Rabu, April 01, 2009

Hakim al Tirmidzi

Oleh : DR. Asep Usman Ismail, MA

Al-Hakîm al-Tirmidzî nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasan al-Hakîm al-Tirmidzî. Lahir di kota Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah, pada 205 H/820 M dan wafat pada 320 H/935 M. Ia mendapat laqab (nama kehormatan) al-Hakîm al-Tirmidzî dan memiliki kunyah (nama panggilan) Abû ‘Abd Allâh (ayahanda ‘Abd Allâh); sedangkan nama dirinya adalah Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasan.
Para penulis tidak sama dalam menyebut urutan nama diri, laqab, dan kunyah tokoh ini; bahkan mereka berbeda pula dalam menyebut nama kakeknya, Hasan atau Husayn. Al-Sya’ranî, misalnya, menyebut nama ulama ini Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Husyan al-Tirmidzî al-Hakîm.

Sementara itu, al-Subkî menambahkan dua laqab sesudah penyebutan nama dirinya, yakni al-Zâhid (seorang yang zuhud) dan al-Muhaddits (ahli hadis), serta ditambah dengan menyebut nama ayahanda kakeknya, al-Basyr; sehingga nama lengkapnya, menurut al-Subkî, adalah Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Basyr al-Muhaddits al-Zâhid Abû‘Abd Allâh al-Hakîm al-Tirmidzî.

Al-Hakîm al-Tirmidzî berasal dari keluarga ilmuwan. Ayahnya, ‘Alî ibn Hasan, adalah salah seorang ulama fikih dan perawi hadis. Sejak kecil pada diri al-Hakîm al-Tirmidzî sudah tertanam kecintaan terhadap ilmu. Ia belajar berbagai dasar ilmu keislaman di kota kelahirannya, Tirmidz atau Termiz, kota para ilmuwan dan pusat peradaban Islam klasik di Asia Tengah. Kota ini terletak di tepi sungai Jihun atau sungai Amudarya.

Berdasarkan otobiografinya, perkembangan intelektual dan pengalaman spiritual al-Hakîm al-Tirmidzî dapat dibagi dalam empat periode.

Pertama, periode peletakan batu pertama, berlangsung sejak lahir hingga berusia delapan tahun. Pada periode ini tidak banyak yang kita ketahui tentang kehidupan al-Hakîm al-Tirmidzî, selain bahwa ia berbeda dari kehidupan anak-anak seusianya yang menghabiskan waktunya dengan bermain, al-Tirmidzî sudah tertarik kepada ilmu. Dalam dirinya sudah tumbuh minat untuk belajar. Sejak tumbuh kemampuannya secara umum untuk berpikir logis, ia sudah menyaksikan halaqât al-‘ilm (forum ilmiah), sehingga sejak dini sudah tertanam di dalam dirinya semangat belajar. Hal ini, karena motiviasi yang ditanamkan ayahnya, ‘Alî ibn Hasan, seorang ulama fikih dan perawi hadis; yang merupakan guru pertamanya. Menurut Muhammad Ibrâhîm al-Jayûsyî, ibunda al-Hakîm al-Trimidzî juga seorang ahli hadis. Banyak ulama yang meriwayatkan hadis darinya. Oleh sebab itu, ia pun termasuk faktor yang memberikan motivasi belajar bagi al-Trimidzî.

Kedua, periode pembentukan; berlangsung sejak usia delapan tahun hingga menjelang 27 tahun. Tentang hal ini, al-Hakîm al-Tirmidzî menuturkan dalam otobiografinya. “Guruku telah mempersiapkanku sejak usiaku delapan tahun untuk mempelajari ilmu. Beliau yang menuntun dan mendorongku mempelajari ilmu serta memperkenalkan budaya belajar sehingga belajar itu menjadi kebiasaanku sejak dini. Maka pada usia muda belia, aku telah berhasil menghimpun ilmu atsâr, yakni ilmu tentang Al-Qur`an dan hadis Nabi serta ilmu al-ra`y, yakni ilmu yang bersifat pemikikiran. Memasuki usia 27 tahun dalam diriku ada keinginan kuat untuk bertamu ke rumah Allah yang suci.”

Sampai usia 27 tahun, al-Hakîm al-Tirmidzî belum pernah mengunjungi berbagai pusat ilmu di luar wilayah Khurâsân seperti kebiasaan para penuntut ilmu dan pencari kearifan saat itu. Hal ini tidak berarti bahwa ia hanya belajar pada ayahnya, ‘Alî ibn Hasan al-Tirmidzî; tetapi ia pun belajar hadis, fikih, tasawuf, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya pada ulama-ulama yang berada di Tirmidz maupun di kota lain di Khurâsân. Adapun guru yang paling berpengaruh dalam perjalanan spiritual al-Tirmidzî dan telah membimbingnya memasuki dunia tasawuf adalah Syaikh Ahmad ibn ‘آsim al-Antâkî (w. 220 H/835 M) seorang Sufi terkenal di Khurâsân. Ia, seperti dipaparkan al-Sulamî dalam Tabaqât al-Sûfiyah (Biografi para Sufi) termasuk salah seorang sahabat dekat Sufi terkemuka Bisyr ibn al-Hârits, al-Sirrî, dan al-Muhâsibî.

Ketiga, periode perantauan dan peralihan. Periode ini dimulai setelah al-Hakîm al-Tirmidzî merasa cukup dengan bekal ilmu yang dipelajarinya di Khurâsân. Kemudian muncul keinginan untuk mengunjungi pusat kajian ilmiah di dunia Islam yang sudah membudaya di kalangan kaum terpelajar pada saat itu. Kota yang menjadi tujuan kunjungan ilmiah al-Tirmidzî adalah Basrah dan Kûfah di Irak guna mendalami hadis pada para ulama di kota ini. Al-Tirmidzî tidak menetap lama di Basrah, sebab kunjungannya ke kota ini satu paket dengan rencana perjalanan haji ke Tanah Suci Mekah.

Perjalanan itu sempat tertunda lama, karena ibunya sakit; dan baru terlaksana setelah wanita ahli hadis itu wafat. Farîd al-Dîn al-’Attâr, seorang Sufi dan sastrawan Persia ternama, mencatat suatu kisah menarik dalam perjalanan al-Tirmidzî guna menuntut ilmu ke rantau.

“Ketika ia bersama dua orang sahabatnya sudah bertekad untuk merantau, tiba-tiba ibunya sakit. Meskipun terasa berat, ia membatalkan rencana perjalanan itu. Sebab ibunya seorang diri. Setelah beberapa waktu, ketika ia sedang berziarah kubur; al-Trimidzî teringat kepada dua orang sahabatnya yang sudah pergi menuntut ilmu. Sambil menangis, ia menyesali dirinya yang tetap bodoh; padahal dua orang sahabatnya telah mendapat ilmu. Saat itu ia kaget, tiba-tiba melihat seorang yang berwajah cerah di hadapannya. Lelaki itu bertanya, mengapa ia menangis. Setelah mengetahui persoalannya, ia berjanji akan datang kepada al-Tirmidzî untuk mengajari ilmu setiap hari. Pengajaran ini berlangsung bertahun-tahun. Akhirnya, al-Tirmidzî mengetahui bahwa lelaki itu Nabi Khidir. Menurut al-’Attâr, ia berhasil mendapatkan pengajaran rahasia ini berkat doa ibunya tercinta.”

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar