Selasa, Desember 02, 2008

Istri Kerja Suami Merana

Pagi itu Galih tidak bisa konsentrasi menyelesaikan tulisannya yang telah deadline. Pikirannya dipenuhi suara-suara sedih kawan dekatnya yang semalaman telepon. Aris, kawan dekatnya ini sedang galau. Dia sedih dengan kondisi keluarganya akhir-akhir ini. Apalagi Aris sebagai kepala rumah tangga merasa tidak mampu mengendalikan bahtera yang telah ia layari selama 7 tahun ini.

Betapa tidak, sudah tiga tahun belakangan ia menganggur. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan industri Cikarang. Tetapi, di penghujung tahun 2005 yang lalu ia kena PHK. Kontraknya di pabrik itu telah selesai. Ia telah mengajukan lamaran ke berbagai pabrik dan kantor. Tidak hanya di sekitar Cikarang, bahkan merambah ke Jakarta. Tapi apa daya, belum ada pabrik dan kantor yang mau menerimanya bekerja.

Berbeda dengan Rina, istrinya yang memiliki karir bagus. Setelah Aris terkena PHK, Rina berusaha membantu mengurangi bebannya dengan ikut melamar kesana kemari. Rejeki memang datang begitu cepat kepada istrinya. Baru sekali melamar ke kantor bank swasta di Jakarta, ia langsung diterima. Memang, kebetulan ada orang dalam yang masih saudara dekat istrinya itu.

Rina diterima sebagai tenaga marketing. Ia sangat mudah menyesuaikan diri. Rina tenaga marketing yang smart, banyak nasabah yang terpesona dan merasa puas dengan service Rina. Atasannya begitu percaya kepadanya, hingga proyek-proyek besar banyak ditanganinya. Dua tahun berikutnya ia menjadi Manager Marketing. Penghasilan pun beranjak naik.

Lain di kantor, lain di rumah. Kesibukan di kantor menyita waktu dan tenaga Rina. Jabatannya sebagai manajer membuat ia selalu pulang hampir larut malam. Beragam meeting harus ia hadiri. Kondisi ini membuat Rina tidak bisa mengurusi rumah tangga. Anak satu-satunya yang berusia 5 tahun ia titipkan kepada Aris, suaminya. Segala kebutuhan rumah tangga kini dikelola oleh Aris. Dari urusan mencuci baju, menyapu dan mengepel lantai, memasak dan mengantar anak mereka sekolah di TK diserahkan kepada Aris.

Lama kelamaan Aris mulai ‘nggak enak hati’. Aris merasa diperbudak oleh istrinya, meski Rina tidak pernah eksplisit ‘menyuruh ini itu’ kepada Aris. Tapi ego kelaki lakiannya terusik. Ingin ia berontak dan membalik kondisi ini, tapi dia tidak berdaya. Akhirnya ia hanya bisa ‘curhat’ kepada Galih, teman dekatnya.

Galih yang tekun mendengar keluh kesah Aris jadi bingung sendiri. Ia tidak bisa memberikan solusi terbaik kepada Aris kecuali menyarankan untuk terus berusaha melamar kerja ke kantor-kantor lain atau membuat usaha sendiri, walaupun kecil-kecilan. Sambil terus diiringi dengan memperbanyak shalat dan doa.

Dasar penulis, Galih mencoba menulis artikel berkenaan kondisi rumah tangga Aris. Kebetulan ia kebagian membuat jurnal ‘Polemik Keluarga’ di harian tempatnya kerja. Untuk melengkapi data-data hukum perkawinan dalam Islam, ia harus bertanya kepada gurunya.

1 komentar: