Kamis, Juni 03, 2010

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB?

Dr. Yusuf Qardhawi (3/6)
Sabda Nabi saw.:

"Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk
kamu surga, yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah
jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"9

"Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan
(berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan melakukan
pandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yang
kedua."10

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah
mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..." (HR
al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)

Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita
harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan
pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika
wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan
dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu
dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah
dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?

4. Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu"

Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah
itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan
istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik
hatimu..." (al-Ahzab: 52)

Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita
kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah
disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?

5. Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat
wanita lantas ia tertarik kepadanya."

Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum
wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai
cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka.

Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah
melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya,
kemudian beliau mendatangi Zainab - istrinya - yang waktu
itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan
hasratnya, dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan
pergi dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang
diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarõk
kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena
yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam
hatinya itu." (HR Muslim)11

Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu
Mas'ud, tetapi istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah
"Saudah," dan beliau bersabda:

"Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik
hatinya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa
yang dimiliki wanita itu ada pula pada istrinya."

Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah
al-Anmari bahwa Nabi saw. bersabda:

"Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah
hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah
seorang istri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah
hendaknya yang kamu lakukan, karena diantara tindakanmu yang
ideal ialah melakukan sesuatu yang halal."12

Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya
hadits ini menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat
seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap
wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang
laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa
melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si
Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan
hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila
salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas
hatinya tertarik kepadanya ..." Maka menunjukkan bahwa hal
ini mudah terjadi dan biasa terjadi.

6. Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan
mengarahkannya."

Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang
kepada Nabi saw. lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya
datang hendak memberikan diri saya kepadamu." Lalu
Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya
dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan
kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw.
tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk.

Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi
saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya
agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya
(memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah).

Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan
pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan
disebutkan bahwa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada
waktu dia datang. Maka sebagian sahabat yang hadir dan
melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. agar
menikahkannya dengan wanita itu.

7. Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas

Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang
wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw.
pada waktu haji wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu
membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan
kelanjutan hadits itu, "Kemudian al-Fadhl melirik wanita
itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah
saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain."

lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus
ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui
(tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan
orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan
pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup
niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu
cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan
benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah
dengan sebanyak-banyaknya."

Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a.
yang di situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah
al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa
engkau putar leher anak pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku
melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak
merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'"

Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."13

Al-Allamah asy-Syaukani berkata:

"Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan
bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi
saw. tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas
tidak memahami bahwa memandang itu boleh, niscaya ia tidak
akan bertanya, dan seandainya apa yang dipahami Abbas itu
tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya."

Selanjutnya beliau berkata:

"Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat
hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya):
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir."
(al-Ahzab: 53).

Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab
kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan
ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada
tahun kelima hijrah,14 (yang berarti ayat ini lebih dulu
turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).

8. Hadits-hadits Lain

Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah
yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah,
dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari
raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah ....
Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita,
lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya
bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah
umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang
baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu
ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:

"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan
(dengan suami)."

Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka,
melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian
Bilal."

Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu
hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id
dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama
Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat,
kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal
untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh
mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat
mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan
(perhiasannya) ke pakaian Bilal."

Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw.
melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan
dan wajah wanita itu bukan aurat."15

Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan
lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir:

"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu
beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau
mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi
saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya
mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,'
dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita
melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita
melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan
wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."16

Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah
cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada
jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka
tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas
dan melemparkan cincin-cincin itu."17

Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah
menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil
menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke
rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat,
sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari
masih gelap."

Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat
dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat
dikenal apabila wajah mereka terbuka.

Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa
Subai'ah binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah,
salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad
meninggal dunia pada waktu haji wada' ketika Subai'ah sedang
hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad itu dia pun
melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti
nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu
datanglah Abus Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya
"Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin
kawin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kawin,
sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan
sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia berkata begitu
kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore harinya,
lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal
itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa
aku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan
kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin apabila sudah ada
calon yang cocok untukku."

Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek
di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan
mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya
setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu
Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak.

Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang
laki-laki dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu
dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melewati suatu
dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang
kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia
berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan
begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda:

"Apabila Allah menghendakõ kebaikan bagi seseorang, maka
disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia
menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya
hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh
pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar."18

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau
terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik
pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur
dinding karena memandangnya dan berdarah mukanya.

9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar

Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa
apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka
hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan
pertanyaan,

Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata,
"Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi
saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan
anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata
kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil
memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah
kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku
..."19

Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka
tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan
"memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para
sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan
anak Anda sambil memakai cadar?"

Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan
malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena
perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu
diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab
dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul
pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu,
karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia
melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah
ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak
perlu ditanyakan 'illat-nya."

4 komentar:

  1. terima kasih, artikel di atas menjawab pertanyaan saya selama ini. Karena saya berpendapat bahwa cadar itu tidak wajib dan akhirnya saya menemukan jawaban dan rujukan agamanya dari artikel di atas.

    BalasHapus
  2. Betul memang TIDAK WAJIB, tapi TIDAK PULA HARAM. Jadi kalau ada yang ingin pakai cadar silakan saja, yang tidak juga silakan, jangan sampai saling hujat. Kalau salah satu fihak (yang pakai atau yang tidak) menghujat, segeralah istighfar dan baca surah al-Humazah. Saur Pangersa Abah mah, ulah moyok pamake batur.

    BalasHapus
  3. satu lagi yang perlu kita ketahui bahwasannya menjadikan kekhawatiran akan munculnya fitnah sebagai ‘illat pengharaman menampakkan wajah dan mewajibkan menutupinya, tidak terdapat nash syar’i yang menyatakannya, baik secara jelas (sharâhatan), melalui penunjukan (dilâlatan), lewat proses penggalian (istinbâthan), maupun melalui analogi (qiyâsan). Karenanya ’illat tersebut bukan merupakan ‘illat syar‘iyyah, akan tetapi merupakan ’illat aqliyah (’illat yang bersumber dari akal). Padahal, ‘illat ‘aqliyyah tidak ada nilainya di dalam hukum syara’. ’Illat yang diakui di dalam hukum syara’ hanyalah ‘illat syar‘iyyah, bukan yang lainnya. Jadi yang menyatakan wajib menutup wajah karena khawatir akan timbulnya fitnah artinya sama dengan telah mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allaw SWT. Jazakallah

    BalasHapus
  4. Sdr. Akbar? saya seorang suami baru menikah kira2 genap 2 thn, dan istri saya mengenakan cadar, padahal sblmnya tdk! saya katakan kpdnya bahwa cadar adalah tdk wajib! bagaimana ini? istri saya tdk patuh terhadap saya, saya ingin bercerai, tapi skrg ia sdg mengandung? saya mohon jawabannya dari rekan2 disini.

    BalasHapus