 tahun, satu regu ikhwan kategori diatas usia 35 tahun dan satu regu akhwat diatas 35 tahun. Jakarta Utara mengirimkan dua regu. Dua-duanya regu ikhwan kategori diatas usia 35 tahun. Jakarta Pusat satu regu ikhwan dibawah usia 35 tahun. Jakarta Timur satu regu ikhwan dibawah usia 35 tahun dan Jakarta Selatan satu regu ikhwan diatas usia 35 tahun. Seluruhnya sembilan regu.


Bertindak sebagai dewan juri, KH. Wahfiudin (selain sebagai Ketua Korwil Jakarta beliau adalah wakil talqin TQN Suryalaya), KH. Ayi Burhanudin (Pengasuh salah satu Pondok Pesantren di Pelabuhan Ratu, Sukabumi) dan Ust. Abdul Latif, SE, MA (Pembina Majlis Dzikir Masjid Al Mubarak Rawamangun).

Dalam babak penyisihan ini, kriteria yang dilombakan cukup sulit. Selain faktor hafalan, juga tartil (termasuk makhrojil huruf dan tajwid), arti harfiah per kata dan adab peserta.


Babak penyisihan yang diselenggarakan di TQN Center Masjid Al-Mubarak ini diawali dengan test tulis untuk menguji kemampuan individu peserta memahami arti harfiah pada penggalan-penggalan kata dalam dzikir khatam. Lembar soal yang terdiri dari 30 pertanyaan ini diujikan dalam waktu 30 menit. Selesai tes tulis, peserta maju per regu di hadapan dewan juri.

Regu per regu peserta maju, di hadapan dewan juri para peserta melafalkan kalimat-kalimat dalam dzikir khatam. Dewan juri adalah orang-orang yang cerdas, mereka melemparkan soal dengan cara yang unik. Untuk menguji kemampuan individu dalam regu, juri menugaskan peserta melanjutkan kalimat yang dilontarkan oleh mereka.

Juri berkata: “… wa atuubu ilayh…Lanjutkan...!

Peserta yang cepat tanggap dan refleks ingatannya tinggi akan langsung melanjutkan dengan kalimat sesudahnya, yakni “Bismillahirrahmanirrahim. Qul ‘a uudzu birabbinnaas. Malikinnaas. Ilaahinnaas. Min syarril waswasil khannas. Alladzii yuwaswisu fii shuduurinnaas. Minal Jinnati wannaas”. (Surrah An-Naas). Dan kalimat-kalimat selanjutnya hingga diperintahkan berhenti oleh dewan juri.

Namun, bagi peserta yang tidak dalam konsentrasi tinggi, cara ini cukup membingungkan mereka. Ini memecah konsentrasi hafalan peserta yang sudah dibangun. Regu pertama yang tampil dibuat kalang kabut oleh dewan juri. Mereka sering keliru melafalkan kalimat-kalimat lanjutan yang ditugaskan juri. Belum lagi, pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan arti harfiah per kata, membutuhkan pemahaman daripada sekadar hafalan.

Saat mereka melafalkan kalimat-kalimat dzikir khatam, dewan juri dengan teliti mendengarkan kualitas ketartilannya. Makhraj-makhraj huruf dan tajwid diperhatikan benar. Sadar tidak sadar peserta musabaqah menjadi fokus perhatian dewan juri. Mereka yang menyadari dan terbiasa melafalkan dengan tartil akan mendapatkan nilai lebih dibandingkan peserta yang malafalkan kalimat dzikir khatam asal hafal saja.
Metode ini diterapkan agar peserta musabaqah selanjutnya menyiapkan diri lebih matang lagi dengan kualitas hafalannya.

Tentu saja, penampilan perdana mendapatkan tingkat kesulitan yang tinggi, karena itu standar penilaian mereka berbeda dengan regu-regu yang tampil belakangan. Hal ini dilakukan untuk menerapkan unsur keadilan dalam penilaian.

Babak penyisihan berakhir tepat saat kumandang adzan Shalat Ashar bergema. Panitia mengumumkan para peserta untuk menyiapkan diri pada babak final yang akan diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 2010.

Babak Final
Minggu pagi, 2 Mei 2010 peserta MHK sudah berkumpul di Masjid Al Ihsan gedung Bank Syariah Mandiri Kantor Pusat Jl. MH. Thamrin No.5 Jakarta Pusat. Lokasi masjid yang strategis dan mudah dijangkau dari berbagai penjuru menjadi pertimbangan dijadikan ajang akhir musabaqah. Alhamdulillah, Bank Syariah Mandiri berkenan meminjamkan tempat dan menjadi donatur tunggal.

Berbeda dengan babak penyisihan yang lalu, para peserta MHK pada babak final ini, terlihat lebih siap, terutama tim dari Jakarta Barat. Keempat regu dari Jakarta Barat ini, masing-masing mengenakan seragam. Satu regu mengenakan seragam putih-putih ala busana Pakistan. Regu yang lain mengenakan kain sarung hijau dan atasan putih. Regu yang lain lagi mengenakan busana berwarna hitam-hitam. Dan tim ibu-ibunya mengenakan busana bercorak batik. Ternyata, selain hafalan dzikir khatam yang sudah mengakar dalam benak mereka, penampilan pun menjadi salah satu fokus yang diutamakan. Syukur-syukur mereka bisa mencuri perhatian dewan juri.

Tim dari perwakilan lain pun tak mau kalah, mereka membawa supporter dari perwakilan masing-masing untuk menyemangati timnya yang akan tampil. Suasana menjadi ramai, riuh dan penuh tawa canda ketika tim jagoannya akan beradapan dengan dewan juri.

Sebagaimana pada babak penyisihan, babak final ini juga dimeriahkan oleh tim marawis TQN Jakarta yang bernama Asy-Syubban, hasil binaan H. Agus Syarif seorang aktivis dzikir di TQN Center. Mereka menghibur peserta saat pembukaan, di sela-sela pergantian tim yang tampil di hadapan dewan juri dan saat penutupan. Menyaksikan kelincahan mereka memainkan alat perkusi khas marawis semangat peserta semakin meningkat dan kepercayaan diri mereka untuk tampil di babak final bertambah.

Pengujian kali ini dilakukan secara bersama-sama, dibagi dalam tiga termin. Termin pertama dari Jakarta Barat 1, Jakarta Barat 2 dan Jakarta Selatan. Termin kedua Jakarta Barat 3, Jakarta Utara 1 dan Jakarta Barat 4. Termin terakhir Jakarta Timur, Jakarta Utara 2 dan Jakarta Pusat. Masing-masing termin 30 menit. Pada setiap termin diujikan hafalan, tartil, adab dan arti harfiah kalimat-kalimat dalam dzikir khatam.

Meski sudah pernah tampil dalam babak penyisihan, para peserta masih terlihat gagap ketika pertanyaan diajukan. Dewan juri lebih banyak menguji peserta dengan doa khatam. Sejatinya para peserta sudah terbiasa melafalkan dzikir khatam dalam kesehariannya, namun pada musabaqah kali ini ada saja peserta yang tidak dapat melanjutkan setiap pertanyaan yang diajukan dewan juri.

Tim Jakarta Selatan mayoritas terdiri dari para sesepuh. Tim ini terbiasa menjadi imam dzikir dalam majlis khataman di wilayahnya. Sudah barang tentu kualitas hafalan mereka tidak diragukan lagi, namun saat berhadapan dengan dewan juri semua hafalan itu menjadi buyar. Apalagi ketika dewan juri melempar pertanyaan dengan penggalan kalimat dzikir yang seringkali diucapkan dalam do’a khatam seperti “…nas aluka bikhofiyyil khofiy….” Ada diantara anggota tim yang tergagap-gagap hingga tak mampu melanjutkan kalimat berikutnya . Akhirnya tugas mereka harus dilempar ke tim yang lain. Imbasnya, tim Jakarta Selatan tidak mendapatkan nilai pada soal tersebut.

Menikmati jalannya musabaqah, membuat penonton menjadi ketar-ketir, khawatir jagoannya tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘three musketeer’ dewan juri. Terkadang muncul celetukan-celetukan bernada membantu ketika salah satu timnya dalam kondisi ’stuck’ tidak mampu menjawab pertanyaan. Mendengar celetukan itu, akhirnya dewan juri menganulir soal dan jawaban pada kasus tersebut.

Seringkali penonton lebih pintar dibanding para peserta. Salah satu kasus, ketika dewan juri melempar pertanyaan “Apa arti LAA YUSHODDA’UUN…..?” Semua tim dalam termin tersebut tidak ada yang mampu menjawab, akhirnya dewan juri memberikan pertanyaan kepada penonton. Serentak penonton menjawab: “Mereka tidak pening……” Kontan dewan juri dengan nada bercanda berkata,”1000 untuk penonton!” Penonton pun bersorak gembira.

Tepat waktu shalat dzuhur, musabaqah selesai. Ketiga termin purna dilaksanakan. Peserta, dewan juri, panitia dan penonton pun lega. Tugas khidmah melalui hifzhul khatm selesai. Semua ikhwan-akhwat sholat zhuhur berjamaah dan makan siang bersama setelahnya. Diiringi alunan perkusi tim marawis Asy-Syubban. Panitia kemudian mengumumkan, pemenang musabaqah akan diinformasikan dan hadiah-hadiahnya akan diserahkan saat pelaksanaan manaqib di Jakarta Islamic Center Jakarta Utara, pada 9 Mei 2010.

Pada kegiatan MHK ini, panitia akan memberikan hadiah uang dalam bentuk tabungan sebesar Rp. 3.000.000,- untuk pemenang pertama, Rp. 2.000.000,- untuk pemenang kedua, Rp. 1.000.000,- untuk pemenang ketiga dan satu buah laptop untuk juara umum.

Musabaqah Hifzhil Khatm usai. Namun kerja belum berakhir. Usaha kaderisasi masih tetap harus dilaksanakan agar tercipta imam-imam khatam yang tangguh, handal dan berkualitas. Semoga khidmah yang dilakukan oleh jajaran Korwil Jakarta berbuah kasih sayang Waly Mursyid. Amiin.(han)

Meruya, 6 Mei 2010

Selasa, Mei 04, 2010

Membeli Waktu Papa

Arman adalah seorang karyawan perusaahan yang cukup terkenal di Jakarta, memiliki dua putra. Putra pertama baru berusia 6 tahun bernama Mahdi dan putra kedua berusia 2 tahun bernama Dika. Seperti biasa pukul 21.00 Arman sampai di rumahnya di salah satu sudut Jakarta, setelah seharian penuh bekeja di kantornya. Dalam keremangan lampu halaman rumahnya dia melihat Mahdi putra pertamanya ditemani Bik Yati pembantunya menyambut di gerbang rumah.

"Kok belum tidur Mahdi?" sapa Arman sambil mencium anaknya. Biasanya Mahdi sudah tidur ketika Arman pulang dari kantor dan baru bangun menjelang Arman berangkat ke kantor keesokan harinya.

"Mahdi menunggu Papa pulang, Mahdi mau tanya, gaji Papa itu berapa sih Pa?" kata Mahdi sambil membuntuti papanya.

"Ada apa nih kok tanya gaji papa segala?"
"Mahdi cuma pingin tahu aja kok Pa?
"Baiklah coba Mahdi hitung sendiri ya. Kerja papa sehari digaji Rp 600.000, nah… selama sebulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Coba hitung berapa gaji papa sebulan?"

"Sehari Papa kerja berapa jam Pa?" tanya Mahdi lebih lanjut.
"Sehari papa kerja 10 jam Mahdi, nah hitung sana, Papa mau melepas sepatu dulu."

Mahdi berlari ke meja belajarnya dan sibuk mencoret-coret dalam kertasnya menghitung gaji papanya. Sementara Arman melepas sepatu dan meminum teh hangat buatan istri tercintanya.

"Kalau begitu, satu bulan Papa digaji Rp 15.000.000 ya Pa? Dan satu jam papa digaji Rp 60.000" Kata Mahdi setelah mencorat-coret sebentar dalam kertasnya sambil membuntuti Arman yang beranjak menuju kamarnya.

"Nah, pinter kamu Mahdi. Sekarang Mahdi cuci kaki lalu bobok" perintah Arman. Namun Mahdi masih saja membuntuti Arman sambil terus memandang papanya yang berganti pakaian.

"Pa, boleh tidak Mahdi pinjam uang Papa Rp 5.000 saja?" tanya Mahdi dengan hati-hati sambil menundukkan kepalanya.

"Sudahlah Mahdi, nggak usah macam-macam, untuk apa minta uang malam-malam begini. Kalau mau uang besok saja. Papa ‘kan capek mau mandi dulu. Sekarang Mahdi tidur supaya besok tidak terlambat ke sekolah!"

"Tapi Pa..."
"Mahdi….!! Papa bilang tidur!" bentak Arman mengejutkan Mahdi.

Segera Mahdi beranjak menuju kamarnya. Setelah mandi Arman menengok kamar anaknya dan menjumpai Mahdi belum tidur. Mahdi sedang terisak pelan sambil memegangi sejumlah uang. Arman nampak menyesal dengan bentakannya.

Dipegangnya kepala Mahdi pelan dan berkata:

"Maafkan Papa ya Nak. Papa sayang sekali pada Mahdi” ditatapnya Mahdi anaknya dengan penuh kasih sambil ikut berbaring di sampingnya.

"Nah katakan pada Papa, untuk apa sih perlu uang malam-malam begini. Besok ‘kan bisa? Jangankan Rp 5.000, lebih banyak dari itu pun akan Papa kasih."

"Mahdi nggak minta uang Papa kok, Mahdi cuma mau pinjam. Nanti akan Mahdi kembalikan, kalau Mahdi udah menabung lagi dari uang jajan Mahdi."

"Iya, tapi untuk apa Mahdi?" tanya Arman dengan lembut.

"Mahdi udah menunggu Papa dari sore tadi, Mahdi nggak mau tidur sebelum ketemu Papa. Mahdi pengen ngajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang bahwa waktu papa berharga. Jadi Mahdi ingin membeli waktu Papa."

"Lalu?" tanya Arman penuh perhatian dan kelihatan belum mengerti.

"Tadi Mahdi membuka tabungan, ada Rp 25.000. Tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp 60.000, maka untuk setengah jam berarti Rp 30.000. Uang tabungan Mahdi kurang Rp. 5.000. Maka Mahdi ingin pinjam pada Papa. Mahdi ingin membeli waktu Papa setengah jam saja, untuk menemani Mahdi main ular tangga. Mahdi rindu pada Papa." Kata Mahdi polos dengan masih menyisakan isakannya yang tertahan.

"Arman terdiam, dan kehilangan kata-kata. Bocah kecil itu dipeluknya erat-erat, bocah kecil yang menyadarkan bahwa cinta bukan hanya sekedar ungkapan kata-kata belaka namun berupa ungkapan perhatian dan kepedulian.