Jam 03.00 dini hari Pak Parjo, pengusaha warung nasi sederhana di pertigaan jalan masuk menuju kampus Gali sudah terjaga dari tidurnya. Ia bergegas menuju pasar pagi untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan dimasak. Rutinitas yang sudah dijalaninya dua tahun belakangan ini.
Di pasar, dengan lincahnya Pak Parjo menyusuri lorong-lorong setapak yang terdapat lapak-lapak pedagang di sisi kanan dan kirinya. Tiba di sebuah lapak penjual sayur mayur Pak Parjo berhenti, sebagaimana biasa ia langsung meminta dibungkuskan sayur mayur yang dibutuhkan. Setelah membayar, ia berpindah ke lapak pedagang daging yang berjarak beberapa puluh meter dari pedagang sayur mayur. Basa-basi ringan segera terlontar dari bibir penjual dan pembeli itu. Suasana akrab memang sudah terjalin antara pak Parjo dan Mas Untung, sang penjual daging.
Di sela-sela kesibukan mengemas daging-daging yang dibeli Pak Parjo, Mas Untung setengah berbisik berkata, “Pak Parjo, ada kawan yang mau menyalurkan daging-daging murah. Dagingnya bagus-bagus, Pak. Harganya bisa miring sampai 50 persen dari harga di sini. Lumayan, kan. Bisa ngirit-ngirit modal. Kalo bapak mau, saya bisa langsung antar ke warung bapak nanti abis shubuh.”
Selintas Pak Parjo sempat terkejut, tetapi ia langsung tersadar. Ia menimpali sambil tersenyum, “Ah, yang bener aja Mas Untung. Mana ada penjual daging yang bisa tekan harga sampai 50 persen.”
“Beneran, Pak Parjo. Stoknya banyak. Siap disalurkan. Memang sih, barang restan. Tapi restan dari restoran hotel-hotel terkenal. Tau sendiri kan kalo restan hotel, kondisinya bagus-bagus.” Mas Untung bernegosiasi. “Kalo bapak mau, sekarang juga saya telepon orangnya”, mas Untung berusaha meyakinkan Pak Parjo sambil mengeluarkan hp Nokia dari saku jinsnya.
Dengan cara-caranya yang lihai, akhirnya mas Untung mampu membuat Pak Parjo setuju membeli barang-barang restan itu, mengingat modalnya semakin menipis jika ia belikan daging-daging segar harga pasar.
Singkat cerita, Pak Parjo berbisnis warung nasi seperti biasa. Hari demi hari pendapatannya semakin bertambah. Ini berkat pasokan daging murah restan restoran hotel. Modal tidak banyak terkuras, tetapi keuntungan berlipat-lipat. Pak Parjo tidak sadar daging-daging yang ia jual, meski sudah dimasak dengan campuran beragam bumbu dan menjadi hidangan yang beraneka tetap saja mengandung resiko penyakit yang laten.
Mahasiswa banyak mampir ke warung nasi Pak Parjo. Selain memang tidak ada saingan, masakan Pak Parjo terkenal enak dan nikmat. Harganya pun sesuai kantong mahasiswa. Tapi akhir-akhir ini mulai banyak keluhan dari orang-orang yang sering makan di warung nasi Pak Parjo. Mereka sering mengeluh sakit perut. Usut punya usut ternyata sumbernya adalah makanan-makanan dari warung nasi Pak Parjo.
Akhirnya mereka melapor ke Polisi. Setelah menerima laporan itu, Polisi melakukan penyelidikan. Ternyata ditemukan bahan-bahan makanan yang sudah kadaluarsa di warung nasi Pak Parjo dalam jumlah banyak. Bahan-bahan itu siap dimasak dengan aneka menu. Pak Parjo pun kemudian digelandang ke sel tahanan Polsek.
Kejadian ini, tidak luput dari perhatian Gali yang naluri jurnalistiknya telah terasah. Gali juga kadang-kadang makan di warung nasi Pak Parjo. Tiba-tiba saja ia merasa mual dan ingin muntah ketika mengingat makanan-makanan pak Parjo. Ia kemudian bertanya-tanya di dalam hati, “ Kenapa, ya. Orang mau melakukan itu? Demi untung yang tidak seberapa ia tega membuat orang menderita. Hmm… akhirnya dia juga ikut menderita. Kalo gitu gue mesti ke Ustadz neh… Buat diskusiin fenomena ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar