Oleh : DR. Asep Usman Ismail, MA
Periode peralihan ini merupakan priode yang menentukan dalam perjalanan hidup al-Tirmidzî. Kegiatan ilmiah dan proses belajar mengajar yang dijalaninya selama ini tidak memberikan kepuasan batin pada diri al-Tirmidzî. Kepuasan dan ketenangan batin baru dirasakannya ketika ia berada di Mekah. Ia merasakan pengalaman spiritual ketika berhadap-hadapan dengan Ka’bah, di dekat Multazam. Pengalaman spiritual ini merupakan langkah awal al-Tirmidzî dalam memasuki kehidupan sufistik.
‘Abd al-Fattâh ‘Abd Allâh Barakah, menyebutnya sebagai proses transformasi total dalam perjalanan hidup al-Tirmidzî. Ia mengalami peralihan dari orientasi keagamaan yang bersifat eksoterik (yang bersifat lahiri) semata-mata kepada orientasi keagamaan yang bersifat esoteris (yang bersifat batini) sehingga keduanya menyatu secara simponi pada diri al-Hakîm al-Tirmidzî.
Pengalaman spiritual yang dialami al-Tirmidzî selama berada di Tanah Suci adalah merasakan terbukanya pintu doa ketika setiap malam ia bermunajat di depan Multazam. Dalam bermunajat al-Tirmidzî memohon kepada Allah agar dijadikan orang yang saleh dan zuhud di dunia serta mendapat limpahan karunia-Nya untuk menghapal, memahami, dan mengamalkan Al-Qur`ân. Pada saat itu ia merasakan kemantapan tobat di dalam hatinya. Sejak itu al-Hakîm al-Tirmidzî berhasil mengokohkan kakinya pada maqâm tobat, salah satu maqâmât, yakni posisi atau kedudukan seorang hamba di hadapan Allah yang merupakan anak tangga pertama dalam kehidupan spiritual kaum Sufi.
Setelah kembali dari perjalanan haji, al-Hakîm al-Tirmidzî merasakan manisnya membaca Al-Qur`ân. Sejak itu ia sering membacanya sepanjang malam hingga menjelang subuh. Dalam membaca buku pun, ia mulai memilah-milah. Tidak membaca semua buku kecuali buku-buku yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Tidak menggunakan pendengarannya kecuali untuk menyimak wejangan-wejangan yang dapat membantunya mengingat akhirat. Tidak berguru kecuali kepada seseorang yang dapat membimbingnya kepada jalan ruhaniah dan meningkatkan ketakwaannya kepada Allah. Ia, seperti disebutkan ‘Abd al-Fattâh ‘Abd Allâh Barakah, pada periode peralihan ini mulai meninggalkan orientasi rasionalistik yang kering dan memasuki orientasi ruhaniah yang bening.
Pada masa peralihan dari dunia fikih kepada dunia tasawuf tersebut, maqâm tobat dapat dilewatinya dengan mantap; tetapi pada masa itu al-Hakîm al-Tirmidzî sibuk mencari guru yang dapat membimbingnya kepada jalan ruhaniah sehingga mengalami goncangan batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazâlî (w.505H./1111M).
Dalam otobiografinya al-Hakîm al-Tirmidzî menuturkan,
“Aku seperti seorang yang linglung tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Hanya saja aku berusaha mengatasi suasana batin yang tidak menentu itu dengan puasa dan salat. Aku lakukan puasa dan salat itu secara terus-menerus sehingga dalam telingaku terdengar ucapan seorang ahli ma‘rifah yang mengingatkanku agar mempelajari kitab Ulûm al-Muâ‘malât karya Syaikh Ahmad ibn ‘Âsim al-Antâkî.
Maka aku pun memperhatikan pesan ahli ma‘rifah itu untuk menelaah kitab tasawuf al-Antâkî. Lalu, aku mendapat petunjuk untuk melakukan riyâdat al-nafs (pelatihan jiwa) dan aku pun langsung melakukannya. Lalu, Allah menolongku mengatasi suasana batin yang tidak menentu itu dengan melakukan pelatihan jiwa”.
Al-Hakîm al-Tirmidzî kemudian berulang-ulang menelaah buku karya Sufi terkenal itu dengan seksama dan mengamalkannya dengan penuh kesungguhan. Ia akhirnya merasakan indahnya wusûl (sampai) kepada Allah, yakni menjalin hubungan langsung dengan Allah dengan senantiasa merasakan kehadiran dan kedekatan-Nya.
Dalam mencapai wusûl kepada Allah, al-Hakîm al-Tirmidzî memandang bahwa seorang murîd (orang yang menginginkan dekat dengan Allah) tidak perlu mencari seorang mursyid (guru pembimbing ruhani) yang menuntun dan membukakan mata hatinya untuk mengenal Allah. Menurutnya, al-riyâdah (pelatihan) dan al-mujâhadah (perjuangan melawan dorongan nafsu) merupakan cara yang tepat untuk merasakan wusûl kepada Allah. Ketergantungan seorang sâlik (orang yang menempuh perjalanan ruhani menuju Allah) kepada mursyid adakalanya membawa kepada kesia-sian.
Pandangan al-Hakîm al-Tirmidzî tersebut dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadinya yang merasakan wusûl kepada Allah tanpa bimbingan seorang mursyid secara langsung. Ia memilih metode riyâdah dan mujâhadah secara konsisten dengan mengikuti petunjuk dari kitab Ulûm al-Muâ‘malât karya Ahmad ibn ‘Âsim al-Antâkî, salah seorang guru tasawuf yang berpengaruh dalam perjalanan hidup al-Hakîm al-Tirmidzî. Dengan metode riyâdah dan mujâhadah ini, al-Hakîm al-Tirmidzî mengembangkan hubungan personal dengan Tuhan melalui pelatihan dan perjuangan individual dengan disiplin diri yang tinggi.
Al-Hakîm al-Tirmidzî termasuk Sufi yang menganggap bahwa kehadiran seorang mursyid dalam mencapai wusûl kepada Allah tidak begitu penting. Oleh sebab itu, ia pun tidak memandang dirinya sebagai mursyid. Ia tidak memberikan bimbingan langsung kepada murid-murid sebagaimana yang lazim dilakukan para mursyid. Akibatnya, ia hanya mempunyai sedikit murid yang meriwayatkan dan menyebarluaskan pemikirannya secara langsung. Ia mengembangkan bimbingan ruhaniah sebagaimana yang dirintis oleh gurunya, Ahmad ibn ‘Âsim al-Antâkî, yakni dengan menulis buku maupun makalah untuk menyebarluaskan pengalaman ketasawufannya, sehingga ajarannya bisa ditelaah dan diikuti oleh para pencari jalan kearifan sepanjang zaman.
Dengan bekal kedisiplinan yang tinggi pada riyâdat al-nafs, al-Hakîm al-Tirmidzî mulai mengetahui rahasia kalbunya sedikit demi sedikit. Pada saat itu dalam dirinya tumbuh kegemaran untuk berkhalwat (menyendiri), baik di dalam rumah maupun di tengah alam terbuka. Ia pun mempunyai kebiasaan mengelilingi hutan atau tempat sepi di dekat kuburan.
Ketika suatu malam sedang asyik menikmati keheningan khalwat, al-Hakîm al-Tirmidzî merasakan suatu pengalaman spiritual yang menakjubkan, yakni mimpi berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Ia menuturkan pengalaman spiritual itu dalam otobiografinya sebagai yang berikut: “Sewaktu aku dalam keadaan berkhalwat, aku mimpi berjumpa dengan Rasulullah saw. Aku melihat beliau memasuki sebuah masjid di desaku dan aku pun mengikutinya. Beliau berjalan menuju sebuah ruangan dan aku pun mengikuti beliau menuju ruangan itu. Setelah terasa dekat dengan beliau, hingga seakan-akan hampir menempel dengan punggung beliau, aku mengikuti langkah-langkah beliau ke mana saja beliau melangkah, sehingga aku memasuki sebuah ruangan tempat beliau berada. Lalu, beliau menaiki sebuah tangga dan aku pun mengikutinya. Setiap beliau menaiki satu tangga, aku menaiki satu tangga di bawahnya. Ketika beliau sampai di tangga paling atas, beliau duduk pada puncak tangga itu, sedangkan aku duduk pada tangga kedua dari tempat duduk beliau”.
Al-Hakîm al-Tirmidzî tidak hanya merasakan makna spiritual mimpi berjumpa dengan Rasulullah saw. seperti disebutkan di atas, tetapi juga merasakan kedalaman makna spiritual mimpi yang lain, sebagaimana dituturkannya sebagai berikut: “Tidak lama setelah mimpi yang pertama, ketika pada suatu malam aku sedang salat, terasa berat kepalaku, sehingga aku menempelkan kepalaku di tempat salat, di atas sajadahku. Saat itu aku melihat lapangan luas, yang tidak kuketahui di kawasan mana lapangan itu berada. Aku melihat di lapangan itu sebuah majelis yang megah dan bagian permukaan yang menyangga majelis itu serta sebuah ruangan yang dihiasi kain penutup. Aku tidak dapat melukiskan keindahan kain penutup itu. Sementara itu, seakan-akan dikatakan kepadaku, sesungguhnya Dia memperjalankanmu menuju Tuhanmu. Aku pun memasuki tabir-tabir itu. Tiada seorang dan sesuatu pun yang kulihat di dalamya selain hatiku merasa kaget ketika memasuki tabir tersebut. Aku yakin dalam mimpiku bahwa aku sedang berada di hadapan-Nya.”
Menurut al-Hakîm al-Tirmidzî mimpi itu pada satu sisi telah membawa dirinya dalam kebingungan, namun pada sisi, lain dengan mimpi itu ia menemukan jalan untuk merasakan manisnya kesederhanaan. Ia menjadi senang mengendarai keledai di pasar, berjalan tanpa alas kaki, memakai pakaian yang lusuh, membawa benda-benda yang biasa dibawa oleh hamba sahaya dan orang-orang fakir. Sejak itu al-Hakîm al-Tirmidzî mulai akrab dengan kesederhanaan itu, hingga merasakan manisnya kesederhanaan tersebut. Ia menemukan makna zuhud dalam hidup dan merasakan indahnya hidup dalam zuhud.
Salah satu sumbangan pemikiran penting al-Hakîm al-Tirmidzî tentang kewalian adalah pendapatnya tentang pamungkas kewalian (khatm al-walâyah). Menurutnya, seorang wali yang meraih pamungkas kewalian merupakan wali yang utama yang berada pada puncak tangga kewalian. Posisinya berada satu anak tangga di bawah Nabi Muhammad saw.
Menurutnya, seorang yang menduduki posisi khatm al-walâyah berada pada peringkat yang hampir sama dengan posisi para Nabi, bahkan satu langkah berada di atas posisi para Nabi. Al-Hakîm al-Tirmidzî berpegang kepada pengertian yang tersirat pada hadits ‘Umar ibn al-Khattab yang menyebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah, ada orang yang bukan Nabi dan bukan syuhadâ`; namun, banyak Nabi dan syuhadâ` pada hari kiamat yang ingin seperti mereka, karena derajat mereka di sisi Allah SWT.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah dapatkah engkau memberitahukan kepada kami siapakah mereka? Beliau bersabda: “Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai karena Allah, dengan Rûh Allâh, padahal di antara mereka bukan kerabat, juga bukan karena harta yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka niscaya laksana cahaya, mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak pernah merasa takut, ketika orang-orang dalam ketakutan. Mereka tidak merasa sedih, ketika orang-orang bersedih. Kemudian beliau membacakan ayat yang berikut: “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah tidak ada kekhawatiran pada diri mereka dan mereka tidak bersedih.” (H.R. Abû Dâwud)
Al-Hakîm al-Tirmidzî pun berpegang pada prinsip bahwa Nabi Muhammad saw. adalah penutup para Nabi (khâtam al-anbiyâ`). Dengan wafatnya Nabi Muhammad saw. kenabian berakhir. Para sahabat Nabi Muhammad saw. adalah umat beriman yang terbaik, tetapi tidak sekaligus wali yang terbaik. Al-Hakîm al-Tirmidzî menggunakan kualitas amal untuk mengukur umat yang terbaik, dan menggunakan kualitas kesucian hati untuk menilai wali yang terbaik. Para sahabat Nabi, menurutnya, memiliki kualitas amal sehingga mereka menjadi umat terbaik; namun, tidak semua mereka memiliki kualitas kesucian hati sehingga tidak otomatis menjadi wali yang terbaik.
Dengan menggunakan kualitas amal untuk mengukur umat yang terbaik, dan menggunakan kualitas kesucian hati untuk mengukur wali yang terbaik, al-Hakîm al-Tirmidzî memandang tertutup peluang bagi kaum beriman generasi akhir zaman untuk meraih kehormatan sebagai umat yang terbaik; namun, masih terbuka peluang untuk meraih kehormatan sebagai wali yang terbaik. Dengan perkataan lain, bagi seluruh umat Nabi Muhammad saw., baik yang hidup pada periode awal maupun yang hidup di akhir zaman terbuka peluang untuk meraih kehormatan sebagai wali yang terbaik; yakni mendapatkan kehormatan menjadi pamungkas para wali (khâtim al-awliyâ`) dan sekaligus menjadi wali yang paling utama.
Pandangan al-Hakîm al-Tirmidzî bahwa seorang wali yang menduduki posisi khatm al-walâyah berada pada peringkat yang hampir sama dengan posisi para Nabi, bahkan satu langkah berada di atasnya, telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama. Pendapat ini telah memicu perbedaan persepsi dan kesalahpahaman para ulama di Tirmidz. Mereka mengkafirkan al-Hakîm al-Tirmidzî dan mengusirnya dari Tirmidz. Ia terpaksa pindah ke Balkh. Para ulama di kota ini dapat menerima pandangan al-Tirmidzî tersebut. Mereka dengan hangat menyambut kedatangan al-Hakîm al-Tirmidzî di Balkh.
Di Balkh al-Tirmidzî merasakan ketenangan. Ia hidup sebagai seorang Sufi. Murid-murid dan pengikutnya menyebut pandangan ketasawufan al-Tirmidzî dengan nama al-Hakîmiyyah. Ia pun bergaul dengan sesama Sufi di kota itu, seperti Ahmad ibn Hadrawayh (w.240 H/854 M), Abû Turâb al-Nakhsyabî (w.245 H/859 M), Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn al-Fadal al-Balkhi (w. 319 H/934M), dan Abû ‘Utsmân Sa‘îd bin Ismâ‘îl al-Hîrî al-Nîsâbûrî (w.298 H) Di antara mereka sering mengadakan pertemuan untuk saling bertukar pengalaman atau saling berkorespondensi.
Al-Hakîm al-Tirmidzî sebagai seorang ulama tidak dapat menghindarkan diri dari dinamika pergumulan aliran-aliran keagamaan dan berbagai disiplin ilmu keislaman yang berkembang pada masa hidupnya. Ia terlibat dalam proses interaksi serta terpanggil untuk memberikan respon-intelektual dan menentukan sikap terhadap persoalan sosial keagamaan yang mengitarinya. Di antara aliran keagamaan yang berkembang di Tirmidz, Balkh, dan kawasan Khurâsân pada umumnya adalah aliran Malâmatiyyah. Aliran ini merupakan perkumpulan kaum Sufi yang berusaha mendekatkan diri kepada Allah dengan lebih memperhatikan aspek batiniah mereka. Mereka suka mencela diri sendiri. Mempersoalkan ibadah dan cara mereka mendekatkan diri kepada Allah yang diketahui oleh orang banyak. Mereka tampil kepada publik dengan segala hal yang mengesankan kehinaan untuk menyembunyikan kebaikan-kebaikan mereka. Mereka mengharapkan agar manusia mencela penampilan luar mereka; sementara mereka pun mencela diri mereka sendiri berdasarkan pengetahuan mereka tentang diri mereka.
Terhadap sikap kaum Malâmatiyyah ini penilaian para ulama tasawuf tidak sama. Al-Hujwirî (w. 464 H/1071 M) menilai bahwa jalan pencelaan telah dijalani oleh beberapa tokoh Sufi. Pencelaan mempunyai pengaruh besar dalam menciptakan cinta yang tulus. Tujuannya supaya mereka tidak menyadari kebaikan mereka guna menghindari jatuh ke dalam kebanggaan diri dan kesombongan. Sementara itu, al-Suhrawardî (w.632 H/1236 M), menilai kaum Malâmatiyyah adalah golongan yang menisbahkan diri ke dalam kaum Sufi padahal mereka bukan kaum Sufi. Pencelaan, demikian al-Suhrawardî, dikira oleh mereka sebagai hâl yang mulia dan maqâm yang agung, karena berpegang kepada sunnah dan atsâr (sikap dan perilaku para sahabat Nabi Muhammad saw.) serta merupakan bentuk keikhlasan dan kejujuran; padahal perkiraan itu tidak benar sama sekali.
Al-Hakîm al-Tirmidzî mempunyai hubungan yang dekat dengan kaum Malâmatiyyah. Ia sering berkorespondensi dengan pemuka mereka, seperti Muhammad ibn al-Fadal al-Balkhi dan Abû ‘Utsmân Sa‘îd al-Hîrî al-Nîsâbûrî. Meskipun demikian, al-Hakîm al-Tirmidzî tidak sependapat dengan cara-cara jihâd al-nafs (perjuangan melawan dorongan nafsu) yang dilakukan golongan ini. Al-Hakîm al-Tirmidzî memandang bahwa menyibukkan diri dengan menonjolkan keaiban diri secara total mengakibatkan seseorang berkutat di sekitar penganiayaan diri sendiri dan tidak membuka kesempatan kepada kalbunya untuk menyerap cahaya baru yang melimpah ke dalamnya; sedangkan menyibukkan diri dalam memerbaiki kalbu membawa dampak pada kesucian jiwa dan membebaskannya dari rupa-rupa penyakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar