Jumat, Oktober 31, 2008

Kiai Jaji Saptaji


Khalifah TQN dari Silsilah KH. Abdul Khoyr Lio

Sosok yang satu ini adalah pendakwah ulet dan pekerja keras. Berdakwah sejak usia belasan. Sempat Lulus dari Madrasah Ibtida'iyah Babakan Sirna Sadeng, kemudian melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Pilar hingga kelas dua. Karena pertimbangan ekonomi keluarga yang kurang memadai, akhirnya harus rela drop out dari Madrasah Tsanawiyah.

Meski pendidikan formalnya tidak tinggi bila dilihat dari jaman sekarang, namun di masa itu orang-orang seusianya sudah mampu mentransfer ilmu kepada junior-juniornya. Sambil sekolah, sosok bertekad baja ini mengajar dan mencari uang.

Semua orang di kampung Sadeng pasti mengenalnya, dialah Kiai Jaji Saptaji

Kiai Jaji terkenal dengan ceramahnya yang sangat mendalam, apalagi jika membahas ilmu tauhid. Ilmu keagamaan dasarnya diperoleh dari uwaknya KH. Muhammad Bakri atau sering disapa Mama Bakri. Guru pertamanya ini telah mengajari doktrin keislaman yang sangat kuat. Hingga begitu mendarah daging. Semua yang telah diajarkan oleh Mama Bakri senantiasa ia ingat. Dari hal-hal yang paling dasar, kidung-kidung berisi puji-pujian kepada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW masih ia hafal. Jika dalam waktu-waktu senggang kita ngobrol dengan Kiai Jaji, selalu ada sisipan kisah beliau ketika belajar bersama guru idolanya ini.

Tahun 1967, Mama Bakri wafat. Tidak ada lagi guru yang bisa membimbingnya. Lalu ia merantau keluar desanya. Saat itu Kiai Jaji masih remaja, ghirah dakwahnya sedang menggebu-gebu. Ia masuk kampung keluar kampung. Mencari sesuatu yang baru dan menambah serta memperkaya wawasan keislaman. Pengembaraannya berakhir di Cimangir, Cibatok kecamatan Cibungbulang. Jaji muda menjadi utadz pendatang dan disukai dakwahnya oleh masyarakat Cimangir. Cimangir menjadi kawah candradimuka dan praktek dakwahnya. Di Cimangir pula Jaji muda bertemu jodoh, Siti Masyitoh, yang juga santrinya.

Setelah lahir anak pertamanya, Kiai Jaji pulang kampung. Ia berdakwah di kampung halamannya yang sudah banyak kiai. Maklum, Sadeng memang terkenal kampung santri. Sehingga Sadeng dikenal orang dengan Sadeng Kaum. Di kampungnya ini, Kiai Jaji mulai membuka pengajian untuk anak-anak kecil. Belajar membaca Al Qur'an. Aliran listrik PLN belum masuk kampung ketika itu, alat penerangan masih dengan obor dan lampu teplok. Meski dengan penerangan seadanya, anak-anak santri sangat bersemangat menimba ilmu darinya. Apalagi saat sesi dongeng tokoh Islam disampaikan, anak-anak mendengarkan dengan penuh antusias.

Tahun 1970-an akhir, Sadeng kedatangan Ustadz pendatang, H. Yunus Sanusi sering dipanggil Kiai Enus. Ilmu keislamannya sangat mendalam dan tinggi. Kiai Enus menikah dengan putri Sadeng Ibu Hjh Mimi. Dan akhirnya Kiai Enus mukim di Sadeng.

Ceramah-ceramah Kiai Enus sangat menggugah masyarakat Sadeng. Tidak terkecuali

3 komentar:

  1. kang handry bloger yang ini saya sangat suka,karena berisi tentang ulama-ulama sadeng yang memang saya sangat mengaguminya..saya juga salah satu orang/warga sadeng sekaligus murid alm.KH.Yunus Matin (kiyai.enus)..klo bisa muatin blog tentang KH.Muhamad Bakri (mama.bakri)

    BalasHapus
  2. Ulama yg hrs d turut d teladani d hayati wasiat ny dan d bangga kan ulama yg mencari bejuang ber itihad dengan syareat syateat nya islamiah sampai membentuk / memilih jalan syareat nya dngan memakai shareat zikir qodiriah na.qsabandiah syeh abdul kodir jaelani yang di nabakan ATTAKHOLI.WATTAHAlI bertujuan untuk mendapat kan musyahadah kpd ALLAH sang pencipta sejagat raya kita semua mudah2 an digolong kan kpd orang yg musyahadah kpd sang pecipta srjagat raya kita sebagai pengikut nya kita hrs bener2 wal iyaju billah memohon perlindungan dan bertaslim wa upawwidu amri min umurl dunya wal akhiroh amin amin

    BalasHapus