Senin, Februari 09, 2009

Sebuah Paradigma Parsial

Matahari belum tergelincir. Dia masih berada pas di pusat ubun-ubun. Rasa panasnya begitu menyengat bersebaran ke mana-mana. Udara di sekitarnya panas. Keringat berlelehan membasahi permukaan kulit. Orang berhenti beraktifitas dan mencari tempat berteduh Sebagian mungkin tiduran karena panas.


Seorang ustadz yang sedang melakukan perjalanannya, ngaso sembari mengendorkan nafas di dekat tepi sungai. Air sungai mengalir dengan derasnya. Ustadz itu melemparkan pandangannya ke hamparan sungai. Hingga dari tepi yang lain, agak jauh, beliau menyaksikan seorang laki-laki yang sedang tidur-tiduran. Di sampingnya tergeletak sebuah botol, mirip botol minuman keras. Tubuh laki-laki itu tampak tidak bergerak. Di dekatnya ada seorang wanita. Mereka asyik seperti sepasang kekasih. Si wanitanya kelihatan menjaga laki-laki itu.

Menyaksikan pemandangan itu, sang ustadz bergumam dalam hati, “Seandainya saja aku dapat memberitahu dan menjadikan mereka sadar kalau perbuatan mereka itu tidak dibenarkan agama. Tetapi, bagaimana aku bisa ke sana?”

Dalam pikirannya, sang ustadz ingin sekali mengajak mereka meniti jalan kebaikan dan meninggalkan jalan maksiat. Pikiran sang ustadz masih terus berputar-putar. Tapi, tak lama kemudian, pikiran ustadz itu disentak kegaduhan.

“Tolong! Tolong!”

“Tolong! Tolong!”

Sebuah perahu sampan oleng dan memuntahkan semua penumpangnya. Mereka yang kecemplung ke dalam sungai tangannya menggapai-gapai ke permukaan air,dan tak berhenti meminta pertolongan.

Laki-laki di tepi sungai yang sejak tadi tiduran dengan sigap dan tangkasnya menyeburkan diri. Dengan upaya keras dia menyeret mereka yang nyaris tenggelam di sungai satu per satu. Mereka yang berhasil diselamatkan kemudian diurus oleh si wanita.

Selesai menyelamatkan orang-orang itu, si laki-laki tadi mendatangi sang ustadz yang hanya melongo menyaksikan kejadian naas itu.

Ustadz yang dari tadi beranggapan kalau laki-laki tersebut adalah orang yang sedang berbuat maksiat kemudian bertanya, “Saudaraku, apa yang kamu lakukan sedari tadi dengan wanita itu? Apakah saudara tahu kalau tindakan itu tidak dibenarkan ajaran agama?”

Laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan sang ustadz. Dia terdiam sejenak, lalu berkata: “Wahai Ustadz, aku butuh pertolonganmu.”

“Pertolongan apa saudaraku?”

“Masih ada satu orang lagi yang harus diselamatkan!” jelas laki-laki itu, “Mereka berjumlah tujuh orang, tapi aku hanya bisa menyelamatkan enam orang saja.”

“Bagaimana aku bisa menolongnya, wahai saudaraku? Dia tentu sudah menjadi mayat!”
Sang Ustadz tiba-tiba wajahnya berubah pucat. Ada perasaan malu menyelinap.
Tapi sang Ustadz ingin membuktikan apa yang dilihatnya. Lalu ia bertanya, “Siapa wanita itu, saudaraku?”

“Dia adalah ibuku. Dia sangat menyayangiku. Dia selalu menjagaku saat aku tertidur.”
Jantung sang ustadz berdetak kencang.

“Lalu botol apakah yang ada di sebelahmu?” lanjut sang ustadz.

“Itu botol yang aku temukan di tepi jalan. Aku telah membersihkannya dan menggunakannya untuk tempat air minum.

Astaghfirullah, betapa bodohnya aku,” lirih sang ustadz dalam hati. Sang ustadz lalu memeluk laki-laki itu seraya berkata, “Maafkan aku, saudaraku.”

Laki-laki itu hanya bisa mematung dipeluk sang ustadz. Dia sungguh tidak mengerti dengan kejadian itu. Dia sepertinya tidak percaya, dipeluk oleh seorang ustadz.

Harga Sebuah Loyalitas, Tasirun Sulaiman, Erlangga, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar