Kamis, Desember 31, 2009

Khidmah Mengejar Cinta Wali Mursyid

Tatap Muka Pemangku Manaqib Jakarta Selatan dan Pengurus Korwil DKI Jakarta

Sejumlah lima puluh orang ikhwan-akhwat TQN Suryalaya yang juga para pemangku manaqib Syekh Abdul Qadir Al Jaylani qs yang berlokasi di perwakilan Jakarta Selatan telah berkumpul di Wisma Lintang Jl. Taman Kemang Raya No. 20 Jakarta Selatan pada Sabtu 12 Januari 2009 yang lalu. Mereka hadir di tempat tersebut dalam rangka memenuhi undangan Korwil DKI Jakarta pada acara Tatap Muka Pemangku Manaqib dan Pengurus Korwil DKI Jakarta.

Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menggali potensi ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di Jakarta Selatan sekaligus sosialisasi program-program Korwil DKI Jakarta. Wilayah perwakilan Jakarta Selatan mendapat kesempatan pertama karena pertimbangan wilayah dan jumlah lokasi manaqib yang cukup banyak dibanding wilayah-wilayah lain, baru kemudian menyusul empat wilayah perwakilan lainnya.

Kegiatan diawali dengan pembacaan Tanbih dan Tawassul, selanjutnya Ketua Korwil DKI Jakarta, Ust. Wahfiudin memaparkan Visi Misi pengurus Yayasan Serba Bakti Korwil DKI Jakarta. Dalam paparannya Ketua Korwil menegaskan kontrak dasar Ikhwan-akhwat TQN Suryalaya terhadap Abah adalah Murid dan Mursyid, kewajiban Murid melaksanakan prinsip-prinsip dasar ajaran Mursyid. Pangersa Abah Anom dalam hal ini sebagai Wali Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah memberikan prinsip-prinsip dasar ajarannya, yakni Mandi, Shalat dan Dzikir. Untuk meneladani aplikasi ajaran Pangersa Abah ini bisa dilihat dalam pembinaan korban-korban penyalahgunaan narkoba.

Lalu dalam rangka mewadahi pembinaan ikhwan akhwat TQN Suryalaya yang semakin banyak dan menyebar di berbagai pelosok tanah air, Pengersa Abah mendirikan Yayasan Serba Bakti. Disusul kemudian pendirian kantor koordinator wilayah dan perwakilan di berbagai daerah. Pada intinya Pengurus Yayasan Serba Bakti adalah pelayan ikhwan. Jika ada Pengurus yang macet (tidak bergerak) maka perkembangan ikhwan pun menjadi macet. Karena itu untuk personel pengurus dituntut memiliki kapabilitas dan loyalitas yang lebih dibanding ikhwan lainnya.

Demikian pula para wakil talqin yang diangkat oleh Pangersa Abah, tugas utama mereka adalah menyebarkan ajaran Pangersa Abah, membina ikhwan-akhwat TQN Suryalaya, menyiapkan kader-kader muballigh dan mempromosikan kader-kader muballigh yang siap untuk bergerak di medan dakwah masing-masing.

Memperhatikan hakikat ‘kontrak dasar’ antara para ikhwan-akhwat dan Pangersa Abah Anom adalah hubungan antara Murid dan Mursyid, dimana murid wajib tunduk dan patuh kepada Mursyid sebagai pembimbing ruhaniah menuju kedekatan kepada Allah SWT, maka jika ada yang bakal ’merusak’ terhadap kontrak dasar ini, siapapun atau apapun bentuknya kalau perlu ‘disingkirkan’.

Lalu berkaitan dengan program pembinaan ikhwan-akhwat TQN Suryalaya, fokus pengurus Korwil DKI Jakarta adalah penataan kembali kegiatan-kegiatan TQN Suryalaya di Jakarta agar lebih eksis. Terutama dalam rangka menyambut HUT Suryalaya yang ke 105 pada tanggal 5 September 2010 yang akan datang.

Beragam program telah digelontorkan oleh Korwil DKI Jakarta, antara lain Kursus Dasar Tasawuf untuk ikhwan-akhwat baru, Pelatihan Dasar Internet untuk pengurus Korwil dan Perwakilan DKI Jakarta, Manaqib wilayah di Jakarta Islamic Center, Safari Qurban pada Idul Adha 1430 H di Bayongbong Garut dan Taraju Tasikmalaya, Penyelenggaraan kursus-kursus tasawuf di berbagai daerah seperti yang akan dilakukan sepulang pertemuan dengan pemangku manaqib di Jakarta Selatan ini.

Program terdekat yang akan dilakukan oleh Korwil DKI Jakarta adalah Kursus Tasawuf Tingkat Dasar Angkatan 26 di TQN Center Rawamangun, Safari Dakwah di Rangkasbitung, Peringatan Tahun Baru Islam di Pesantren Yatim Bahrul Ulum, Haflah Milad Pangersa Abah Anom diisi dengan kegiatan Khitanan Massal dan Santunan untuk Yatim, Dhuafa dan Lansia Jompo di Kalibaru Cilincing Jakarta Utara serta Pelatihan Manajemen Organisasi untuk Pengurus Inti Korwil dan Perwakilan DKI Jakarta.

Dalam forum ini Goes Noeg, salah seorang ikhwan di wilayah perbatasan antara Jakarta Selatan dan Tangerang menuangkan idenya dalam rangka membantu pendanaan Korwil DKI Jakarta. Goes Noeg yang selama ini dikenal sebagai pelukis, pada pertemuan kali ini menyumbangkan dua buah lukisan berjudul ISTIQOMAH yang memiki harga dasar masing-masing Rp. 25 juta. “Ini harga dasar, jika dilakukan penjualan dengan cara lelang harganya bisa lebih tiggi dari harga dasar ini. Dua lukisan ini saya serahkan ke Korwil DKI Jakarta, setelah itu terserah Korwil bagaimana cara penjualannya. Adapun dana hasil penjualan dua lukisan ini silakan digunakan untuk kegiatan-kegiatan Korwil DKI Jakarta,” tukas Goes Noeg.

Dalam kesempatan itu pula, Goes Noeg berazzam akan menyumbangkan lukisannya dalam sebulan satu buah lukisan dalam rangka membantu pendanaan kegiatan-kegiatan Korwil DKI Jakarta. Kemudian secara resmi Goes Noeg menyerahkan dua buah lukisan tersebut kepada Ketua Korwil DKI Jakarta disaksikan oleh peserta pertemuan.

Forum pertemuan ini juga memperkenalkan susunan sementara Pengurus Perwakilan Jakarta Selatan yang masih dikomandani oleh Ust. H. Mursidi MM.

Di akhir pertemuan Ketua Korwil DKI Jakarta menegaskan agar seluruh ikhwan-akhwat di Jakarta Selatan sama-sama meningkatkan potensi yang sudah dimiliki dan menjalin sinergi dalam berkhidmah kepada Mursyid untuk terciptanya kondisi ikhwan-akhwat TQN Suryalaya yang mencintai Mursyid dan dicintai Mursyid. (han)

Rawamangun, 31 Desember 2009


Senin, Desember 28, 2009

Peringatan Asyura 1431 H dan Haflah Milad Pangersa Abah

Pagi tadi, sekitar pukul 08.00-10.30 Korwil DKI Jakarta dan Pewakilan Jakarta Utara menggandeng Jakarta Medical Center melaksanakan peringatan Asyura 10 Muharram 1431 H dan Haflah Milad Wali Mursyid Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul 'Arifin (Pangersa Abah Anom) pada usia ke 95 tahun.Acara tersebut dilaksanakan di Masjid Al Mu'tamar, Kalibaru Cilincing Jakarta Utara.

Beberapa kegiatan dalam peringatan tersebut adalah khitanan massal untuk anak-anak dari keluarga tidak mampu, Pemberian santunan untuk anak-anak yatim/piatu, keluarga dhuafa dan lansia jompo. Pada awalnya panitia merencanakan peserta santunan sebanyak 180 orang, tetapi kenyataannya peserta santunan membludak kurang lebih dua kali lipatnya. Untung donatur utama telah siap sedia dari awal, sehingga semua peserta santunan yang hadir pada saat itu mendapatkan amplop santunan yang besarnya bervariasi antara 50.000 - 200.000. Besaran nominal ini hanya pihak penyantun yang mengetahui. Sedangkan anak khitan rencananya 30 orang namun yang hadir sekitar 20-an, maklum ada yang masih takut-takut.Selain dikhitan mereka juga mendapatkan bingkisan dari donatur utama.

Kegiatan serupa pernah dilakukan di tempat ini juga, sekitar bulan Juli 2009 yang lalu. Hal ini menyiratkan kepedulian ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah atas problem-problem sosial masyarakat. Mudah-mudahan kegiatan seperti ini bisa terus dilaksanakan di masa-masa yang akan datang.

Korwil DKI Jakarta berterimakasih atas kepedulian para donatur yang telah membantu kesuksesan acara ini. Terutama pihak Jakarta Medical Center yang dikomandani oleh ibu dr. Lucky dan keluarga besar wisma lintang atas bantuan drop susu juara sebanyak 10 karton. Semoga Allah SWT membalas semua amal baik para donatur. Juga ikhwan-akhwat TQN perrwakilan Jakarta Utara atas waktu dan tenaganya, yang dikomandani oleh Bapak Maksum Saputra dan Haji Mulyo Putro serta seluruh jajarannya. Keep Action, bro....!!! (han)


Rabu, Desember 23, 2009

Cahaya Memendar dari Lasem

Pada Tanggal 19-20 Desember 2009 Ketua Korwil DKI Jakarta melakukan perjalanan dakwah di Semarang dan Tuntang, Salatiga, berbarengan dengan itu Sekretaris Korwil DKI Jakarta memenuhi tugas dakwahnya di tanah kelahiran sang istri tercinta di Lasem Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Sang Sekretaris diundang untuk memberikan tausiyah di hadapan ibu-ibu majlis ta’lim di Desa Gedong Mulyo, Lasem.

Sementara itu di Lasem, telah banyak komunitas ikhwan-akhwat TQN Suryalaya yang tengah berlatih mengaplikasikan ajaran mursyid tercinta KH Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin. Seperti biasa, ketika pulang kampung Sekretaris Korwil menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah komunitas ini dalam rangka melakukan pembinaan.

Setelah memimpin dzikir khataman yang rutin dilakukan setiap malam ahad di rumah salah seorang penggerak TQN Suryalaya di Lasem, Sekretaris Korwil DKI Jakarta memberikan tausiyah berhubungan dengan teknis pelaksanaan dzikir harian, yakni dzikir jahri dan khofiy.

“Pancaran Cahaya dzikir (Nuurudzdzikri) senantiasa biasa dihasilkan apabila pelaksanaan dzikir dilakukan secara berjamaah. Dalam dzikir berjamaah, ada saja ikhwan yang kondisinya sedang down diiringi rasa malas yang luar biasa, ada juga yang sedang bersemangat. Aura positif akan senantiasa terpancar dari ikhwan yang bersemangat sehingga ikhwan yang sedang down itu secara otomatis ikut bersemangat.

Selain itu kualitas ruhaniah murid senantiasa meningkat manakala khidmahnya pada Mursyid terus terjaga. Salah satu bentuk khidmah murid pada Mursyid adalah dengan seringnya melakukan dzikir secara berjamaah. Bentuk lain khidmah adalah melestarikan dan membumikan ajaran-ajaran tasawuf Mursyid dengan cara mengajak lebih banyak lagi calon ikhwan untuk talqin dzikir”,
begitu papar sang Sekretaris.

Berkenaan dengan itu, Sekretaris Korwil DKI Jakarta kembali memompa semangat ikhwan TQN Suryalaya di Lasem untuk membuat gerakan-gerakan agresif dalam rangka rekrutmen calon-calon ikhwan. Kemudian terjadilah diskusi yang panjang mengenai wacana ini.

Diakui, Lasem terkenal sebagai kota santri. Pesantren-pesantren banyak berdiri di Lasem terutama di sebelah Timur (wetan). Ada Pesantren-pesantren peninggalan KH. Maksum, KH. Baedlawie, KH. Masduki, KH. Mansur dan lain-lain. Kesemua tokoh di atas adalah nama-nama terkenal dalam kancah penyebaran dan pelestarian nilai-nilai agama Islam di era 50 hingga 70an. Kini, rata-rata pesantren-pesantren tersebut dikelola oleh generasi ke-3 sampai ke-4.

Lain di Timur (wetan) lain lagi di Barat (kulon), hampir dipastikan keberagamaan Islam di Lasem Kulon berbeda 180 derajat dari Lasem Wetan, meskipun ada satu pesantren di Lasem Kulon yang letaknya agak ke utara dan dekat dengan pantai, keberadaannya tidak membawa dampak positif terhadap kehidupan beragama masyarakat Lasem Kulon.

Bisa dikatakan, masyarakat Lasem Kulon lebih sekuler dibanding Lasem Wetan. Salah satu penyebabnya adalah masuknya para pendatang Tionghoa yang sudah terkristenisasi oleh misionaris penjajah Belanda sejak ratusan tahun lalu. Gereja-gereja dan kelenteng-kelenteng jumlahnya lebih banyak di Lasem Kulon, Sekolah-sekolah Kristen dan Katolik berdiri berjajar di pinggir jalan utama Lasem Kulon. Miris, banyak anak-anak muslim yang disekolahkan oleh orangtua mereka ke sekolah-sekolah itu dengan alasan kualitas, tanpa memperhitungkan dampak aqidah di masa depan. Lebih mengkhawatirkan lagi, terjadi proses kristenisasi secara halus melalui pernikahan beda agama dan alasan-alasan ekonomi klasik.

Mempertimbangkan fenomena-fenomena sosial ini, gerakan kembali membumikan tasawuf dan tarekat di Lasem merupakan wacana solutif dalam rangka memperkecil dampak asimililasi budaya tionghoa pada masyarakat Lasem. TQN Suryalaya di Lasem berusaha untuk menjadi pelopor terjadinya transformasi keberagamaan masyarakat Lasem. Langkah awalnya adalah berusaha mensosialisasikan problem-problem sosial ini ke tokoh-tokoh masyarakat dan alim ulama setempat.

Maka keesokan harinya, Sekretaris Korwil DKI Jakarta didampingi oleh salah seorang ikhwan TQN Suryalaya di Lasem bersilaturahim kepada GUS QAYUM, salah seorang ulama kharismatik yang disegani masyarakat Lasem. Beliau adalah cucu KH. Kholil yang dilahirkan di desa Gedong Mulyo, Lasem Kulon. Usianya masih terbilang muda, warga Lasem meyakini GUS QAYUM memiliki khawariqul ‘adah (Keluarbiasaan). Salahsatu contohnya, ketika orang-orang lain belajar ilmu agama kepada ayahandanya, KH Mansur, beliau tidak pernah tertarik. Namun pada satu kesempatan ada salah seorang murid senior KH Mansur sedang memberikan tutorial kepada murid-murid juniornya, GUS QAYUM mendengar kekeliruan dalam cara mengajarkan, saat itu juga ia sanggah dan mengoreksi kekekiruan itu. Uniknya, GUS QAYUM mengajar dengan berkali-kali mengeluarkan istilah-istilah bahasa asing (bahasa Inggris) padahal sebelumnya GUS QAYUM tidak pernah duduk di bangku sekolah formal.

Diskusi hangat pun terjadi setelah sekretaris Korwil DKI Jakarta memperkenalkan diri. Bahasan utama mengenai dakwah Islam di Jakarta dan Lasem. GUS QAYUM dan Sekretaris Korwil DKI Jakarta saling bertukar informasi mengenai iklim dakwah di dua kota. Di sela-sela diskusi, Sekretaris Korwil DKI Jakarta memohon ijin untuk bergabung dalam kegiatan dakwah GUS QAYUM dan berkenalan dengan jamaah di Lasem pada masa-masa yang akan datang sambil membawa tim dakwah dari Ibukota. Alhamdulillah, dengan senang hati GUS QAYUM mempersilakan tim dakwah dari Jakarta untuk turut bergabung dalam kegiatan-kegiatan dakwahnya.

Biasanya, jika GUS QAYUM kedatangan tamu pada saat pengajiannya dilaksanakan, tidak sungkan beliau akan langsung mempersilakan tamu itu untuk berbicara di depan jamaahnya. Kesempatan ini sangat penting apabila tim dakwah dari Jakarta atau Suryalaya yang menjadi tamunya dan menggunakannya untuk memperkenalkan TQN Suryalaya. Mudah-mudahan wacana ini cepat terwujud. Insya Allah.

Malam Senin, Sekretaris Korwil DKI Jakarta berbicara di depan jamaah Majlis Ta’lim ibu-ibu Desa Gedong Mulyo. Kurang lebih 150 orang hadir pada acara selamatan aqiqah warga Lasem yang sedang menjalani pendidikan di Akademi Kepolisian. Tema yang dibahas adalah cirri-ciri leadership Rasulullah SAW sebagai bekal Taruni tersebut menjalani pendidikan dan tugas-tugasnya setelah lulus dari Akademi Kepolisian.
Sebelum kembali ke Jakarta pada keesokan harinya, Sekretaris Korwil DKI Jakarta menyempatkan diri bersilaturrahim melalui handphone dengan KH Asrori Kholil, wakil talqin TQN Suryalaya di Bojonegoro. Tidak disangka ternyata beliau sedang berada di kediaman kakak iparnya KH Hamid Baedlawie di Lasem. KH. Hamid Baedlawie adalah keturunan langsung KH. Baedlawie, salah satu dari tiga serangkai pemuka agama Islam di Lasem pada era 50-70an, dua lainnya adalah KH. Maksum dan KH. Masduki. Seakan tertimpa durian runtuh, Sekretaris Korwil DKI Jakarta dengan segera memohon untuk bermuwajahah sekaligus berdiskusi mengenai perkembangan TQN Suryalaya di Lasem.

Permohonan disetujui, dengan segera Sekretaris Korwil DKI Jakarta memacu kendaraan ke kediaman KH Hamid Baedlawi yang berjarak hanya tiga kilometer dari Gedong Mulyo. Setibanya di Pondok Pesantren Al Wahdah (ponpes asuhan KH Hamid Baedlawi), KH Asrori Kholil sedang dipijit oleh salah seorang santri Ponpes Al Wahdah. Percakapan akrab pun segera terjadi. Maklum keduanya sudah saling mengenal lama. Pembicaraan yang tadinya hanya sekadar basa-basi meningkat pada persoalan serius mengenai perkembangan TQN Suryalaya.

Sekretaris Korwil DKI Jakarta mengusulkan untuk menggunakan pengaruh besar KH Hamid Baedlawie di kalangan masyarakat Lasem dalam rangka promo TQN Suryalaya. KH. Asrori Kholil menyetujui usulan tersebut, namun harus dengan cara yang elegan. Beliau mengusulkan membuat sebuah seminar mengenai tasawuf yang dihadiri para praktisi tasawuf dari TQN Suryalaya diantaranya Ust. Wahfiudin atau KH. Jejen Zaenal Abidin dan lain-lain serta melibatkan ulama kharismatik setempat semisal KH. Hamid Baedlawie. Berikan kesempatan beliau berbicara mengenai tasawuf sesuai versinya sambil beliau juga mendengarkan tasawuf dan thariqah ala TQN Suryalaya melalui wakil-wakil talqin TQN Suryalaya. Sebuah usulan yang bagus. Mudah-mudahan wacana ini bisa terealisasi.

Kemudian KH Asrori Kholil mengajak Sekretaris Korwil DKI Jakarta untuk menemui KH Hamid Baedlawie di ruangannya. Tidak lama menunggu, KH. Hamid Baedlawie keluar menemui mereka. Ulama kharismatik itu sudah tampak sepuh. Posturnya yang sangat tinggi, warna kulit yang putih bersih, rona wajah yang selalu tampak ceria dan memancarkan aura ketentraman menambah kesan beliau sebagai orang yang sangat dimuliakan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Sekretaris Korwil DKI Jakarta untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari kata-kata hikmah yang keluar dari lisan beliau.

Sungguh anugerah yang sangat luar biasa. Perjalanan dakwah di Kota Lasem memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT. Dari waktu ke waktu, skenario Allah SWT berjalan tidak disangka-sangka. Mudah-mudahan perjalanan ini memperoleh berkah dan bermanfaat untuk kemaslahatan umat pada umumnya dan perkembangan TQN Suryalaya pada khususnya.(han)

Meruya-Rawamangun, 23 Des 09



Kamis, Desember 03, 2009

Pagi Dua Sapi Malam Dua Dzikir

Safari Kurban TQN Suryalaya Korwil DKI Jakarta

Tepat ba’da Shalat Jum’at, 10 Dzulhijjah 1430 H tim Safari Kurban TQN Suryalaya yang dipimpin langsung Ust. Wahfiudin bertolak dari Ibukota Jakarta menuju Kampung Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. Rencananya Tim akan bermalam di Kawasan Kota Garut agar pagi-pagi sekali bisa hadir di Kampung Pamalayan untuk melakukan penyembelihan hewan kurban dua ekor sapi yang masing-masing berbobot sekitar 700 kg.

Kedua ekor sapi tersebut adalah hewan kurban sebuah keluarga dermawan di Jakarta yang diamanahkan kepada Ust. Wahfiudin (Ketua Korwil Jakarta sekaligus Pimpinan Dompet Dhuafa Rawamangun) untuk disalurkan kepada warga yang sangat membutuhkan. Pekurban sangat ingin penyembelihannya dilakukan langsung oleh Ust. Wahfiudin, karena itu pula beliau bersama keluarga besarnya datang lebih awal dan menyempatkan diri hadir pagi-pagi sekali ke kampung yang berjarak kira-kira 25 kilometer dari arah selatan kota Garut.

Kampung Pamalayan berada di kaki bukit Cikuray pada ketinggian kira-kira 1800 meter di atas permukaan laut. Untuk masuk ke kampung tersebut tim Safari Kurban harus melalui Jalan Bayongbong yang mulus dan rata, tetapi saat berbelok menuju kampung tersebut, tim segera berhadapan dengan jalan desa yang bergelombang dan sangat terjal. Sudut kemiringan antara 30-60 derajat. Sebuah medan yang jarang ditemukan di Ibukota. Biasanya banyak jalan di perbukitan dibuat berkelok-kelok untuk memudahkan pengendara mencapai tujuan terutama kendaraan yang memilki beban berat. Namun jalan desa di kawasan ini hampir sebagian besar dibuat lurus dan menanjak tajam. Sebuah ujian berat bagi sopir-sopir yang baru masuk ke kawasan ini.

Warga kampung Pamalayan sangat gembira sekaligus terharu. Mereka tidak menyangka sebelumnya akan mendapatkan penyaluran hewan kurban berupa dua ekor sapi yang besar-besar ini. Sempat timbul sikap pesimis, rasanya tidak mungkin dua ekor sapi yang masing-masing berbobot 700-an kg hadir di tengah-tengah mereka dan akan mereka konsumsi dagingnya setelah disembelih.

Atensi warga sangat tinggi, layaknya warga di desa-desa nusantara. Setelah menyaksikan prosesi penyembelihan oleh Ust. Wahfiudin terhadap dua ekor sapi tersebut, warga yang tergabung dalam panitia pemotongan bergotong royong menguliti sapi yang telah disembelih. Pisau-pisau kecil tajam menari-nari lincah diantara bagian dalam kulit yang melekat erat pada lapisan luar daging dan genggaman kokoh lengan-lengan berotot penyamak musiman yang setiap hari akrab dengan pacul, parang dan golok di sawah dan ladang.

Selesai dikuliti, perlahan jeroan sedikit demi sedikit dikeluarkan dari dalam perut sapi sang pembawa berkah. Tinggallah daging yang penuh gizi yang masih melekat pada tulang-tulang besar dan kekar. Kapak dan golok kini lebih banyak berperan mengganti pisau-pisau kecil untuk memotong dan membelah tulang-tulang. Lalu daging-daging segar berona merah darah mulai dilepaskan dari ikatan kuat tulang belulang. Daging-daging tersebut dipotong-potong sesuai ukuran yang diperlukan.

Giliran petugas distribusi bekerja cermat. Daging-daging dan tulang-belulang yang telah dipotong sedemikian rupa dipilah-pilah dan dikelompokkan dalam gundukan-gundukan sejumlah calon penerima daging kurban yang telah terdaftar. Lalu gundukan-gundukan daging dan tulang itu dimasukkan ke -dalam kantong-kantong plastik untuk selanjutnya dibagikan kepada warga. Menjelang Ashar pekerjaan pun selesai. Alhamdulillah panitia tersenyum puas, warga penerima daging kurban menyeringai bahagia.
Belakangan diketahui, penerima daging kurban adalah sebanyak 560 kepala keluarga yang tergabung dalam tiga Rukun Kampung (RK) di Desa Pamalayan.

Diketinggian puncak bukit, perlahan kabut mulai menampakkan diri. Menebal. Semilir dingin angin pegunungan mulai menusuk-nusuk pori-pori. Sementara itu hari mulai gelap. Mentari segera undur diri, menghilang dibalik ufuk berganti gerimis ringan membasahi bumi Pamalayan. Warga mulai bersiap untuk menghadiri tausiyah yang akan diberikan oleh Ust. Wahfiudin selepas Isya nanti di Masjid.

Tim Safari Kurban kembali tiba di Pamalayan sekitar pukul 19.40 WIB setelah istirahat beberapa jam di penginapan. Kendaraan Elf bertuliskan Thariqah Qadiriyyah Naqsyabandiyyah Pesantren Suryalaya Korwil Jakarta membawa duabelas kru berikut ketua tim, Ust. Wahfiudin. Di Masjid sejumlah 300-an warga Pamalayan tengah menanti. Sebagian besar berbalut baju hangat untuk menangkal serangan udara dingin dan guyuran gerimis.

Pengajian dimulai setelah perlengkapan multimedia sempurna terpasang. Pembawa acara yang juga tokoh muda Pamalayan membuka pengajian dengan campuran bahasa Sunda dan Indonesia. Selang beberapa menit lantunan ayat suci Al Qur’an terdengar dari lisan merdu qari’. Suasana begitu khusyu’.

Tiba giliran ketua panitia pemotongan dan penyaluran hewan kurban memberikan sambutan. Beliau berterimakasih yang tak terhingga atas kedermawanan pekurban dan kerelaan Tim Safari Kurban dalam memfasilitasi semua nikmat yang mereka terima pada hari itu. Semua karunia besar ini berkah dan anugerah dari Allah SWT yang dijembatani oleh salah satu warga Pamalayan yang sedang belajar berkhidmah pada Ust. Wahfiudin, yaitu saudara Setiawan (pembawa acara).

Atas nama warga Pamalayan, beliau berterimakasih kepada Ust. Wahfiudin karena salah satu warganya diberikan kesempatan menikmati pendidikan tinggi dan memperoleh wawasan luas di Ibukota. Semoga ia memberi manfaat untuk warga Pamalayan pada umumnya.

Dalam tausiyahnya Ust. Wahfiudin langsung membawa mustami’ pada kondisi talqin dzikir. Subhanallah, ‘gerakan Allah’ mengalir bagaikan air. Semua Allah telah mengatur. Kini tigaratusan warga Pamalayan telah memperoleh bibit dzikir yang ditanamkan pada qalbu-qalbu mereka berikut kepala desa dan tokoh-tokoh masyarakat yang hadir pada momen indah ini. Sedu sedan perindu Sang Malik menyeruak dibalik hening prosesi talqin dzikir sirri. Sedu sedan yang mulai beralih menjadi isak tangis jiwa-jiwa yang harap-harap cemas akan Rahmat dan ancaman azab-Nya.

Setelah itu Ust. Wahfiudin memaparkan teori dzikir yang langsung menembus ke dalam qalbu. Dzikir yang menggunakan metode. Dzikir yang berafiliasi dengan para pembawa pesan dan warisan Rasulullah Muhammad SAW. Dua jenis dzikir yang akan membawa para pengamalnya ‘terbang’ ke haribaan Sang Maha Pencipta, wushul ilallah. Dzikir yang nyata terdengar suara dan terlihat gerak bibir menyebutnya, yakni dzikir Jahr dan dzikir yang tersembunyi, hanya hati nurani yang mengingat-ingatnya, yakni dzikir sirri/khofiy.

“Tuntas sudah amanah kami sampaikan,” tukas Ust. Wahfiudin. “Tadi pagi amanah pertama telah kami selesaikan, yakni menyampaikan dua ekor sapi untuk warga Pamalayan dari seorang dermawan di Jakarta. Profesinya adalah dokter dan bukan hari ini saja kedermawanannya dibuktikan. Beberapa kegiatan kami yang lalu beliau juga donaturnya. Hari ini beliau sedang beribadah haji. Mudah-mudahan berliau beroleh haji yang mabrur. Dan malam ini amanah kedua telah kami sampaikan pula, yakni dua jenis dzikir, dzikir jahri dan dzikir khofiy. Amanah dari guru kami, Wali Mursyid Thariqah Qadiriyyah Naqsybandiyyah Yang Mulia KH. Ahmad Shahibul Wafa Tajul ‘Arifin atau yang terkenal dengan Abah Anom. Amanah pertama untuk kenikmatan jasmani dan amanah kedua untuk kenikmatin ruhani. Setelah ini harap amalkan secara istiqomah amanah yang kedua. Karena sesungguhnya inilah hakikat kedatangan tim kami ke Pamalayan”, lanjut beliau.

Waktu telah menunjukkan pukul 22.00 WIB ketika Ust. Wahfiudin menutup paparannya. Untuk para warga beliau membagikan selebaran dzikir harian TQN Suryalaya untuk diamalkan. Lalu beliau menutup pengajian dengan do’a untuk kesejahteraan dan keselamatan seluruh muslimin dan muslimat, khususnya warga Pamalayan Kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut. (han)

Selasa, Desember 01, 2009

Penyaluran Hewan Kurban

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Laailaahaillallahu Allahu Akbar Allahu Akbar Walillaahilhamdu. Gema takbir bersahut-sahutan dari satu mushola ke mushola lainnya, dari satu masjid ke masjid lainnya selepas Ashar pada hari kamis, 9 Dzulhijjah. Besoknya, Hari Raya Idul Adha 1430 H bertepatan tanggal 27 November 2009 dirayakan berbarengan oleh sebagian besar warga Indonesia. Ormas-ormas besar agama Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lainnya telah menyepakati waktu pelaksanaan Hari Raya Kurban sejak penetapan tanggal 1 Dzulhijjah 1430 H pada sidang isbat yang diselenggarakan Departamen Agama RI.

Kesibukan begitu terasa di kantor Dompet Dhuafa Rawamangun yang seatap dengan kantor YSB Korwil Jakarta pada H-1 . Dering telepon berulangkali terdengar. Sebagian besar dari pekurban yang menkonfirmasi dana yang telah mereka transfer ke nomor rekening panitia Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa Rawamangun. Sebagian ada yang menanyakan berapa rupiah yang harus mereka keluarkan untuk berkurban 1 ekor kambing atau 1 ekor sapi. Sebagian ada yang menanyakan lokasi kantor berikut rute yang harus mereka tempuh untuk bisa sampai ke kantor tersebut guna menyampaikan dana kurban secara langsung.

Di salah satu sudut kantor, Ust. Wahfiudin pimpinan Dompet Dhuafa Rawamangun yang juga Ketua Korwil Jakarta menggelar rapat singkat dan terbatas dengan panitia THK DD Rawamangun dan sebagian pengurus Korwil Jakarta. Agenda rapat membahas lokasi penyebaran hewan kurban hasil kerjasama DD Rawamangun dan Korwil Jakarta.

Setelah mempertimbangkan beberapa hal dan mengkonfirmasi permohonan lokasi pemotongan hewan kurban dari beberapa ikhwan TQN diputuskan menyalurkan hewan-hewan kurban ke Kalibaru Cilincing Jakarta Utara 4 ekor kambing, Kampung Sawah Bekasi 3 ekor kambing, Ciomas Bogor 1 ekor kambing, Kp Lembah Abang Cikarang 2 ekor kambing, Kampung Pamalayan Garut 2 ekor sapi dan Kampung Taruju Tasikmalaya sapi seekor dan kambing 2 ekor.

Kampung Kalibaru Cilincing Jakarta Utara adalah daerah minus. Sebagian besar penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Profesi orang dewasa di kawasan ini mayoritas nelayan tradisional. Ada beberapa menjadi pedagang kecil-kecilan, tukang ojek, pekerja buruh pelabuhan Tanjung Priok dan pekerja-pekerja sektor non formal lainnya. Ada juga yang menjadi pegawai negeri sipil tetapi tidak banyak jumlahnya. Karena kondisi perekonomian yang minim ini, hampir dipastikan sangat jarang penduduk yang mampu menyisihkan sebagian pendapatannya untuk berkurban. Pertimbangan ini menjadikan alasan 4 ekor kambing Kurban kerjasama DD Rawamangun dan Korwil Jakarta dikirimkan ke Kampung Kalibaru untuk dipotong dan disalurkan dagingnya.

Kawasan Kampung Sawah Bekasi terkenal dengan wilayah kristenisasi yang sangat gencar dilakukan oleh kelompok misionaris Kristen. Tidak hanya pemuka agamanya, bahkan penduduk sekitar yang biasa-biasa saja mampu melakukan usaha kristenisasi dengan berbagai cara. Sebagian besar keberhasilan usaha kristenisasi ini dilakukan dengan iming-iming pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dalam rangka meminimalisir gerakan kaum misionaris, 3 ekor kambing dikirimkan oleh DD Rawamangun dan Korwil Jakarta ke kampung sawah. Panitia Pemotongan dan Penyaluran hewan kurban melaporkan ada sekitar 150-200 orang pengamal dzikir TQN Suryalaya di kawasan ini. Ini momentum tepat untuk sosialisasi dakwah Islam melalui tasawuf yang dipraktekkan oleh KH Ahmad Shahibul Wafa Tajul Arifin dan Pesantren Suryalayanya. Juga sebagai bukti kepedulian ikhwan TQN Suryalaya terhadap problem sosial umat.

Kampung Lemah Abang Cikarang menjadi salah satu tujuan penyaluran hewan kurban karena kawasan tersebut tergolong daerah tertinggal. Di kawasan tersebut tinggal seorang da’i aktivis dzikir TQN Suryalaya yang pengalaman dakwahnya dimulai sejak beliau menjadi murid KH. Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad hingga kini. Da’i itu adalah Ust. Nurhasan. Beliau sering bertandang ke kawasan Kemoyoran Jakarta Pusat untuk membina ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di Kemayoran.

Di Ciomas Bogor satu ekor sapi disalurkan. Penerimanya adalah sebuah yayasan anak yatim piatu yang dikelola oleh salah satu karyawan Badan Pengelola Masjid Istiqlal Jakarta. Pa Zuhdi yang telah berkhidmah sebagai pengatur soundsystem Masjid Istiqlal selama lebih tigapuluh tahun menyisihkan sebagian waktu luangnya untuk mengelola yayasan ini. Semoga satu ekor kambing yang dipotong dan dibagikan untuk anak-anak yatim membawa berkah yang agung untuk pekurban.

Kampung Pamalayan kecamatan Bayongbong Kabupaten Garut menjadi tujuan penyaluran dua ekor sapi yang dikurbankan atas nama sebuah keluarga dokter yang sangat dermawan di Jakarta. Amanahnya dua ekor sapi itu harus disembelih oleh Ust. Wahfiudin, maka pantia THK DD Rawamangun dan Korwil Jakarta memutuskan untuk mengadakan safari kurban ke kawasan tersebut.

Kawasan Pamalayan merupakan salah satu daerah terkena gempa pada September 2009 yang lalu. Ada beberapa rumah penduduk dan bangunan sekolah yang hancur dan roboh. Meski telah ada bantuan dari beberapa donator seperti BAZNASDA Jawa Barat dan salah satu televisi swasta nasional berupa sembako dan bantuan medis, namun belum mampu mengobati derita yang tersisa akibat gempa.

Profesi penduduk Pamalayan sebagian besar petani, rata-rata hanya mampu mengenyam pendidikan formal hingga SD dan SMP. Jarak yang cukup jauh dari ibukota kabupaten dan sarana transportasi yang kurang memadai menjadi hambatan utama perkembangan kawasan ini.

Daerah terakhir yang menjadi tujuan penyaluran hewan kurban adalah kawasan kampung Taraju Kabupaten Tasikmalaya. Taraju terletak 48 km dari ibukota Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat. Kawasan ini juga terkena gempa di Jawa Barat September 2009 yang lalu, bahkan cukup parah. Kiranya penyaluran satu ekor sapi dan dua ekor kambing ke kawasan ini mampu mengurangi beban derita yang dialami oleh para korban gempa bumi.(han)


Selasa, November 24, 2009

Mengenal Gerbang Globalisasi

Reportase Pelatihan Dasar Internet

Dalam rangka meningkatkan kualitas kinerja pengurus perwakilan di lima wilayah DKI Jakarta, Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya Korwil DKI Jakarta (baca: Korwil Jakarta) mengadakan Pelatihan Internet Tingkat Dasar. Sesuai namanya, pelatihan ini ditujukan kepada pengurus perwakilan yang belum pernah sama sekali berhubungan dengan dunia internet.

Pelatihan dilaksanakan di salah satu warnet di bilangan Jakarta Timur yang memiliki fasilitas cukup memadai pada Sabtu 21 Nopember 2009. Korwil Jakarta menyewa fasilitas paket untuk limabelas orang dari pukul 09.00 wib hingga pukul 13.00 wib.

Pelatihan kali ini diikuti oleh utusan tiga perwakilan dari lima perwakilan yang diundang, yakni Perwakilan Jakarta Utara, Barat dan Timur. Jakarta Utara diwakili oleh Maksum Saputra, H. Mulyoputro, Slamet Supriyanto, Waiyono (Hudaya Jakarta utara), Ansori dan Andi Baso, Jakarta Barat diwakili oleh H. Saaman dan Niswan, Jakarta Timur diwakili oleh Ibnu Hazen dan Mela Suratno serta Ibu Hj. Maya dari Korwil Jakarta.

Sayang, utusan dari perwakilan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan tidak hadir, padahal kegiatan pelatihan ini sangat bermanfaat terutama dalam mendukung kinerja perwakilan. Ke depan kemampuan menggunakan internet ini sangat dibutuhkan terutama untuk mempercepat kinerja koordinasi.


Bertindak selaku instruktur adalah para praktisi dunia internet yang juga alumnus Pelatihan Muballigh Tasawuf (PMT) Angkatan I Yayasan Aqabah Sejahtera, yakni Heri Kusworo yang sehari-hari bergelut dalam dunia informatika di kantornya dan Handri Ramadian aktivis dakwah yang jebolan Teknik Komputer Pendidikan Ahli Teknik Industri Gadjah Tunggal (PATIGAT) Tangerang.

Peserta pelatihan diperkenalkan cara menggunakan internet melalui media browsing yang sering digunakan oleh para pengguna internet. Bagaimana cara memperoleh informasi dalam bentuk teks maupun gambar dengan search engine yang sudah familiar di Indonesia, mengunduh (downloading) dan mengunggah (uploading) informasi dari dan ke dunia internet, membuat alamat surat elektronik (email address), cara membuat surat elektronik, mengirim dan menerimanya, cara mendaftar untuk menjadi anggota (member registration) sebuah portal komunitas dan lain-lain.


Pelatihan singkat ini agaknya tidak mampu menampung kehausan peserta untuk berselancar lebih lama di dunia internet. Bekal awal sudah dimiliki, tinggal mereka mengembangkannya dengan sering berinteraksi melalui internet. Semoga pembekalan wawasan global kepada pengurus perwakilan akan lebih meningkatkan kreatifitas dan inovasi mereka dalam usaha khidmah kepada Wali Mursyid Pangersa Abah Anom. (Han)


Senin, November 16, 2009

Menjemput Berkah di JIC

Masjid Jakarta Islamic Center (JIC) Tanjung Priok kembali diramaikan oleh ikhwan akhwat TQN Suryalaya di Jabodetabek. Minggu 8 Nopember 2009 yang lalu mereka memadati masjid untuk menghadiri Manaqib Syekh Abdul Qadir Al Jaylani qs. Kegiatan rutin yang digelar tiga bulan sekali oleh jajaran pengurus Yayasan Serba Bakti Pontren Suryalaya Korwil Jakarta dan seluruh perwakilan.

Dua buah layar berukuran raksasa telah siap terpasang sebagai media presentasi materi-materi manaqib. Seorang kru IT dari Korwil Jakarta tampak sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan di-share melalui internet. Sebagaimana yang telah dilakukan pada acara manaqib di Masjid Istiqlal Agustus 2009 lalu, kegiatan manaqib di JIC ini juga bisa diakses lewat dunia maya.

Acara diawali dengan lantunan dzikir khataman yang dipimpin oleh salah seorang ustadz dari perwakilan Jakarta Utara. Jamaah di belakangnya mengikuti dengan khusyu. Di depannya, kedua layar raksasa menampilkan dzikir khataman TQN Suryalaya dalam teks bahasa arab lengkap dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Bagi para pendatang baru dan ikhwan-akhwat yang belum hafal dzikir khataman, tampilan teks tersebut amat membantu mereka.

Tiga puluh menit berselang, dzikir khataman tuntas dilantunkan. Ust. Andhika Darmawan, tampil di depan jamaah memimpin acara manaqib. Setelah majlis do’a alfatihah rangkaian ritual manaqib pun digelar. Ust. Lukmanul Hakim dengan suara merdunya melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an. Suasana khusyu segera terasa auranya. Sebagian besar jamaah menundukkan kepala, mata-mata basyariah terpejam tetapi qalbu-qalbu mereka sibuk dengan ingatan kepada Sang Maha Pencipta. Berturut-turut, tanbih, tawassul dan manqobah Syekh Abdul Qadir Al Jaylani dibacakan sesudahnya oleh Ust. Handri Ramadian, Ust. Soleh Masqub dan Ust. Abdul Latif.

Ketua Korwil Jakarta, Ust. Wahfiudin tampil berikutnya untuk memberikan sambutan. Dalam kesempatan itu, beliau memperkenalkan jajaran pengurus harian Korwil Jakarta yang berjumlah sembilan orang. Ust. Wahfiudin memaparkan alasan rampingnya kepengurusan Korwil Jakarta masa bakti 2009-2014 sebagaimana yang telah banyak disosialisasikan di berbagai media intern TQN Suryalaya.

Program-program Korwil pun dipaparkan oleh sang Ketua. Dalam waktu dekat ini Korwil Jakarta akan memberikan pembekalan teknis kepada beberapa utusan perwakilan di lima wilayah kota berupa pelatihan internet, tujuannya agar para pengurus perwakilan tidak lagi gagap dunia internet. Sehingga nantinya mereka mampu memanfaatkan kehadiran internet untuk mempermudah dan mempercepat kinerja.

Kaitannya dengan hal tersebut, Korwil Jakarta memperkenalkan portal www.tqn-jakarta.org sebagai media interaksi antarikhwan di dunia maya. Portal tersebut dapat diakses oleh semua orang dan kepada ikhwan-akhwat TQN Jabodetabek disarankan untuk melakukan registrasi dalam rangka identifikasi formal sebagai member.

Selain identifikasi ikhwan melalui dunia maya, Korwil Jakarta juga berencana melakukannya secara manual. Korwil Jakarta dalam waktu dekat ini akan membentuk tim guna mendata ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di Jabodetabek dengan mendatangkan tim ke tempat-tempat manaqib berdasarkan wilayah perwakilan. Tim tersebut akan mengambil gambar wajah ikhwan-akhwat satu persatu melalui pemotretan dengan digital camera berikut kartu identitas mereka. Sehingga nantinya akan didapat data aktual jumlah Ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di Jakarta.

Beragam program lainnya pun disosialisasikan, seperti pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kualitas keilmuan ikhwan, dari pelatihan tasawuf tingkat dasar, pelatihan imam khataman dan petugas manaqib hingga pelatihan kader muballigh.

Terakhir dalam rangka Hari Raya Qurban 1430 H, Korwil Jakarta mengadakan kerjasama dengan program Tebar Hewan Kurban (THK) Dompet Dhuafa Rawamangun untuk menampung dana qurban ikhwan-akhwat TQN Jakarta dan menyalurkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya, terutama di daerah-daerah terpencil dan korban-korban bencana alam di berbagai belahan Indonesia.

Khidmah ilmiah kali ini disampaikan oleh Ajengan Jejen. Ulama kharismatik yang bernama lengkap KH. Zezen Zaenal Abidin Bazul Asyhab yang juga Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) Kab. Sukabumi ini adalah ulama yang super sibuk. Beragam jabatan organisasi di tingkat Kabupaten Sukabumi dan Provinsi Jawa Barat disandangnya, tapi itu semua tidak menghambat keinginannya untuk bersilaturahim dengan ikhwan-akhwat TQN Jakarta.

Sebagaimana biasa, kegiatan manaqib diakhiri dengan pembelajaran (talqin) dzikir oleh Ajengan Jejen kepada sekitar seratusan ikhwan-akhwat baru selepas shalat dzuhur berjamaah. (han)


Kamis, November 12, 2009

Mursyid, Salik dan Thariqah

Alfathri Adlin (direktur PICTS, editor penerbit Jalasutra)


Sebiji buncis meronta dan terus melompat
hingga hampir melampaui bibir kuali
di mana ia tengah direbus di atas api.

"Kenapa kau lakukan ini padaku?"

Dengan sendok kayunya,
Sang Juru Masak mementungnya jatuh kembali.

"Jangan coba-coba melompat keluar.
Kau kira aku sedang menyiksamu?
Aku memberimu cita rasa!
Sehingga kau layak bersanding dengan rempah dan nasi
untuk menjadi gelora kehidupan dalam diri seseorang.

Ingatlah saat-saat kau nikmati regukan air hujan di kebun.
Saat itu ada untuk saat ini!"

Pertama, keindahan. Lalu kenikmatan,
kemudian kehidupan baru yang mendidih akan muncul.
Setelah itu, Sang Sahabat akan punya sesuatu yang enak untuk dimakan.

Pada saatnya, buncis akan berkata pada Sang Juru Masak,
"Rebuslah aku lagi. Hajar aku dengan sendok adukan,
karena aku tak bisa melakukannya sendirian.

Aku seperti gajah yang melamun menerawang
tentang taman di Hindustan yang dulu kutinggalkan,
dan tidak memperhatikan pawang pengendali arah jalan.
Engkaulah pemasakku, pawangku, jalanku menuju cita rasa kesejatian.
Aku suka caramu membuat masakan."

"Dulu aku pun seperti engkau,
masih hijau dari atas tanah. Lalu aku direbus matang dalam waktu,
direbus matang dalam jasad. Dua rebusan yang dahsyat.

Jiwa binatang dalam diriku tumbuh kuat.
Kukendalikan dia dengan latihan,
lalu aku direbus lagi, dan direbus lagi.
Pada satu titik aku melampaui itu semua,dan menjadi gurumu." 1

Seorang Mursyid yang sejati, yang menerima perintah khusus dari Allah untuk menjadi guru bagi para pejalan sufi, bisa tampil dengan berbagai macam wajah. Ada kalanya ia tampak lembut dan sabar, begitu mudah dipahami. Ada kalanya pula ia tampil dengan galak dan keras, begitu membingungkan dan sulit dipahami.

Seorang mursyid akan mendidik murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwatnya, untuk mengenal segala macam aspek yang ada dalam diri masing-masing, dan untuk memunculkan potensi dirinya yang sesungguhnya. Potensi yang diletakkan Allah dalam qalb masing-masing manusia ketika ia dijadikan.

Dalam tahap pembersihan diri ini, hampir semua murid biasanya meronta. Tentu saja, karena hawa nafsu dalam diri kita pasti meronta jika dipisahkan dari hal-hal yang disukainya. Tapi demi memunculkan diri muridnya yang asli, maka mau tak mau, Sang Mursyid harus melakukannya. Sang Mursyid harus memaksa murid-muridnya untuk belajar mengendalikan seluruh bala tentara hawa nafsu dan syahwat (Rumi menyebutnya sebagai 'jiwa binatang') dalam diri masing-masing.

Inilah yang dimaksud Rumi dalam puisinya di atas, bahwa sebenarnya tugas seorang mursyid adalah 'merebus' murid-muridnya di atas api, demi memunculkan cita rasanya yang asli dalam diri masing-masing. Pada awalnya, biasanya buncis akan meronta dan bisa jadi, ingin lari. Pada tahap ini, mau tak mau, mursyid kadang perlu 'mementungnya' supaya kembali tenggelam dalam rebusan air mendidih. Tapi sekali si murid sudah merasakan manfaat bimbingan Sang Mursyid dalam perkembangan jiwanya, maka ia akan terus-menerus meminta untuk 'direbus' kembali.

Apakah ini berarti bahwa seorang murid harus memposisikan dirinya di hadapan gurunya seperti mayat yang dibolak-balik oleh pemandinya?

Nah, ini juga pemahaman yang perlu dikoreksi. Ada beberapa hal yang biasanya diajukan kepada para pejalan sufi yang ber-thariqat maupun yang memiliki mursyid, yang belakangan ini sering mengemuka. Berikut dua contoh representatif ketidaktepatan penilaian yang digeneralisir tersebut.

Pertama, "Saya bukan pengikut tasawuf formal. Saya tidak pernah bersumpah setia di bawah telapak tangan seorang guru spiritual untuk hanya menaati dia seorang, karena saya tidak menyukainya. Saya pikir, tidak ada pemikiran dan kesadaran sehat yang bisa terbangun jika seseorang telah memutuskan untuk berhenti bertanya, dan bersikap kritis." 2

Kedua, ".Sekurang-kurangnya ada tiga hal penting yang sering dipersoalkan orang mengenai tarekat ini. Pertama, soal otoritas guru yang mutlak tertutup dan cenderung bisa diwariskan. Kedua, soal bai'at yang menuntut kepatuhan mutlak seorang murid kepada sang guru, seperti mayat di depan pemandinya; dan ketiga, soal keabsahan (validitas) garis silsilah guru yang diklaim setiap tarekat sampai kepada Nabi Muhammad Saw. Salah satu ciri utama tasawuf positif adalah rasionalitas. Karena itu, tasawuf positif harus menolak segala bentuk kepatuhan buta kepada seorang manusia-yang bertentangan dengan semangat Islam." 3

Sekilas, kedua penilaian 'kritis' atas mursyid dan thariqah tersebut terkesan memperjuangkan keotonoman individu beserta rasionalitasnya, namun sayangnya terlalu terburu-buru melakukan generalisasi. Terlebih, kedua penilaian 'kritis' tersebut lebih merefleksikan prasangka semata ketimbang pembuktian melalui pengalaman menggeluti thariqah.

Posisi seperti itu tak ubahnya seperti komentator sepakbola dengan pemain sepakbola. Seorang komentator sepakbola sangat mahir dalam menganalisis kesalahan pemain, strategi yang sedang dimainkan, kegemilangan permainan, dan lain sebagainya. Namun yang lebih mengetahui dan merasakan realitasnya, bersusah-payah, pontang-panting, senantiasa waspada terhadap setiap serangan lawan, hingga akhirnya menjadi pemilik sejati pengetahuannya adalah si pemain sepakbola itu sendiri.

Sahabat Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata,

"Bila kau merasa cemas dan gelisah akan sesuatu, masuklah ke dalamnya, sebab ketakutan menghadapinya lebih mengganggu daripada sesuatu yang kautakuti itu sendiri." 4

Namun, di sisi lain, bisa dimaklumi juga bahwa generalisasi bermasalah-karena ketakutan memasuki dunia thariqah secara langsung-seperti terlihat pada kedua penilaian 'kritis' di atas, dilandaskan pada perkembangan mutakhir berbagai thariqah klasik. Maka lahirlah penilaian yang digeneralisasi sebagai karakter sejati seluruh tarekat, sehingga luput mengamati prinsip terdasar kemursyidan dan kethariqahan.

Deviasi adalah hal yang lazim terjadi dalam perjalanan sejarah kemanusiaan. Bahkan berbagai kitab suci pun sering mengemukakan bagaimana di setiap masa senantiasa terjadi deviasi ajaran agama sepeninggal sang pembawa risalah atau nubuwahnya. Ini tak ubahnya air yang semakin keruh ketika menjauhi sumber mata airnya, sehingga praktis di hilir hanya akan ditemui air kotor yang sudah tercampur sampah.

Begitu pula halnya dengan thariqah. Ketika sang pendiri atau mursyid sejatinya meninggal, maka hanya kehendak dan izin Allah Ta'ala semata yang bisa menjamin kemurnian dan keberlanjutan thariqah tersebut, yaitu, dengan menghadirkan mursyid sejati pengganti. Apabila Allah Ta'ala tidak menghadirkan mursyid sejati pengganti, berarti thariqah tersebut sudah berakhir. Kemursyidan itu adalah misi hidup, dan hanya boleh dipegang oleh mereka yang telah mencapai ma'rifat dan misi hidupnya adalah mursyid. Tidak semua orang yang telah ma'rifat boleh serta merta menjadi mursyid. Wali Quthb (pemimpin para wali di suatu zaman) seperti Ibn 'Arabi pun tidak menjadi mursyid thariqah.

Oleh karena itu, sebagaimana puisi Rumi tadi, seseorang tidak bisa mengangkat dirinya sendiri menjadi seorang guru spiritual sebelum ia sendiri sudah pernah, dan berhasil, melalui semua 'rebusan', dan kemudian memperoleh pengetahuan dari Allah ta'ala bahwa misi hidupnya memang sebagai seorang mursyid.

Kemursyidan adalah sebuah tugas langsung dari Allah ta'ala (misi hidup).
Oleh karena itu, jabatan kemursyidan pun tidak dapat diwariskan, sekalipun dengan landasan senioritas, keluasan pengetahuan, atau bahkan garis keturunan. Lantas, bagaimana dengan para salik yang tersisa apabila Allah Ta'ala tidak lagi menghadirkan mursyid sejati pengganti di sebuah thariqah? Tetaplah berpegang teguh pada dua hal paling berharga yang ditinggalkan Rasulullah Muhammad Saw, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah. Jangan mengada-adakan mekanisme regenerasi mursyid hanya karena ikatan emosional pada thariqah sebagai lembaga, sehingga akhirnya menyerahkan 'amr (urusan) kepada orang yang bukan ahlinya.

Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda: "Allah tidak menarik kembali ilmu dengan jalan mencabutnya dari qalb manusia, tetapi dengan jalan mematikan ulama. Apabila ulama telah punah, maka masyarakat akan mengangkat orang-orang bodoh menjadi pemimpin yang akan dijadikan tempat bertanya. Orang-orang bodoh ini akan berfatwa tanpa ilmu; mereka itu sesat dan menyesatkan." (Al-Hadits)

Mursyid sejati adalah pembimbing spiritual para salik thariqah untuk memurnikan dan menyucikan diri, sebagaimana Rasulullah Saw pun adalah mursyid bagi para sahabat utama yang terpanggil untuk menempuh suluk. Mursyid sejati bertugas membantu saliknya mengenal al-haqq secara bertahap sesuai perkembangan nafs-nya, serta mengembalikannya ke penyembahan yang murni kepada Allah Ta'ala.

Namun, para salik pun akan dihadapkan pada dilema akan ketidakpercayaan kepada mursyid yang akan menjadi racun dan penyebab kegagalannya dalam bersuluk, tetapi dia pun tidak boleh taklid buta kepada mursyidnya. Kepercayaan tidak bisa dipaksakan. Kepercayaan harus muncul secara alami melalui proses yang alami pula, yang muncul sendirinya dari qalb, sehingga mutlak diperlukan penguatan dengan 'ilm.

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun. (QS Yâsîn [36]: 21)

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai 'ilm tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan fu'ad semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Isrâ' [17]: 36)

Dalam kedua penilaian 'kritis' terhadap thariqah dan mursyid di atas, hubungan antara mursyid dengan saliknya dipermasalahkan secara terlampau disederhanakan, karena dianggap menuntut ketaatan seperti mayat dengan pemandinya. Sikap seperti sangat potensial untuk menghambat terbentuknya individu modern otonom. Padahal, hakikatnya tidak pernah ada manusia yang otonom. Manusia hanya terbagi menjadi dua golongan, yaitu, mereka yang menghamba kepada Allah Ta'ala atau diperbudak oleh selain Allah Ta'ala (syahwat dan hawa nafsu).

Benarkah dalam thariqah berlangsung ketaklidan buta tak bersyarat dari seorang salik kepada mursyidnya? Kepatuhan seperti jenazah di hadapan pemandinya? Permasalahannya, bagaimana seorang salik bisa taklid kepada sang Mursyid, sementara perkataan sang Mursyid sendiri ternyata seringkali salah ditafsirkan?

Sebagai contoh, dalam sebuah thariqah, ketika seorang mursyid memerintahkan seorang salik untuk bersiaga menghadapi sebuah serangan sebentar lagi, si salik menafsirkan bahwa ia tengah diajari untuk bersiaga terhadap "serangan" lahiriah seperti perkelahian, sementara sang Mursyid sebenarnya tengah mengajari kesiagaan batiniah terhadap "serangan" masalah kehidupan.

Bagaimana dengan berbagai pertanyaan dalam kepala kita yang muncul dan berlalu-lalang? Setiap pertanyaan yang muncul di benak manusia itu pasti ada hak jawabannya. Itu tak ubahnya seseorang yang tengah menunggu di ruang tamu. Kemudian dari arah dapur tercium olehnya bau masakan. Bersabarlah, karena tepat pada saatnya makanan tersebut akan dihidangkan ke hadapannya.

Tidak semua pertanyaan harus terjawab saat ini juga. Bersabarlah, karena jawaban atas berbagai pertanyaan yang muncul di benak ada hak jawabannya, hanya tinggal masalah waktu saja. Namun, tak jarang manusia begitu arogan sehingga merasa bahwa rasionalitasnya pasti bisa memahami segala hal saat ini juga, dan bisa menghakimi segala perkara dengan bermodalkan ilmu yang kini dimilikinya. Seakan rasionalitas itu tidak punya kelemahan dan batasan.

Biasanya terhadap salik tipe fundamentalis rasional seperti ini, mursyid sejati akan 'menghajar' habis-habisan keliaran berpikirnya agar bisa fokus demi kebaikan salik itu sendiri. Hal yang paling sulit adalah menjinakan keliaran pikiran untuk fokus kepada perkara fundamental: misi hidup yang Allah Ta'ala amanahkan kepada dirinya. Pikiran yang liar memancar kesana-kemari itu seperti lampu pijar 10 watt, hanya cocok dipakai untuk lampu tidur. Namun, apabila cahaya 10 watt tersebut difokuskan menjadi laser, maka besi pun dapat ditembusnya.

Munculnya tawaran seperti tasawuf tanpa tarekat maupun tanpa guru saat ini juga berasalan, namun bukan berarti kritiknya terhadap dunia thariqah yang digeneralisir tersebut tepat sasaran. Semangat untuk mengedepankan akal sehat atau rasionalitas dalam mengkaji tashawwuf merupakan salah satu hal yang penting. Karena Allah Ta'ala mengaruniakan otak di tubuh manusia, maka cara mensyukurinya adalah memanfaatkannya untuk berpikir maksimal di alam terendah dari seluruh alam ciptaan-Nya, yaitu dunia.
Namun, Ad-Diin (Agama) adalah perkara yang baru akan terpahami apabila seluruh bola akal manusia - otak nalar, fu'ad (bentuk primitif lubb) dan lubb (akal nafs, orang yang telah memiliki lubb disebut sebagai ulil albab) - terbuka keseluruhannya. Sayangnya, sangat sedikit di antara manusia yang telah Allah anugerahkan kemampuan akal paripurna lahir dan batinnya seperti ini.

Di atas semuanya, bukanlah otak yang cerdas dan banyaknya bacaan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai jebakan syahwat dan hawa nafsu dalam beragama, tetapi niat tulus murni mencari Allah Ta'ala. Seorang buta huruf pun bisa Allah rahmati menjadi 'ulil albâb dan 'arifin (orang yang telah mencapai ma'rifat), seperti Muhammad Raheem Bawa Muhaiyaddeen, maupun banyak sufi buta huruf lainnya, semata karena adanya niat tulus murni untuk mencari dan berserah diri kepada Allah Ta'ala. Niat itu pulalah yang membuat Allah Ta'ala berkenan menganugrahkan cahaya iman ke dalam qalb.

Misalnya, seseorang menyatakan bahwa karena dia memiliki kecenderungan saintifik, maka dia memerlukan penjelasan ilmiah terlebih dahulu sebelum memutuskan bersuluk. Namun, kebanyakan manusia memiliki mentalitas untuk tergesa-gesa menyimpulkan sebelum tuntas menelaah. Kecenderungan sikap saintifik itu baik, terlebih karena setiap manusia itu unik serta memiliki kebutuhan dan jalan masuk berbeda-beda. Ibaratnya, ada seekor kucing (pertanyaan) yang selalu mengeong dalam rumah (pikiran) kita, karena lapar meminta makanan (jawaban). Apabila kucing (pertanyaan) tersebut tidak diberi makanan (jawaban), maka rumah (pikiran) kita akan berisik oleh suara mengeongnya. Akibatnya, kita pun tidak bisa belajar dengan tenang. Karena itu, berilah makanan (jawaban) yang tepat untuk mengenyangkan kucing (pertanyaan) dalam rumah (pikiran) kita. Penuhilah haknya, sehingga dia bisa diam dan kita pun bisa belajar dengan tenang. Apabila makanan (jawaban) belum ditemukan, bersabarlah, saatnya pasti akan tiba.

Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu penyebab munculnya sikap alergi thariqah adalah ekses dari berbagai praktik yang dilakukan thariqah yang telah kehilangan ulamanya (baca: mata airnya). Misalnya, dahulu kala muncul sebuah thariqah. Lazimnya mereka melakukan riyadhah berkala secara bersama-sama. Kebetulan mursyid thariqah tersebut selalu memelihara kucing yang sering mengeong di malam hari karena lapar. Agar suara mengeong kucing tersebut tidak mengganggu riyadhah, maka sang mursyid memerintahkan muridnya untuk memasukkan kucing tersebut ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Hal itu berjalan terus selama bertahun-tahun, hingga sang mursyid meninggal.

Sepeninggal sang mursyid, para salik generasi pertama thariqah tersebut tetap memasukkan kucing peliharaan sang mursyid ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya agar tidak mengganggu riyadhah. Namun, para salik generasi kedua dari thariqah tersebut-yang tidak tahu sebab akibat dari perbuatan tersebut-mulai mengira bahwa perbuatan itu adalah sesuatu yang harus dilakukan sebelum mereka riyadhah. Maka, ketika sampai di salik generasi ketiga, muncullah semacam kewajiban baru, yaitu, memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya. Kemudian, ketika sampai di salik generasi keempat, muncullah buku tentang makna batin dan hakikat memasukkan kucing ke dalam sebuah ruangan, memberinya makan dan menguncinya sebelum melakukan riyadhah. Dan, di salik generasi kelima hingga seterusnya, perbuatan tadi sudah menebarkan citra ketidakrasionalan dan ketidaksejalanan thariqah tersebut dengan syariat.

Dalam sejarah tashawwuf ada juga tipe sufi yang dinamakan sebagai Uwaysiyyah. Nama ini merujuk kepada seorang tokoh sezaman Rasulullah Saw. yang mengetahui ihwal beliau Saw. tetapi tidak pernah bertemu secara langsung sepanjang hidupnya. Demikian pula Rasulullah Saw., mengetahui Uways Al-Qarni tanpa pernah bertemu dengannya. Hal itu disebabkan karena Uways setibanya di Mekkah tidak bisa menunggu untuk bertemu dengan Rasulullah Saw (yang ketika itu sedang pergi) sebab ia telah berjanji kepada ibunya di kota lain untuk tidak berlama-lama meninggalkannya. Kondisi Uways berbeda dengan Salman Al-Farisi yang Allah Ta'ala bukakan jalan untuk bisa bertemu dengan Rasulullah Saw., meskipun berasal jauh dari Persia, dan harus dua kali pindah agama sebagai proses pencariannya.

Salah satu sufi yang tergolong Uwaysiyyah adalah seorang Iran, Abu al-Hasan Kharraqani, yang pernah menyatakan: "Aku kagum pada salik-salik yang menyatakan bahwa mereka membutuhkan Mursyid ini dan itu. Kalian tahu bahwa aku tidak pernah diajari manusia manapun. Allah Ta'ala adalah pembimbingku, kendatipun demikian, Aku menaruh respek besar pada semua Mursyid."

Dari pernyataan seorang Uwaysiyyah tersebut bisa terlihat bahwa yang menjadi pokok persoalan bukanlah apakah seorang Mursyid diperlukan ataukah tidak, apakah perlu ikut thariqah atau tidak. Tetapi, apakah kita adalah seorang pencari Allah Ta'ala dan berazam untuk mencari jalan kepada-Nya? Apabila ya, maka biarlah Allah Ta'ala yang mengalirkan dan membukakan jalan hidup kita, entah itu ikut thariqah atau tidak, apakah akan dipertemukan dengan mursyid sejati di zamannya ataukah Allah Ta'ala sendiri yang akan mengajari. Bukan dengan menyatakan terlalu dini bahwa thariqah dan Mursyid itu tidaklah diperlukan.

Ketidakberanian mengambil resiko untuk mengarungi lautan (thariqah), terlebih terburu-buru melontarkan pernyataan seolah heroik yang mengisyaratkan keengganan mencari mursyid sejati zamannya, atau senantiasa memilih berjarak ala saintis serta mengandalkan kecerdasan otak untuk bertashawwuf secara wacana, bisa dipastikan mustahil mencapai tingkatan ma'rifat. Rumi menggambarkan hal itu sebagai berikut:

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,

Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau selamat sampai tujuan.

Jika engkau berkata, "Aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku," maka engkau takkan berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.

Saudagar yang penakut takkan meraih untung maupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi: orang harus mengambil api agar mendapat cahaya.

Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan, karena dengan Iman memperoleh keselamatan.5

Amati kisah pencarian Salman Al-Farisi. Sebelum mengenal Tuhannya Muhammad Saw, dia adalah seorang Majusi. Kesadaran yang muncul atas kejanggalan perbuatannya sendiri untuk menjaga agar api yang disembahnya sebagai Tuhan tidak padam, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko berpindah ke agama Kristen. Setelah beberapa kali berpindah mengabdi pada beberapa pendeta, dia ditunjuki ihwal keberadaan Nabi akhir zaman. Dan pertemuannya dengan Rasullah Saw, membuat Salman Al-Farisi berani mengambil resiko kedua kalinya untuk berpindah ke agama Islam.

Thariqah adalah wadah pengajaran tashawwuf yang menuntun pemanifestasian-nya melalui ujian-ujian kehidupan. Adapun yang dimaksud dengan syariat adalah Al-Islam, yaitu syariat lahir yang lebih dikenal sebagai rukun Islam. Antara syariat dan tashawwuf (keihsanan) tidak boleh dipisahkan, sedangkan thariqah-sebagai manifestasi lahiriah tashawwuf-adalah perbuatan (af'al) Rasulullah Saw dalam kehidupan dunia, yang tiada lain merupakan syariat juga. Apabila syariat adalah permulaan thariqah, maka thariqah adalah permulaan haqiqat. Namun, bukan berarti yang sebelumnya sudah tidak berlaku lagi untuk tahap berikutnya, atau bahkan ditinggalkan begitu saja. Sebagaimana dikatakan oleh Hamzah Fansuri, awal dari thariqah itu adalah taubat.

Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku di malam hari, maka buatlah untuk mereka thariqah yang kering dalam laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut." (QS Thâhâ [20]: 77)

Thariqah adalah jalan kering dalam lautan, perjalanan seseorang menuju Tuhannya di muka bumi ini tanpa terbasahi oleh lautan duniawi. Tak ubahnya seperti ikan yang hidup di laut asin, tapi tidak menjadi asin karenanya. Thariqah bukanlah berarti seseorang itu harus hidup dengan mengabaikan dunia dan miskin. Manusia tidak mungkin bisa mencapai tingkatan ma'rifat, yaitu mengenal Tuhannya, menemukan diri sejati serta misi hidupnya, dengan cara menjauhkan diri dan tidak bergaul dengan masyarakat serta tidak berikhtiar untuk penghidupannya dan menghargai syariat. Seseorang boleh saja kaya raya, seperti Nabi Sulaiman, tapi tidak boleh mengisi hatinya dengan kecintaan terhadap dunia. Inilah yang disebut dengan zuhud.

Apakah seseorang bisa menempuh jalan suluk dengan meninggalkan syariat?
Nah, ini adalah hal yang mustahil. Jalan tasawuf adalah jalan seseorang untuk mulai belajar bersyariat secara batiniyah. Dan ini hanya bisa ditempuh setelah seseorang melakukan syariat lahiriah. Mustahil mencapai tujuan tasawuf jika seseorang meninggalkan syariat lahiriyah. Ada sebuah kisah nyata yang menarik untuk kita perhatikan berikut ini.

Suatu ketika, mursyid sebuah thariqah di Jawa Barat pernah didatangi beberapa orang lelaki yang ingin bersilaturahmi. Sang Mursyid bertanya, "Dari mana kalian tahu rumah saya?" Mereka menjawab, "Kami bertanya pada orang-orang di masjid agung kota ini, kira-kira siapa ulama yang bisa kami kunjungi untuk bersilaturahmi. Mereka menunjukkan kami ke rumah Bapak."

Ternyata para lelaki itu telah sekian bulan selalu berpindah-pindah, tinggal dari satu masjid ke masjid lainnya. Sang Mursyid bertanya, "Apa yang kalian lakukan dengan tinggal di masjid-masjid seperti itu?"
Mereka menjawab, "Kami mencari Allah, pak." Sang Mursyid kembali bertanya, "Apakah kalian punya anak dan istri?" Mereka menjawab, "Punya pak?" Dengan keheranan sang Mursyid bertanya lagi, "Lantas bagaimana dengan anak istri kalian? Siapa yang merawat dan menafkahinya?" Mereka menjawab, "Kami telah tawakalkan kepada Allah, pak."

Maka sang Mursyid berkata, "Bermimpi kalian ini. Bermimpi kalau kalian ingin mencari Allah sementara syariat lahir kalian abaikan. Secara syariat kalian diwajibkan untuk menafkahi istri, mendidik dan merawat anak, dan berbagai kewajiban lainnya sebagai ayah dan suami yang seharusnya ditunaikan. Kalian itu bermimpi kalau mencari Allah Ta'ala, sementara syariat lahir diabaikan."

Adapun thariqah itu sendiri mempunyai mempunyai tiga tujuan. Dua tujuan yang pertama adalah mendapatkan dua rahmat dari Allah.

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Hadid [57]: 28)

Tujuan pertama thariqah adalah mendapatkan rahmat pertama, yaitu cahaya iman dan kesucian bayi seperti pertama kali lahir. Suatu keadaan ketika manusia belum lagi menumpuk dosa. Keadaan ini dinamakan juga dengan al-muththaharûn.

Tujuan kedua dari thariqah adalah mendapatkan rahmat kedua, yaitu berupa Ruhul Quds yang akan mengingatkan manusia ihwal misi hidupnya, mengingatkan ihwal perjanjian primordial dengan Allah Ta'ala (QS Al-A'raf [7]: 172) dan membimbingnya dalam menjalankan misi hidup tersebut.
Tahap inilah yang dinamakan sebagai ma'rifat, tahap ketika seseorang setelah mengenal nafs-nya, maka akan mengenal Rabb-nya (tingkatan syuhada).

Sedang tujuan ketiga dari thariqah adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarib). Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.

Thariqah merupakan perjalanan kembali kepada Allah untuk menemukan diri sejati dan misi hidup tiap-tiap individu. Namun, perjalanan kembali kepada Allah mewajibkan berbagai ujian berat yang harus dilalui, hingga nafs manusia ditempa menjadi kuat. Tak ubahnya, api yang membakar logam hingga merah membara agar dapat dibentuk menjadi sesuatu yang berguna.
Dengan tempaan ujian tersebut, sang hamba akan siap menerima amanah berupa misi hidup dalam posisi percaya dan dipercaya.

Melalui jalan suluk, seorang murid juga akan belajar untuk memperoleh ketenangan. Berbeda dengan anggapan umum bahwa ketenangan adalah hidup menjadi tentram dan tenang, ketenangan dalam tashawwuf adalah tidak goyahnya hati dalam menghadapi setiap permasalahan yang datang, menyambut masalah dan ujian sebagai jubah keagungan. Ujian itu hukumnya wajib bagi para salik yang berjalan mencari Allah Ta'ala.

Ketenangan hidup yang semu, sebagaimana yang diinginkan banyak orang awam dalam ber-tashawwuf, bagi para sufi lebih merupakan isyarat bahwa Allah Ta'ala tidak lagi peduli. Ketenangan dan hidup adem ayem, lancar dan tenang tanpa masalah merupakan isyarat bahwa Allah membiarkan seseorang hanya mendapatkan bagian di dunia saja, namun tidak di akhirat nanti.
Ketenangan hidup yang semu ini justru membuat seseorang menjadi tidak lagi memiliki stimulus untuk merenung, tidak merasa membutuhkan Allah, dan statis.

Sayangnya, saat ini banyak sekali ungkapan yang menyatakan bahwa kegunaan untuk mempelajari tashawwuf adalah untuk mendapatkan ketenangan dan terapi bagi berbagai masalah kehidupan sehari-hari. Padahal, sejak dulu tashawwuf adalah jalan yang mewajibkan adanya ujian dalam setiap detik kehidupan. Para pengikutnya akan disucikan dan dibersihkan.

Suatu ketika, saat sedang makan siang, seorang salik bertanya kepada mursyidnya, "Pak, apakah tetangga di sekitar ini tahu bahwa Bapak adalah mursyid?" Beliau menjawab, "Ya, mereka tahu. Bahkan banyak di antara mereka yang datang kepada saya." Kemudian salik itu bertanya kembali, "Lalu mengapa mereka tidak berguru pada Bapak?" Beliau menjawab, "Karena saya mengatakan kepada mereka, bahwa apabila kalian mau menjadi murid-murid saya maka kalian harus siap-siap dibersihkan. Harta-harta yang kalian dapatkan dengan cara yang tidak halal akan dihilangkan dari kalian. Ternyata mereka pun kemudian malah ketakutan dan mundur dengan sendirinya."

Setelah membaca pracetak buku Guru Sejati dan Muridnya, melalui pemaparannya dalam buku ini, pembaca bisa melihat bagaimana Allah Ta'ala membuat seorang sufi buta huruf dari pedalaman Sri Lanka memiliki ilmu sedalam ini. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas hanyalah salah satu jalan saja-dan bukan yang teristimewa-untuk langkah awal mempelajari dunia tashawwuf. Selain itu, ini yang paling menarik, bahwa setelah Bawa Muhaiyaddeen hijrah ke Amerika, kebanyakan muridnya justru adalah orang kulit putih, yang secara umum dicap sebagai masyarakat paling rasional di muka bumi ini.

Wallahu'alam bishawwab. []


Catatan Akhir:

1 Puisi Jalaluddin Rumi, "Chickpea to Cook," dalam Barks, Coleman
(trans.) "The Essential Rumi". Castle Books, 1997. Dalam tulisan ini,
puisi ini diterjemahkan oleh Herry Mardian.

2 Miranda Risang Ayu, "Mencari Tuhan", Basis, nomor 03-04, tahun ke-55,
Maret-April 2006, hlm. 31, 34.

3 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf, Bandung: Mizan, April 2005, hlm.
178,
183-184.

4 Muhammad Al-Bagir, Mutiara Nahjul Balaghah: Wacana dan Surat-surat
Imam
Ali R.A., Bandung: Mizan, cetakan ketiga, 1994, hlm. 130.

5 Nicholson, Reynold A., Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi,
Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. 2, 1996, hlm. 30.

Selasa, November 03, 2009

Untung Dia Yang Pincang, Bukan Aku...!

Orang-orang yang berhaji adalah para tamu Allah. Sebagai tuan rumah yang baik tentu Allah akan ‘menampakkan diri’ untuk menyambut para tetamunya. Bukan penampakan diri secara lahiriah, tapi penampakan diri dengan memperlihatkan ayat-ayat-Nya.
Ayat adalah tanda, ada tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan diri-Nya, ada tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan-Nya, kecerdasan-Nya, kehidupan-Nya atau juga ke-Maha-Kuasaan-Nya. Di antara ayat-ayat yang sering Allah pertontonkan kepada para tetamu-Nya adalah ayat tentang kekuasaan-Nya mengendalikan response time, jarak waktu antara sebab dan akibat.

Kita tahu, ketika kita berbuat jahat maka perbuatan itu akan menjadi sebab bagi munculnya akibat jahat di belakang hari. Begitu juga ketika kita berbuat baik maka kebaikan itu akan menjadi sebab bagi munculnya kebaikan di kemudian hari. Hanya saja perbedaan waktu antara dilakukannya sebab dan munculnya akibat dapat sedemikian lama, sehingga ketika muncul suatu kejahatan kita sudah tidak ingat lagi bahwa itu adalah akibat dari kejahatan yang kita buat di masa lalu. Begitu juga, karena akibat-akibat kebaikan yang kita buat dapat terjadi jauh di kemudian hari maka kita kadang kurang merasa yakin dengan kebaikan yang semestinya kita lakukan. Kita jadi kurang termotivasi untuk melakukan kebaikan. Nah, ini berbeda dengan saat kita berada di tanah suci.

Di tanah suci Allah sering mempertontonkan kekuasaan-Nya mempermainkan response time. Jarak waktu antara munculnya suatu akibat dengan dilakukannya suatu sebab dapat dibuat-Nya panjang, dapat juga dibuat-Nya cepat.

Pelaksanaan haji tahun 1994 jatuh di musim panas. Pondokan kami (penulis) terletak di Misfalah ujung, dua kilometer jauhnya dari Masjidil Haram. Untuk mencapai Masjidil Haram kami harus berjalan kaki lebih dari setengah jam, melewati pasar yang ramai dan jalan-jalan yang panas berdebu. Apalagi kalau mau mendapatkan tempat di bagian dalam masjid, maka kami harus sudah berangkat dari pondokan dua jam sebelum waktu shalat.

Suatu hari menjelang shalat Zhuhur, saat suhu udara meningkat lebih dari 450 Celcius, kami menyusuri jalan dengan menahan tenggorokan yang tercekat debu panas. Merunduk di bawah payung yang seakan menjadi ornamen kesia-siaan, karena payung hanya menahan cahaya matahari sedangkan hawa panas tetap menyerang dari sekeliling, kami melihat seorang negro Afrika berjalan tertatih-tatih dengan kaki yang pincang. Seorang teman di sebelah kami bergumam dalam batin, sebagaimana dia ceritakan kelak: “Uh, bagaimana rasanya tuh jalan ke masjid yang jauh dengan kaki yang pincang. Mana pula udara panas menyengat macam ini. Untung dia yang pincang, bukan aku…”

Tiba-tiba entah dari mana datangnya lubang itu. Mungkin juga itu lubang riol saluran air yang sudah lama tidak terurus. Atau mungkin juga lubang itu baru muncul. Yang jelas kaki kawan saya yang bergumam terperosok kedalam lubang, terjerembab di air comberan yang hitam dan berbau busuk. Setelah itu ia berjalan terpincang-pincang karena pergelangan kakinya terkilir. Ia berjalan sambil menangis dan meratap: “Ya, Allah… barangkali si negro tadi pincangnya sudah sejak kecil, sehingga kaki pincang itu bukan lagi kendala baginya. Tapi aku nih…, yang barusan keseleo, berasa payah sekali berjalan dengan terpincang-pincang di bawah udara yang panas terik. Ampuni aku ya Allah, tak lagi-lagi aku melecehkan orang yang cacat. Maafkan aku ya Allah, sudah kurasakan azab-Mu yang kontan…”.

Sumber : www.qalbu.net

Senin, November 02, 2009

TQN Center: Sebuah Penantian Panjang

Kebutuhan akan hadirnya sebuah pusat informasi mengenai Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) Suryalaya di Jakarta agaknya semakin mendesak, berhubung jumlah pengamal tarekat yang dipimpin oleh Abah Anom ini semakin hari semakin bertambah. Bermunculannya majlis-majlis manaqib Syekh Abdul Qadir Al Jaylani qs yang merupakan media pertemuan dan latihan ruhaniah murid-murid TQN Suryalaya di beberapa masjid besar di DKI Jakarta dan sekitarnya seakan menjadi barometer perkembangan kuantitas jamaah.

Masjid Jakarta Islamic Center di Tanjung Priok Jakarta Utara menjadi tempat kegiatan manaqib warga Jakarta setiap tiga bulan yang dihadiri minimum 1000 orang jamaah. Masjid Raya Pondok Indah pun demikian, beberapa waktu yang lalu penyelenggaran manaqib di lokasi pemukiman kaum agniya Jakarta ini dihadiri sekitar 3000 jamaah. Begitu juga di Masjid At Tin yang berdekatan dengan tempat wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di bilangan Jakarta Timur. Puncaknya, penyelenggaran manaqib di Masjid Istiqlal pada 24 Januari lalu dihadiri oleh lebih dari 10.000 jamaah.

Tidak hanya itu, Masjid Kubah Mas yang didirikan oleh seorang dermawan asal Banten dan menjadi buah bibir masyarakat muslim karena kemegahannya seakan tidak mau meninggalkan momen sejarah untuk menjadi wasilah mengalirnya berkah dan karamah dari para syekh dalam silsilah emas Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah. Kegiatan manaqib di masjid yang juga dikenal Masjid Dian Al Mahri ini, rutin dilaksanakan tiga bulan sekali. Jamaah yang istiqomah hadir pada momen ini berkisar 2000-3000 ikhwan.

Pertambahan jumlah ikhwan juga terjadi melalui media pelatihan yang diselenggarakan oleh murid-murid Pangersa Abah Anom. Lembaga yang paling sering menggunakan metode ini adalah Radix Training Center (RTC) yang dikomandani oleh Wahfiudin, SE, MBA yang juga salah seorang wakil talqin Abah Anom. Konsentrasi rekrutmen ikhwan melalui pelatihan menghasilkan ribuan alumnus yang telah menerima talqin dzikir melalui beliau. Sebut saja, pelatihan tasawuf tingkat dasar untuk para pemula yang dikenal dengan KURSUS TASAWUF telah meluluskan 25 angkatan. Masing-masing angkatan berkisar 20-50 orang peserta. Motivation Training yang diselenggarakan in house di beberapa perusahaan terkemuka nasional seperti Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, Bank BRI, BNI 46, PLN, Agen Asuransi Manulife, Agen Asuransi Prudential,PT. Rayspeed Indonesia dan lain-lain serta kantor-kantor dinas seperti Dinas Kesehatan DKI, Bappeda DKI, Dinas Teknis DKI dan sebagainya menyerap ribuan alumnus yang membutuhkan pembinaan yang intensif.

Memperhatikan kebutuhan pembinaan ini, akhirnya Ust. Wahfiudin dan beberapa ikhwan yang berpengaruh di masyarakat berinisiatif membangun TQN Center dengan cara memugar Masjid Al Mubarok yang sering digunakan latihan berdzikir oleh ikhwan-akhwat TQN Suryalaya di Jakarta. Pemugaran dimulai sejak awal 2006. Masjid yang tadinya hanya terdiri dari satu lantai direncanakan berubah menjadi dua lantai. Lantai satu digunakan sebagai TQN Center dan menjadi pusat pembinaan ikhwan-akhwat TQN Suryalaya dan lantai dua untuk kegiatan sholat berjamaah.

Kini proses pembangunannya hampir selesai, lantai satu yang selama proses pemugaran tetap menjadi pusat kegiatan syiar dan dakwah Islam melalui kegiatan sholat berjamaah dan berbagai macam kajian, memiliki interior yang indah. Satu buah lampu hias megah bergelantungan di pusat ruangan. Di Kanan kiri dinding bertengger enam buah air conditioner berdaya 1,5 – 2 pk. Direncanakan dua buah automatic screen akan terpasang di bagian depan ruangan sebagai perangkat pelatihan.

Sementara itu, lantai dua masih dalam tahap pengerjaan. Prosesnya sudah mencapai 80%. Tersisa plafon yang belum terpasang. Jika lantai dua 100% selesai, maka kegiatan sholat berjamaah sudah bisa dipindahkan.

Meski masih dalam tahap rencana, di sisi Timur masjid akan dibangun hunian permanen berbentuk aula lapang tanpa kamar berlantai dua. Bangunan tersebut diperuntukkan sebagai tempat menginap peserta pelatihan.

Memasuki tahun 2010, insya Allah renovasi selesai. Namun ini tergantung pada kesiapan dana untuk mempercepat penyelesaiannya. Karena itu pantia renovasi mengundang para pembaca untuk berlomba-lomba menjadi pejuang-pejuang di Jalan Allah dengan mengalokasikan dana ZIS kepada pembangunan TQN Center ini, yang juga direncanakan menjadi kantor sekretariat Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya Korwil DKI Jakarta. (han)


Kamis, Oktober 22, 2009

Intelektual Muda Bertasawuf? Kenapa Tidak!

Disadari atau tidak, saudara-saudara kita yang datang untuk belajar dzikir kepada wali mursyid Pangersa Abah Anom dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori :

Pertama, adalah orang-orang yang datang kepada Pangersa Abah dengan membawa segudang masalah, diantara mereka memiliki masalah dengan ketergantungan pada narkoba, tidak sedikit yang memiliki masalah dengan kesehatan fisik dan mentalnya, masalah rumah tangga seumpama belum punya pasangan, baru bercerai, kekerasan dalam rumah tangga dan lain-lain. Juga banyak yang memiliki masalah ekonomi, semisal baru di-PHK dari kantornya, salah mengurus perusahaan hingga menjadi bangkrut, problem dengan teman kerja dan atasan dan sebagainya. Banyak juga diantara mereka yang datang kepada Pangersa Abah untuk mempertahankan posisinya di kantor atau organisasi agar tetap dalam posisi itu, atau yang sedang mengejar-ngejar posisi atau jabatan tertentu.

Kedua, orang yang datang kepada Pangersa Abah karena ia memang berlatar belakang santri. Di kalangan santri tradisional biasanya belum lengkap jika ilmu-ilmu yang sudah ada padanya tanpa dilengkapi ilmu batin. Entah untuk sekadar olah kanuragan atau memang ia sudah terbiasa merafalkan wirid-wirid. Sehingga dengan tambahan wirid dari Pangersa Abah Anom diantara mereka ada yang meningkat kepercayaan dirinya.

Terakhir, orang yang datang kepada Pangersa Abah yang memang sedang dalam proses pencarian spiritual. Diantara mereka datang kepada Pangersa Abah karena baru saja mengalami pengalaman spiritual tertentu yang dalam proses selanjutnya merasa harus menemui Pangersa Abah atas dorongan pengalaman spiritual itu. Atau yang datang kepada Pangersa Abah atas dorongan proses studi intelektualitas. Mereka melakukan penelitian ilmiah secara intensif mengenai ajaran Pangersa Abah dan komunitas yang beliau pimpin, yang pada akhirnya membawa mereka pada pengalaman-pengalaman batin yang menyejukkan. Pun orang yang datang kepada Pangersa Abah atas dorongan tambahan bekal untuk pengembangan dakwah islamiyah di masyarakat.

Berbagai solusi pun diberikan Pangersa Abah, disesuaikan dengan niatan awal orang-orang yang datang kepada beliau. Untuk golongan pertama cocok untuk mereka solusi pragmatis yang bersifat instan dan hal-hal ajaib. Untuk golongan kedua solusi yang membawa pada ketentraman batin tepat sekali. Sedangkan untuk golongan ketiga mereka akan merasakan jawaban-jawaban substansial atas pertanyaan-pertanyaan selama ini melalui proses pencarian hakikat dengan mempraktekkan seluruh ajaran dari Pangersa Abah.

Memperhatikan ketiga kategori ini maka segmen dakwah TQN pun mengkristal pada kalangan-kalangan sebagai berikut :
1. Masyarakat Awam
2. Pelajar dan Mahasiswa
3. Tokoh-tokoh yang berpengaruh di masyarakat
4. Ilmuwan dan Profesional

Diibaratkan sebuah piramida, kalangan pertama adalah kalangan yang paling banyak dan berada pada lapisan terbawah, lapisan diatasnya jumlahnya agak lebih sedikit dibanding yang pertama. Diatasnya lagi kelompok ketiga. Posisi teratas ditempati oleh kelompok keempat. Untuk memperkokoh, memperluas dan meningkatkan bangunan piramida, kita harus mempertinggi puncak dan memperluas landasannya. Agar dakwah TQN semakin meluas dan diterima seluruh kelompok masyarakat, kita harus banyak menjaring keempat kelompok diatas.

Kelompok pertama adalah kelompok yang banyak berdatangan kepada Pangersa Abah tanpa melalui proses ‘penjaringan’ tertentu. Mereka bisa datang langsung dan belajar dzikir dilatarbelakangi oleh berbagai masalah yang mereka hadapi. Sedangkan tiga kelompok sisanya memerlukan pendekatan yang bersifat ilmiah dan rasional. Untuk ketiga kelompok inilah program dakwah TQN Jakarta difokuskan.

Agar dakwah TQN mampu menembus tiga kelompok ini maka para muballigh-muballighah TQN butuh pembekalan yang konstruktif, kolektif dan tepat sasaran. Untuk itu perlu berbagai pelatihan bagi para muballigh-muballighah dalam rangka pembekalan itu, semisal pelatihan dakwah transformatif, pelatihan imam khataman dan petugas manaqib, pelatihan-pelatihan yang bersifat peningkatan wawasan keagamaan, pelatihan-pelatihan bersifat psikologi semacam hypnotherapy, NLP, Spiritual Thinking dan lain-lain.

Gerakan dakwah yang menembus kalangan pelajar SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi sudah banyak dilakukan oleh kalangan aktivis islam dari berbagai macam organisasi. Mereka masuk melalui badan kerohanian Islam (rohis) di sekolah-sekolah atau kampus. Mereka berikan doktrin-doktrin keagamaan yang beragam, dari yang lembut hingga yang paling ekstrim. Dari hasil binaan melalui rohis ini banyak hal-hal positif bermunculan. Tidak sedikit kaum muda yang bergabung dalam rohis pengetahuan keagamaannya semakin meningkat. Bahkan tidak jarang diantara mereka menjadi aktivis dakwah sehingga bermunculan kader-kader dakwah yang berkelanjutan.

Sayangnya, gerakan ini dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mempunyai agenda dan idealisme tertentu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebhinekaan dan persatuan nasional. Alhasil, belum lama ini kita saksikan dalam pemberitaan di media-media nasional bahwa eksekutor bom berdaya ledak tinggi di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009 lalu adalah anak-anak muda yang baru saja lulus SLTA. Mirisnya, kedua eksekutor ini adalah aktivis kegiatan islam di lingkungannya masing-masing.

Menyikapi fenomena tersebut Korwil Jakarta merasa terpanggil untuk membenahi pola pembinaan islam pada kader-kader muda yang potensial ini. Jika kelompok-kelompok ekstrim mampu masuk ke kalangan mereka, mengapa tasawuf tidak? Tentu harus dipikirkan pola apa yang cocok agar kalangan pelajar dan mahasiswa mampu memahami ajaran tasawuf.

Pelatihan semisal kursus tasawuf tingkat dasar untuk para ikhwan-akhwat pemula dan yang belum pernah talqin dzikir kiranya cocok untuk menjaring kelompok pelajar dan mahasiswa. Hal ini pernah diujicobakan kepada mereka melalui program Pesantren Qalbu di beberapa SMP Negeri di Jakarta Pusat, SMK Negeri di Jakarta Utara dan beberapa kampus di Jakarta Pusat dan Utara. Hasilnya cukup memuaskan. Paling tidak mereka memahami bahwa sesungguhnya ada hal lain selain kajian fiqih dan aqidah dalam Islam, yakni ketasawufan yang merupakan inti dari pengamalan keislaman.

Tentu saja ini perlu disebarluaskan dan ditingkatkan kuantitasnya di berbagai belahan wilayah kota di DKI Jakarta. Karena itu pula, tepat sekali apabila kursus-kursus singkat dasar ketasawufan ini diperkenalkan kepada sekolah-sekolah tingkat SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi dengan promosi yang gencar dan terintegrasi. Perlu diingat, pola penyampaiannya pun harus disesuaikan dengan bahasa yang mereka fahami. Dengan demikian akan semakin banyak kalangan pelajar dan intelektual muda yang familiar dengan tasawuf. (han)