Orang-orang yang berhaji adalah para tamu Allah. Sebagai tuan rumah yang baik tentu Allah akan ‘menampakkan diri’ untuk menyambut para tetamunya. Bukan penampakan diri secara lahiriah, tapi penampakan diri dengan memperlihatkan ayat-ayat-Nya.
Ayat adalah tanda, ada tanda-tanda yang menunjukkan keberadaan diri-Nya, ada tanda-tanda yang menunjukkan kekuasaan-Nya, kecerdasan-Nya, kehidupan-Nya atau juga ke-Maha-Kuasaan-Nya. Di antara ayat-ayat yang sering Allah pertontonkan kepada para tetamu-Nya adalah ayat tentang kekuasaan-Nya mengendalikan response time, jarak waktu antara sebab dan akibat.
Kita tahu, ketika kita berbuat jahat maka perbuatan itu akan menjadi sebab bagi munculnya akibat jahat di belakang hari. Begitu juga ketika kita berbuat baik maka kebaikan itu akan menjadi sebab bagi munculnya kebaikan di kemudian hari. Hanya saja perbedaan waktu antara dilakukannya sebab dan munculnya akibat dapat sedemikian lama, sehingga ketika muncul suatu kejahatan kita sudah tidak ingat lagi bahwa itu adalah akibat dari kejahatan yang kita buat di masa lalu. Begitu juga, karena akibat-akibat kebaikan yang kita buat dapat terjadi jauh di kemudian hari maka kita kadang kurang merasa yakin dengan kebaikan yang semestinya kita lakukan. Kita jadi kurang termotivasi untuk melakukan kebaikan. Nah, ini berbeda dengan saat kita berada di tanah suci.
Di tanah suci Allah sering mempertontonkan kekuasaan-Nya mempermainkan response time. Jarak waktu antara munculnya suatu akibat dengan dilakukannya suatu sebab dapat dibuat-Nya panjang, dapat juga dibuat-Nya cepat.
Pelaksanaan haji tahun 1994 jatuh di musim panas. Pondokan kami (penulis) terletak di Misfalah ujung, dua kilometer jauhnya dari Masjidil Haram. Untuk mencapai Masjidil Haram kami harus berjalan kaki lebih dari setengah jam, melewati pasar yang ramai dan jalan-jalan yang panas berdebu. Apalagi kalau mau mendapatkan tempat di bagian dalam masjid, maka kami harus sudah berangkat dari pondokan dua jam sebelum waktu shalat.
Suatu hari menjelang shalat Zhuhur, saat suhu udara meningkat lebih dari 450 Celcius, kami menyusuri jalan dengan menahan tenggorokan yang tercekat debu panas. Merunduk di bawah payung yang seakan menjadi ornamen kesia-siaan, karena payung hanya menahan cahaya matahari sedangkan hawa panas tetap menyerang dari sekeliling, kami melihat seorang negro Afrika berjalan tertatih-tatih dengan kaki yang pincang. Seorang teman di sebelah kami bergumam dalam batin, sebagaimana dia ceritakan kelak: “Uh, bagaimana rasanya tuh jalan ke masjid yang jauh dengan kaki yang pincang. Mana pula udara panas menyengat macam ini. Untung dia yang pincang, bukan aku…”
Tiba-tiba entah dari mana datangnya lubang itu. Mungkin juga itu lubang riol saluran air yang sudah lama tidak terurus. Atau mungkin juga lubang itu baru muncul. Yang jelas kaki kawan saya yang bergumam terperosok kedalam lubang, terjerembab di air comberan yang hitam dan berbau busuk. Setelah itu ia berjalan terpincang-pincang karena pergelangan kakinya terkilir. Ia berjalan sambil menangis dan meratap: “Ya, Allah… barangkali si negro tadi pincangnya sudah sejak kecil, sehingga kaki pincang itu bukan lagi kendala baginya. Tapi aku nih…, yang barusan keseleo, berasa payah sekali berjalan dengan terpincang-pincang di bawah udara yang panas terik. Ampuni aku ya Allah, tak lagi-lagi aku melecehkan orang yang cacat. Maafkan aku ya Allah, sudah kurasakan azab-Mu yang kontan…”.
Sumber : www.qalbu.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar