“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki wajah-Nya” (QS al-An’am, 6:52)
Diriwayatkan oleh Anas, Rasulullah SAW telah mengatakan: “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka dia akan memanfaatkannya.”
Seseorang bertanya, “Bagaimana dia memanfaatkannya, wahai Rasulullah?
Rasul menjawab, “Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam melaksanakan amal kebajikan sebelum mati.”
Kehendak (iradah) adalah permulaan jalan para penempuh dan nama tahapan (maqam) yang pertama dari mereka yang menempuh jalan menuju Allah SWT. Sifat ini disebut kehendak (iradah) hanya karena kehendak mendahului setiap masalah sedemikian rupa sehingga jika seorang hamba tidak menghendaki sesuatu, dia tidak akan melakukannya.
Manakala hal ini terjadi di awal jalan, ia dinamai “kehendak” dengan dikiaskan kepada niat yang mendahului semua persoalan. Seorang ‘murid’ dinamai demikian karena ia mempunyai ‘iradah’ (kehendak), sebagaimana seorang ‘alim disebut demikian karena dia mempunyai ‘ilm (ilmu). Kedua kata ini (murid dan ‘alim) berasal dari fi’il mabni maf’ul (kata kerja lampau bentuk aktif) arada (menghendaki) dan ‘alima (mengetahui).
Orang banyak telah berbicara tentang makna kehendak, masing-masing mengungkapkan isi hatinya sendiri. Kebanyakan syekh menjelaskan, “Iradah adalah berpisah dari praktek-praktek yang menjadi kebiasaan.” Kebiasaan kebanyakan orang adalah tetap dalam kelalaian, cenderung kepada ajakan instink dan tetap berada dalam lingkungan hawa nafsu. Tetapi seorang murid (hamba yang sedang meniti jalan menuju Allah) terlepas dari semua itu. Keterlepasannya itu sendiri merupakan bukti sehatnya kehendaknya. Maka keadaannya itu disebut iradah, karena ia terlepas dari praktek-praktek kebiasaan (orang-orang masa kini bilang : ‘terbebas dari comfort zone (zona nyaman.ed)’).
Hakekat kehendak adalah bahwa ia merupakan gerakan yang resah di dalam hati nurani dalam mencari Allah. Karena alasan ini dikatakan, “Iradah adalah keterpesonaan yang menyakitkan, yang membuat setiap rasa takut menjadi remeh”. Imam Al Qusyairi mendengar dari gurunya, Syekh Abu ‘Ali ad-Daqaq menyatakan : “Iradah adalah keterpesonaan yang menyakitkan, sengatan dalam hati nurani, hasrat yang membara dalam indera intuisi, keinginan yang menyala-nyala dalam batin dan api yang membakar dalam qalbu”.
Seorang murid tidak akan pernah kendor dalam kehendaknya baik siang ataupun malam. Dia berjuang keras secara lahiriah, sementara dalam batinnya dia menderita. Dia meninggalkan tempat tidurnya, batinnya sibuk sepanjang waktu, dia menanggung kesulitan hidup, dia memikul beban, dia mengembangkan sikap-sikap akhlak yang baik, dia memeluk ketakutan.
Diantara tanda-tanda seorang murid adalah bahwa dia senang melaksanakan shalat sunah, tulus dalam mendokan kebaikan bagi ummat, terpaut pada situasi yang penuh ketenangan, sabar dan tabah dalam memenuhi ketentuan agama, memberikan sedekah dengan penuh kemurahan hati sesuai dengan perintah-Nya, memiliki rasa malu di hadapan-Nya, rajin mengerjakan apa yang disenangi-Nya, mengerjakan apa saja yang bisa membawa kepada-Nya, puas dengan tidak disebut-sebutnya namanya sendiri dan dia selalu mengalami kegelisahan dalam hati nuraninya sampai dia mencapai Tuhannya.
Syekh Abu ‘Ali ad-Daqaq selanjutnya berkata : “Seorang murid, tidak bisa disebut murid sampai malaikat di pundak kirinya menganggur (tidak mencatat amal buruknya, ed.) selama duapuluh tahun.”
Seseorang bertanya kepada Al Junayd, “Apakah baik bagi seorang murid untuk mendengarkan cerita-cerita shaleh?”
Al Junayd menjawab, “Cerita-cerita shaleh adalah salah satu tentara Allah dan qalbu manusia dikuatkan olehnya.
Dia ditanya lagi, “Adakah dalil yang mendukung ucapanmu itu?”
Al Junayd menegaskan, “Ya, dalilnya adalah firman Allah SWT : Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hati nurani (fuad)mu (QS Huud, 11:120)”
Tingkatan yang lebih tinggi setelah murid adalah murad. Murid adalah orang yang berkehendak sedangkan murad adalah obyek kehendak. Dapat dikatakan bahwa setiap murid sesunguhnya adalah murad. Jika dia bukan murad (yang dikendaki) Allah SWT, niscaya dia tidak akan menjadi murid, sebab tak ada sesuatu pun yang bisa terjadi kecuali dengan kehendak Allah. Selanjutnya setiap murad adalah juga murid, sebab jika Allah menghendakinya secara khusus, Dia akan menganugerahinya keberhasilan dalam memiliki kehendak (terhadap-Nya).
Cara Allah memperlakukan mereka yang menempuh Jalan-Nya beraneka ragam.
1. Kebanyakan mereka mencapai keberhasilan dalam berjuang dan setelah mengalami kesulitan yang berkepanjangan, mencapai kebenaran hakiki yang agung.
2. Ada juga diantara mereka yang diperlihatkan keagungan kebenaran hakiki pada awalnya, mencapai apa yang belum dicapai oleh mereka yang mengerjakan banyak latihan spiritual.
Tetapi sebagian besar dari mereka yang disebut pertama kembali lagi dan berjuang mengikuti mereka yang disebut belakangan agar memperoleh manfaat-manfaat latihan spiritual yang tidak mereka peroleh sebelumnya.
Al Junayd berkata, murid dikendalikan oleh aturan-aturan ketetapan-ketetapan ilmu para ulama, sedangkan murad dikendalikan oleh pemeliharaan dan perlindungan Allah.
Disadur dari Risalah Sufi al-Qusyayri,Syekh Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyayri, 1990
Tidak ada komentar:
Posting Komentar