Dengan tidak bermaksud melemahkan nash yang satu dengan nash yang lain, mari kita telaah dengan teliti.
Dzikir tasbih, tahmid dan takbir yang Rasulullah saw ajarkan kepada para sahabat adalah berdasarkan permintaan kaum faqir jaman itu yang merasa tidak memiliki apapun untuk berjihad di jalan Allah. Berbeda dengan kaum aghniya atau ahli datsur (orang-orang kaya) yang dengan kekayaannya mereka bisa leluasa menginfakkan sebagian hartanya untuk berjihad. Lalu kaum faqir itu pun melaksanakan ajaran Rasulullah ini.
Belakangan tidak hanya kaum faqir saja yang mengamalkan dzikir tasbih, tahmid dan takbir seusai shalat, ahli datsur pun ikut mengamalkan dzikir ini.
Jika mereka kaum faqir dan aghniya sama-sama mengerjakan dzikir ini, lalu amal shaleh apa lagi yang mampu mengejar ketertinggalan kaum faqir atas kelebihan para aghniya itu, bukankah Rasulullah saw bersabda, ...Dan tidak ada seorangpun yang akan menyamai kalian setelah itu kecuali jika orang itu mengerjakan juga...
Di saat berbeda, Sahabat Ali bin Abi Thalib yang terkenal kecerdasan dan ketekunannya di dalam beribadah kepada Allah SWT mengajukan sebuah permohonan khusus kepada
Rasulullah saw sebagaimana nash berikut :
...orang pertama yang menginginkan jalan terdekat kepada Allah, terunggul tetapi termudah melalui Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib r.a.
Ketika Saidina Ali ra meminta, Rasul tidak langsung menjawab, tetapi menunggu wahyu. Maka datanglah Jibril dan mentalqinkan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH tiga kali dan Nabi mengucapkannya tiga kali. Selanjutnya Nabi mentalqin Ali ra. (sebagaimana Nabi ditalqin oleh Jibril). Selanjutnya Nabi mendatangi para sahabat dan Nabi mentalqin mereka secara berjamaah.
Rasulullah saw mengajarkan kepada sahabat Ali bin Abi Thalib dan sahabat-sahabat lainnya kalimat tauhid sebagai sebuah jalan terdekat kepada Allah, terunggul tetapi termudah. Setelah mendapatkan amalan ini kemudian para sahabat istiqomah melakukan dzikir tahlil.
Perhatikan keterangan berikut :
“Sesungguhnya Dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat wajib, adalah biasa pada masa Rasulullah saw. Kata Ibnu Abbas, “Aku segera tahu bahwa mereka telah selesai shalat kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran.” (HR Muslim No.541)
Sahabat Ali bin Abi Thalib ra kemudian mengajarkan cara berdzikir tahlil ini kepada generasi berikutnya, antara lain kepada kedua anaknya Hasan dan Husain, juga kepada murid terkasihnya Hasan al-Bashri. Selanjutnya ketiga orang ini pun mengajarkannya kepada generasi-generasi sesudahnya hingga masa sekarang. Ajaran dzikir itu terus turun temurun membentuk mata rantai yang tidak terputus dari satu generasi ke generasi berikutnya membentuk silsilah mata rantai emas. Kesemua silsilah itu berpangkal kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Apa yang dilakukan Sahabat Ali bin Abi Thalib ra adalah sebuah cara (thariqah) sampai (wushul) kepada Allah Ta’ala sebagaimana termaktub dalam firman Allah:
“Barangsiapa ingin berjumpa dengan Tuhannya hendaklah ia beramal shaleh dan tidak menyekutukan Tuhannya itu dengan apapun juga dalam ibadat penyembahannya.”
(QS Al Kahfi :110)
Ilustrasi mudahnya, sahabat Ali bin Abi Thalib ra dengan permohonannya kepada Rasulullah saw untuk diajarkan cara mendekat kepada Allah Ta’ala adalah proses mengajukan lamaran untuk masuk sebuah akademi khusus ‘mencetak calon-calon muqarrabiin’. Kemudian diterima oleh Rasulullah melalui proses talqin dzikir LAA ILAAHA ILLALLAH.
Sebagaimana akademi-akademi di jaman sekarang pola pendidikan yang diterapkan serba spesial. Kurikulumnya spesial, olah jasmaninya spesial, olah fikirnya spesial. Dan setiap peserta didik yang terdaftar dalam akademi tersebut harus mematuhi peraturan yang ditetapkan dan menjalani berbagai macam latihan (riyadhah) untuk bisa lulus, berhasil mendapatkan ijazah dan memanfaatkan ilmu yang diperoleh.
Begitu juga dengan latihan (riyadhah) melaksanakan dzikir tahlil dalam tarekat setiap ba’da shalat fadhu, menjadi sebuah kewajiban bagi para pengamalnya untuk keberhasilan dalam proses pensucian ruhaniah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Menjadi murid seorang Syekh/Mursyid dalam tarekat merupakan proses membebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan rutin yang membuat nyaman, istilah jaman sekarang adalah keluar dari comfort zone (zona nyaman).
Sebelum bertarekat, seorang murid sangat nyaman dengan tidur delapan jam sehari semalam, tetapi setelah bertarekat ia harus latihan (riyadhah) mengurangi jam tidurnya menjadi lebih sedikit. Enam atau bahkan empat jam sehari semalam, sehingga ia menjadi terbiasa mengurangi tidur dan memanfaatkan waktu yang biasanya terpakai untuk tidur dengan hal-hal yang bermanfaat, misalnya shalat malam. Dengan begitu ia sedang mengelola syahwat al-nawm (keinginan/kecenderungan untuk tidur) di dalam nafs (diri)-nya.
Sebelum bertarekat, seorang murid sangat nyaman dengan mengkonsumsi makanan tiga kali sehari semalam. Setelah bertarekat ia dibimbing oleh mursyidnya mengelola syahwat al-bathn (keinginan/kecenderungan untuk mengisi penuh perut dengan makan dan minum) tidak berlebihan melalui puasa. Dalam bentuk puasa senin kamis, puasa Nabi Dawud, puasa kifarat, puasa memakan nasi dan lauk yang mengandung lemak atau puasa-puasa lain. Masih banyak model latihan lainnya yang harus dijalani oleh seorang murid. Kesemuanya itu sesuai dengan sabda Rasulullah saw : kita telah kembali dari perang kecil ke perang besar. Yang dimaksudkan perang besar adalah perang melawan hawa nafsu.
Kesimpulannya melakukan dzikir tahlil bagi ikhwan dan akhwat TQN Suryalaya ba’da shalat fardhu adalah suatu keharusan dalam rangka pensucian ruhaniah untuk mendekat kepada Allah SWT. Adapun jika berjamaah di dalam lingkungan orang-orang yang belum ber-TQN, selesai shalat fardhu silakan ikut dalam dzikir tasbih, tahmid dan takbir. Kemudian lakukan dzikir tarekat seusai dzikir tersebut.
Namun hal yang sangat penting diperhatikan adalah kebijaksanaan dalam mengelola sikap di tengah-tengah masyarakat. Jangan karena lantaran merasa melaksanakan jalan yang khusus (tarekat), kemudian menjadi paling benar dan paling takwa sendiri. Justru di dalam tarekat kita harus semakin cerdas mengelola rasa. Ingat pesan-pesan Syekh Mursyid pendahulu kita, Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad yang tertuang di dalam tanbih dan lima untaian mutiara. Tunjukkan akhlaqul karimah yang merupakan buah dari dzikir yang kita lakukan.
Mungkin pepatah di bawah ini bisa menjadi bahan renungan kita semua :
Jangan jadi orang yang merasa pandai,
Jadilah orang yang pandai merasa.
Waminallahi tawfiq wal hidayah. Wallahu a’lam bishshawwab.
Meruya, 31 Januari 2009 (Han)
Bahan bacaan :
1. Sirrul Asrar, Asy Syeikh Abdul Qadir Al Jailani, Terjemahan KH Zezen Zaenal Abidin Zayadi Bazul Asyhab, Thinkers Library, 1998
2. Miftahus Shudur, KH. A. Shohibul Wafa Tadjul ‘Arifin, Terjemahan Prof. DR. Aboebakar Atjeh, Pondok Pesantren Suryalaya, 1970
3. Hakekat Tauhid & Makna Laa Ilaaha Illallah, Syaikh Dr. Shaleh bin Fauzan bin Abdullah al Fauzan, Terjemahan Agus Su’aidi bin Husnunuri As Sidawi, Pustaka Al Haura, 1999
4. Hadist Shahih Muslim I-IV, Terjemahan Ma’mur Daud, Fa. Widjaja, 1993
5. Amalan Seumur Hidup, Imam Nasa’i, Terjemahan H. Alimin dan Rezki Matumona, Sahara Publisher, 2005.
Subhanallah, hatur nuhun penjelasannya, mantap
BalasHapus