Selasa, Februari 17, 2009

Bahkan Tidak Seekor Tikus

Ketika Mu’awiyah berhasil merebut kekuasaaan dan mengalahkan kelompok Ali ra, yang dilakukan Muawiyah kemudian adalah memadamkan seluruh bentuk pemberontakan dan melibas semua pembangkangan. Selain itu juga dilancarkan aksi-aksi kampanye meraih simpati dari rakyat untuk mendapatkan dukungan.


Entah bagaimana, akhirnya telinga Muawiyah mendengar nama seorang wanita pengikut setia Ali ra. Wanita itu berumur 50 tahun. Wanita yang sudah setengah abad itu benar-benar setia kepada baiat, penunjukkan Ali ra sebagai khalifah. Dan dia menganggap Muawiyah tidak lain hanyalah perampok, maniak dan orang gila yang ingin berkuasa.

Wanita itu bernama Darimah. Yang hebat dari wanita itu adalah kecerdasan dan umpatannya yang menyakitkan. Karenanya, di kalangan rakyat dia sangat dikagumi.
Barangkali karena alasan ingin mendapatkan dukungan itulah, Muawiyah ingin coba membujuk dan merayu Darimah agar bersimpati kepadanya.
Suatu hari Muawiyah mengutus pasukan untuk menjemput Darimah ke istana. Muawiyah ingin berbicara langsung kepadanya. Muawiyah ingin tahu tentang pendapat dan penilaian Darimah terhadap dirinya.

Begitu sampai di istana, Muawiyah memperlakukan Darimah dengan sangat hormat. Tapi apakah dilakukannya dengan ketulusan dan kejujuran? Atau sekedar basa-basi? Yang jelas, Darimah tetap tidak menaruh hormat kepada Muawiyah. Namun rupanya, sebagai politikus ulung Muawiyah tidak terlalu terganggu dengan sikap Darimah.

Sejenak kemudian Muawiyah bertanya kepada Darimah dengan sikap santun.

“Saya dengar Ibu adalah wanita yang sangat saleh dan cerdas.”

“Anda tidak pernah mendengar dari mulut saya pribadi sehingga saya tidak bertanggungjawab, apakah itu benar atau salah,” jawabnya ketus.

“Apakah benar Ibu pendukung setia Ali?”

“Ya, benar. Seperti yang Anda lihat,” jawabnya dingin.

“Mengapa ibu begitu setia kepada Ali?”

“Karena beliau adalah sumber keadilan dan kejujuran. Beliau sangat menjunjung tinggi orang-orang yang saleh dan mencintai rakyat jelata.”

Setelah tertegun sejenak, Muawiyah kemudian melontarkan pertanyaan yang cukup serius kepada Darimah.

“Apakah benar Ibu tidak menaruh hormat kepada saya barang sedikit pun?”

“Iya, benar,” katanya, tegas dengan tanpa ada ekspresi takut di wajahnya.

Tapi, sekali lagi, Muawiyah adalah seorang politikus ulung, dia tidak mudah terprovokasi. Dia tetap mengendalikan emosinya.

“Mengapa sampai begitu?”

“Karena Anda berbeda jauh dengan Ali ra. Anda sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding beliau,” jawab Darimah.

“Lalu apa yang bisa diperbuat Ali?” tanya Muawiyah.

“Ali ra telah menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk beribadah. Melakukan hal-hal yang berguna bagi perbaikan rakyat. Beliau tidak punya ambisi dan kepentingan,” sambung Darimah.

Muawiyah tetap dapat mengendalikan emosinya. Bahkan dengan sangat sopan dia berkata,
“Terima kasih, itu bagus. Saya tidak akan marah kalau Ibu tetap memandang saya tidak ada apa-apanya dibanding Ali. Sekarang apa yang Ibu inginkan dari saya sebagai kenang-kenangan kunjungan Ibu ke tempat saya?”

“Saya ingin seekor unta berwarna merah dan anak-anaknya sekalian,” kata Darimah.

“Tidak masalah, hari ini juga sepuluh unta dan anaknya akan dikirim ke rumah Ibu.”
Muawiyah kemudian bertanya, “Nah apa Ibu yakin bila Ali yang berkuasa sekarang, dia akan melakukan hal seperti itu kepada Ibu?”

Dia sudah pasti tidak akan melakukan hal itu. Bahkan beliau tidak akan memberikan kepada saya seekor tikus pun kalau harus diambil dari Baitul Mal, kas negara!”
Wajah Muawiyah tiba-tiba pucat. Darahnya seperti berhenti. Ucapan Darimah bak petir di siang bolong. Para pejabat yang menyaksikan percakapan itu semuanya terkesima. Sepertinya tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Kejujuran Membawa Sengsara, Tasirun Sulaiman, Erlangga, 2005

1 komentar:

  1. Menarik sekali cerita di atas. Benar2 menginspriasi bahwa keshalehahan seseorang kepada Allah SWT dan Guru Muryidnya akan membuat seseorang itu berani mengatakan kebenaran.

    BalasHapus