Kamis, November 20, 2008

Mursyid TQN di Jepara Wafat

Kota Jepara kehilangan satu lagi figur kiai sepuh yang penuh dengan kesederhanaan. Bukan hanya warga masyarakat kota ukir saja yang kehilangan, namun juga simpatisan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari Pimpinan Ranting hingga Pimpinan Pusat turut berbela sungkawa atas meninggalnya KH M. Qurthubi.


Tak heran jika ribuan umat Islam turut mengantarkan jenazahnya, Ahad (16/11) siang kemarin. "KH M. Qurthubi, merupakan seorang figur yang sangat sederhana," kata Hendro Martojo, Bupati Jepara.

Selain sebagai sosok yang mengedepankan kesederhanaan Hendro menilai pengasuh pondok pesantren Al-Ishlah Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara ini adalah orang yang aktif mengikuti majlis taklim meski hingga ke pelosok desa sekalipun. Tak hanya itu, beliau adalah sosok seorang pendidik. Hal ini terbukti dengan pesantren yang berdiri disamping kediamannya.

KH M. Qurthubi meninggal dalam usia 72 tahun dan meninggalkan seorang istri, Hj. Siri Rohmah, 10 putra-putrinya serta 23 cucu. Selain sebagai pengasuh pondok pesantren, kiai sepuh yang meninggal dunia pada (15/11) pukul empat sore di rumah sakit (RS) Kartini Jepara ini juga sebagai guru mursyid thariqah qadiriyah an-naqsabandiyah.

Pada kesempatan lain, Mulyadi, salah seorang santri berharap agar kiai Qurthubi mendapatkan tempat yang layak disisi Allah swt, sesuai dengan amal ibadah beliau ketika masih berada di dunia. Sebab pekerja wirawasta ini masih menjumpai beliau saat memimpin do'a pada majlis taklim 16-an dan saat menjadi khatib dan imam shalat Jum'at di masjid Al-Falah Margoyoso, Kalinyamatan, Jepara.

"Semoga Allah swt menerima semua amal ibadah dan menempatkan beliau di raudhoh min riyadhil jinan", kata Mulyadi seraya meneteskan air mata kepada kontributor NU Online, Syaiful Mustaqim.

Bukan hanya Bupati Jepara saja yang hadir, ada pula sejumlah pejabat dan para kiai juga ikut berbelasungkawa atas meninggalnya kiai Qurthubi. H A. Marzuqi, S.E (wakil bupati Jepara), Arief Mudatsir Mandan M.Si (Wakil Ketua DPP PPP), H Hisyam Ali dan Drs H Istajib AS (DPW PPP Jawa Tengah), KH Noor Ahmad SS (ahli falak PBNU), KH Ahmad Kholil, KH Ahmad Sholeh, KH Abdullah Nawawi, KH Muhlisul Hadi, yang kesemuanya dari Jepara. Tak ketinggalan KH Nashiruddin (Tuban, Jawa Timur) juga ikut takziyah di kediaman KH M. Qurthubi.

Hendro Martojo, Bupati Jepara yang terpilih menjadi bupati selama dua periode ini menambahkan agar umat Islam bisa meneledani dan bisa meneruskan perjuangan para sesepuh yang telah tiada. Dia menyontohkan beberapa nama kiai yang telah mendahalui semisal KH Damanhuri Kholil, KH Nur Arif, KH Mahfud Asymawi, dan masih banyak lagi.

"Seyogianya kita harus meneladani dan meneruskan apa yang telah menjadi perjuangannya, sehingga kita kelak menjadi khoira ummah (sebaik-baiknya umat)," harapnya.

Sumber : NU Online

Selasa, November 18, 2008

Si Kecil, Play Station dan Games Online


Galih baru saja menyalakan pc desktop di hadapannya, di dalam sebuah warnet ukuran menengah milik tetangganya. Jam dinding menunjukkan pukul 13.00 WIB siang itu. Galih berencana akan berkorespondensi dengan sejawatnya di luar negeri. Dia sendiri sebenarnya punya laptop yang bisa langsung terkoneksi dengan dunia maya. Tetapi entah mengapa laptpopnya ‘ngadat’.

Tiba-tiba ia dikejutkan celoteh anak-anak yang ramai di pintu masuk. Rupanya anak-anak SD sedang berebutan masuk warnet. Pakaian seragam putih merah masih melekat di badan. Tercium aroma asam yang timbul dari peluh mereka. Sepertinya anak-anak itu sudah sangat akrab dengan petugas warnet. Masing-masing mengeluarkan 4 lembar uang kertas ribuan dan diserahkan kepada petugas itu. “1 jam ya, Mas! 1 jam ya, Mas!” teriak mereka bersahut-sahutan. Setelah itu mereka langsung menuju jajaran desktop yang memang khusus untuk games online.

Anak-anak itu hapal benar kondisi masing-masing desktop di dalam warnet. “Jangan yang itu, Gus! Gambar di monitornya kurang bagus. Di sini saja, dekat aku”. Ujar salah seorang anak yang kelihatan sangat agresif dan lihai berselancar di games online kepada temannya yang sepertinya baru kali itu ikut bermain. Sebentar saja mereka sudah asyik dengan desktop masing-masing, sambil sesekali mengeluarkan celetukan-celetukan gembira dan kecewa ketika tokoh yang dimainkannya menang atau kalah.

Galih hanya mampu berdecak kagum. “Anak-anak SD itu pasti sering kesini,” gumam Galih. Sambil terus chatting dengan kawannya di luar negeri, pikiran Galih menerawang. Ia ingat Restu, keponakannya yang baru berusia enam tahun. Pada ulang tahunnya yang keenam beberapa bulan yang lalu, ayahnya menghadiahkan play station versi terbaru. Dia senang bukan main.

Beberapa hari berikutnya, Restu lebih sering ‘mengeram’ di dalam kamar, sibuk dengan playstationnya. Jika sudah di depan playstation ia bisa lupa makan siang. Sampai-sampai ibunya harus terus mengingatkannya untuk makan. Bukan hanya itu, Restu sudah jarang bermain dengan teman-temannya di luar rumah. Kehidupan sosialnya menjadi terbatas. Waktu belajar pun tersita oleh kesenangan barunya ini.

Fenomena ini semakin membuat resah para orangtua. Globalisasi informasi tidak bisa dibendung. Semua begitu mudah didapat. Tuntutan jaman mengharuskan semua orang, terutama di kota besar untuk akrab dengan teknologi maya. Harus ada tindakan untuk membendung situasi ini.

Senin, November 10, 2008

Dinner di Emperan UGM


Lelah oleh kesibukan seharian memberikan training di Pondok Pesantren Takwinul Muballighin, Yogyakarta tim trainer menyempatkan diri 'dinner' di emperan Universitas Gadjah Mada.

Nikmatnya makan nasi goreng kambing, 'ngingetin' bakar-bakaran sate setelah menerima hewan kurban saat Idul Adha di kampung.

Eh... ternyata babe doyan juga tuh ama nasi goreng kambing.
Apalagi sambelnya ditambahin...
Ma'Nyus Euy...

Yogya, September 2006

Jumat, November 07, 2008

Mursyid, Pembimbing Jalan Ruhani

APAKAH ADA PERADABAN YANG LEBIH BAIK DARI ISLAM?

Jawabannya TIDAK!!

Lalu apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun...?

Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Baqarah - 2:151.

"Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui."

Beliau menjalankan tiga tugas utama:

Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah. Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit' dan meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.

Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang memotivasi orang untuk mengamalkannya.

Ta'lim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah) serta apa-apa yang belum diketahui umat.

Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah dibukukan, dikasetkan, di-CD/VCD-kan, di-digital-kan. Orang dapat mengaksesnya secara langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode yang sangat cepat.

Fungsi ta'lim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang memimpin majlis-majlis ta'lim, baik langsung maupun menggunakan fasilitas distance learning melalui radio, tv dan internet.

Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w. mentazkiyah jiwa para sahabat sebelum menta'lim mereka. Jiwa para sahabat sudah tersucikan lebih dulu sebelum mendapatkan ta'lim. Tapi siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini?

Untuk tilawah kita dapat menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak tersebar dengan harga murah. Untuk ta'lim kita dapat mendatangi majlis ta'lim, halaqah, liqa' dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah lebih dulu.

Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita? Apakah para murabbi kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah kita? Kadang kita katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan saja ibadah-ibadah yang ada dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah kalau masih banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, untuk tazkiyah perlu ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan tazkiyah lebih dulu...

Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu ada orang yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui pentingnya dua hal itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah, tazkiyah dan ta'lim dari malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya dari Rasululllah s.a.w. Para tabi'in dari para sahabat...begitu seterusnya.

Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat ini?

Kadang kita terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dari orang yang mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allah SWT bersifat langsung dan individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah Rasulullah s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh Jibril?


Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya. Seraplah cahaya Ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita tidak akan pandai tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa guru maka gurunya adalah setan...). Jiwa takkan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.

Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah mursyid yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid atau wali nikah, tapi wali Allah...

Oleh Wahfiudin
Materi Seminar Tasawuf
Plaza Mandiri 25 Oktober 2008