Selasa, Juni 22, 2010

Masjid Istiqlal Menyambut Para Pecinta Kesucian

Manaqib Syekh Abdul Qadir Al-Jaylani qs kembali digelar untuk ketigakalinya di Masjid Istiqlal. Sabtu pagi itu, 19 Juni 2010, jamaah ikhwan-akhwat TQN Suryalaya telah banyak berdatangan. Lantunan sholawat Bany Hasyim sudah terdengar dari kejauhan, seakan suasana khidmat di Pondok Pesantren Suryalaya beralih ke tengah-tengah hiruk pikuk kesibukan kota metropolitan, Ibukota Indonesia. Kesyahduan menyeruak, membelah dinding-dinding tebal kekakuan nurani masyarakat hedonis metropolis.

Pukul 08.00 wib, dzikir khatam mulai berkumandang. Tampak di jajaran shaf terdepan, penggagas kegiatan manaqib, KH. Abdul Gaos Saefullah Al-Maslul khusyu. Dari kedua bibirnya terlihat gerakan-gerakan halus, tanda sedang melantunkan rangkaian dzikir khatam yang dipimpin Ust. Danial dari civitas academica Institut Agama Islam Lathifah Mubarakiyah (IAILM) Pondok Pesantren Suryalaya. Di sisi kirinya KH. Muhammad Soleh sama khusyu’nya. Kedua Wakil Talqin Pangersa Abah Anom ini hadir dan mengawal suksesnya kegiatan Manaqib di Masjid Istiqlal.

Di shaf-shaf berikutnya, duduk tafakur ribuan jamaah pria dan wanita. Bermakmum dzikir khatam. Tertunduk khusyu. Bibir bergetar melantunkan dzikir, kepala tertunduk menghadapkan wajah ke haribaan robbul izzati. Mengharap rahmat dan berkah dari Allah swt.

Satu jam berselang. Manaqib pun dimulai. Ust. Rosyidi penggerak dzikir di wilayah Jakarta Selatan memimpin acara. Silih berganti petugas-petugas manaqib lainnya maju ke mimbar kehormatan. Al-Qur’an dibacakan oleh KH. Abdul Aziz, yang pernah menjadi duta Indonesia dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat Internasional. Tanbih Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad dibacakan oleh Ust. Danial. Tawassul dipimpin oleh KH. Muhammad Soleh dan Manqobah dibacakan oleh Ust. Drs. Sholeh Masqub.

Sambutan dari Yayasan Serba Bakti Ponpes Suryalaya Korwil Prov. DKI Jakarta diwakili oleh Wakil Sekretaris, Ust. Handri Ramadian. Ketua Korwil DKI Jakarta berhalangan hadir karena masih dalam tugas memberikan pelatihan di luar kota. Dalam sambutannya, beliau mengucapkan terimakasih atas uluran tangan semua pihak dalam menyukseskan kegiatan manaqib. Terutama kepada para donatur yang menjadi soko utama kegiatan ini. Juga para panitia teknis yang berjibaku melayani para jamaah, memandu serta memelihara ketertiban. Terlebih kepada Himpunan Pemuda Suryalaya (HUDAYA) DKI Jakarta yang mengerahkan anggotanya untuk mengumpulkan dana dari Jamaah guna mendukung kegiatan HUT ke 105 Pondok Pesantren Suryalaya.

Korwil DKI Jakarta kembali menegaskan mottonya menjadikan ikhwan-akhwat TQN Jakarta yang Tangguh, Bermartabat dan Modern. Implementasinya dengan terus meningkatkan kualitas intelektual para ikhwan. Guna mendukung tujuan tersebut, maka di-create program-program seperti Pelatihan Manajemen Organisasi, Pelatihan Muballigh, Pelatihan Tasawuf, Pelatihan Internet dan Lomba Dzikir Khatam. Mengingat betapa urgent-nya peningkatan intelektualitas ummat ini, pengurus Korwil mengharapkan dukungan penuh seluruh ikhwan.

Bedah kitab Miftahush Shudur disampaikan oleh Ust. Didin Sholahudin dari Ciamis. Ustadz muda yang masih tercatat sebagai mahasiswa fakultas dakwah IAILM ini, menegaskan kembali agar seluruh ikhwan memiliki kitab Miftahush Shudur sebagai pedoman mengamalkan ajaran-ajaran Waly Mursyid. Di dalam kitab tersebut, Pangersa Abah mengutip hadits Rasulullah SAW mengenai anjuran untuk memperbaharui iman. Iman harus terus menerus diperbaharui dengan memperbanyak kalimat dzikir LAA ILAAHA ILLALLAAH.

Kalimat ini ditalqinkan oleh Rasulullah Muhammad SAW ke dalam diri para sahabat untuk membersihkan jiwa, membeningkan hati dan mengantarkan para sahabat menuju keharibaan Allah SWT. Dan proses talqin itu bersambung terus menerus turun menurun berdasarkan silsilah mu’tabarah dari para sahabat hingga Waly Mursyid zaman sekarang, Pangersa Abah Anom.

Ajengan Gaos kemudian tampil ke mimbar, namun sebelumnya beliau memberikan kesempatan kepada KH. Furqon untuk berkenan memberikan tausiyah kepada para jamaah. KH. Furqon masih terhitung tuan rumah, karena beliau adalah muballigh yang sering mengisi kegiatan ceramah ba’da Shalat Zhuhur di Masjid Istiqlal.

Dalam tausiyahnya, KH. Furqon mengingatkan jamaah keutamaan bulan Rajab. Di dalam bulan Rajab ada perintah shalat lima waktu. Ibadah badan yang paling utama adalah shalat, sedangkan hakikat shalat adalah dzikir kepada Allah. Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa hadir dalam majlis dzikir lebih utama daripada ibadah shalat sunnat sebanyak seribu rakaat, lebih utama daripada merawat seribu jenazah dan lebih utama daripada menjenguk seribu orang yang sakit.

Setelah tausiyah KH. Furqon, Ajengan Gaos tampil ke atas mimbar. Beliau terlebih dulu mengumandangkan doa ulang tahun untuk Pondok Pesantren Suryalaya dan menegaskan bahwa kegiatan Manaqib di Istiqlal ini adalah hadiah untuk HUT ke 105 Pondok Pesantren Suryalaya.

15 abad yang lalu ada seorang laki-laki ingin berjamaah shalat shubuh bersama Rasulullah saw dari jarak 900 km, dia adalah Zayd al-Khayl, Zayd si ahli penunggang kuda. Betapa tidak dari jarak 900 km ia mampu mengejar shalat shubuh bersama Rasulullah saw. Lalu Rasulullah bertanya, “Siapa namamu?” Orang itu menjawab, “Nama saya Zayd Al Khayl”, Sabda Rasululllah saw kemudian, “Mulai hari ini aku ganti namamu dengan Zayd al -Khayr. Karena kamu telah bersusah payah mengejar kebaikan.” Maka berbahagialah umat yang berasal dari jarak yang jauh berusaha hadir di Masjid Istiqlal untuk mengejar kebaikan sebagaimana Zayd al-Khayr.

Ajengan Gaos mengutip hadits Rasulullah SAW, “Barang siapa mengucapkan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH pada akhir ucapannya (akhir hayatnya), (orang itu) telah masuk sorga”. Karena tekstualnya kata “dakhola” merupakan kata kerja lampau (fiil madhi). Dulu, sebelum ke Suryalaya, Ajengan Gaos mengartikan kata “dakhola” dengan “dijamin akan masuk sorga”. Beliau mengakui saat itu masuk kategori berbohong, karena jika mengingat proses wafatnya Rasulullah SAW, pada akhir hayatnya Rasulullah saw tidak mengucapkan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH, melainkan “UMMATII, UMMATII, UMMATII…”

Perhatikan ajaran Waly Mursyd. Dalam setiap pengucapan satu kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH, dianjurkan hanya dalam satu kali tarikan nafas, dan nafas dibuang saat akhir ucapan. Waly Mursyid menganjurkannya untuk dibaca minimal 165 kali setiap bada shalat fardhu. Artinya Waly Mursyid mengajarkan kepada kita untuk membiasakan diri mengakhiri ucapan dengan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAAH. Inilah makna orang yang pasti masuk sorga.

Subhanallah, untaian kalimat-kalimat hikmah begitu deras keluar dari kedua bibir Ajengan Gaos. Betapa banyak mutiara-mutira terpendam yang jarang terungkap, kini tersibak. Bak sinar mentari yang pelan-pelan masuk ke dalam rumah saat pagi menjelang. Cahayanya perlahan menerangi seluruh ruangan, bahkan seluruh alam sekitar. Mudah-mudahan jamaah yang hadir beroleh berkah dan hidayah dari Allah SWT. (han)

Meruya, 21 Juni 2010.


Kamis, Juni 17, 2010

DASAR HUKUM SHALAT RAJAB & NISHFU SYA’BAN


Oleh: Abdul Latif, SE, MA

Sebelum membahas dasar hukum shalat Rajab, penting bagi kita untuk mengetahui dahulu klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan cara perolehannya. Dalam hal ini, Ilmu terbagi dua:

1. Ilmu Hushuli : yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, ilmu pengetahuan itu masuk ke dalam memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau ilmu rasional. Kalau saya boleh ibaratkan ilmu hushuli bagaikan ketika kita ingin memiliki cadangan air, kita membuat kolam lalu kita angkut air sungai untuk dimasukkan ke dalam kolam. Warna maupun bau air kolam kita sangat tergantung warna dan bau air sungai tempat kita mengambil air. Air sungai sangat dipengaruhi lingkungannya. Begitu pula ilmu Hushuli.
Pengetahuan dan sikap seorang murid sangat diperngaruhi gurunya. Ada istilah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tetapi kalau guru kencing berlari?????? Ya,… murid ngencingin guru. He he he… serius amat. Ada juga kita kenal pribahasa “ anda tergantung buku apa yang ada di lemari anda. Ini semua adalah ilmu Hushuli. Semua ilmu yang kita ketahui adalah ilmu hushuli kecuali ilmu jenis kedua yaitu

2. Ilmu Laduni atau ilmu Hudhuri (yang dihadirkan oleh Allah). Secara bahasa ladun adalah “sisi” sedangkan huruf ya’ mutakallim wahdah (wah jadi nggak enak nih pake istilah Nahwu Sharaf) yang terletak setelah kata “ladun” artinya “Aku”. Maksudnya ilmu Laduni adalah ilmu yang langsung berasal dari sisi Ku (Allah). Kalau diibaratkan ilmu Laduni bagaikan kita mengebor tanah. Terus menerus sehingga ketika sudah mencapai air bersih, maka muncullah air bersih yang segar dan tidak terkontaminasi warna dan bau lainnya. Inilah ilmu laduni yang langsung dari Allah, ilmu murni, suci dan tidak terpengaruh oleh apapun. Cara memperolehnya juga bukan dengan kuliah sampai S4 atau membaca ribuan buku, namun dengan terus berdzikir secara mendalam dalam waktu yang relatif lama sehingga terbukalah hijab spiritual (kasyaf). Ilmu in ihanya dimiliki seorang Waliyullah.

Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. Beberapa sufi berkomentar tentang ilmu laduni, antara lain:

1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)

2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)

3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza.

LANDASAN SHALAT RAJAB, NISFU SYA'BAN

Di bawah ini saya jelaskan beberapa alasan shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dan yang sejenis, antara lain:

1. (alasan pertama) Perbedaan penggunaan jenis ilmu. Ulama hadits yang bukan sufi, dengan segala hormat atas upaya mereka yang telah memverifikasi hadits, hanya menggunakan ilmu hushuli dalam menelaah validitas sebuah hadits. Tidak heran jika menurut para ahli hadits, hadits-hadits yang menjadi dasar hukum shalat Rajab maupun Nishfu Sya’ban adalah hadits dha’if maupun maudhu’. Namun para sufi selain menggunakan ilmu hushuli dalam mencari kebenaran, mereka juga menggunakan ilmu laduni. Sehingga ada beberapa hadits yang menurut para sufi dha’if sanadan shahih kasyfan (lemah secara sanad, namun shahih secara kasyaf).

Sudah menjadi kebiasaan para sufi untuk berkonsultasi dengan Allah dan RasulNya sebelum melakukan hal yang kecil sekalipun dan meski hanya menyangkut urusan pribadi. Apalagi ritual-ritual yang menyangkut orang banyak mereka tentunya bertanya kepada Allah. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dan Sulthan Awliyaa’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah dua di antara para sufi yang dalam buku susunannya (Ihya’ ‘ulumiddin dan al-Ghunyah lithalibii thariqil haq) mencantumkan ritual-ritual yang ditentang para ahli hadits secara sanad. Beliau berdua adalah sufi yang tidak diragukan lagi kesufiannya dan kedekatannya kepada Allah, dikagumi oleh para ulama dunia termasuk Ibnu Taymiah. Meski demikian mayoritas ahli hadits yang bukan sufi tetap saja tidak bisa menerima konsep shahih kasyfan.

Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan.

Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin. Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfiyan…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat. Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa haditst ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.” Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih. Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.

2. (alasan kedua) Mengukur diri sendiri. Banyak ahli hadits yang menilai para sufi sebagaimana mereka menilai kemampuan diri mereka. Ketika para ahli hadits tidak bisa berkomunikasi dengan Rasul, mereka katakan tidak mungkin seseorang bertemu Rasul setelah beliau wafat. Mereka menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu. Mereka menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfiyan…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup di masa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah s.a.w.

Para sufi menganggap Rasulullah tidak mati tetapi tetap hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Bukankah Allah berfirman “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. 2:154) juga di ayat lain “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. 3:169). Bukankah Rasulullah s.a.w. juga berkomunikasi dengan nabi Musa a.s. saat Mi’raj?

Para ahli hadits di zaman dahulu menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan mengecek kebenaran hadits meskipun harus bepergian ke tempat yang jauh. Para ahli hadits zaman sekarang mungkin lebih ringan karena mengecek hadits cukup dari buku ke buku. Wajar saja jika mereka memiliki data yang akurat seputar perawi hadits. Semoga Allah membalas jerih payah mereka dengan balasan yang berlipat ganda.

Sesungguhunya para sufi juga memliki jerih payah yang tidak kalah meletihkan dalam beribadah. Bayangkan Syekh Abdul Qadir selama 40 tahun tidak tidur malam, dan mencukupkan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Beliau isi setiap malam dengan full beribadah kepada Allah untuk membersihkan qalbunya. Wajar saja kalau qalbunya begitu bersih sehingga dapat menyerap cahaya Ilahi lebih banyak dari yang lain. Dengan qalbunya yang bersih juga ia dapat berkomunikasi dengan para ruh yang suci.

SOLUSI
Salah satu Solusinya perbedaan cara pandang… ahli hadits menerapkan sistem haditsnya sudah betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem seperti ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf. Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.

3. (alasan ketiga) Hukum dasar puasa adalah baik dilakukan, Shalat Mutlaq dapat dilakukan kapan saja.

Ketika Al Hafidh Al Muhaddits Imam Nawawi menjawab masalah puasa di bulan rajab, beliau berkata :
ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه

“Tiada hukum yg menguatkan puasa di bulan rajab, akan tetapi asal muasal hukum puasa adalah hal yg baik dilakukan” (Fathul baari Almasyhur Juz 8 hal.38),

jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi berpendapat semua hal yg baik dan sunnah, jika dilakukan di waktu kapanpun, boleh saja dilakukan pada waktu yang dipilih.

Kita tahu bahwa di dalam satu tahun ada 5 hari yang diharamkan berpuasa yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, lalu 3 hari setelah Iedul Adha. Mafhum mukhalafahnya (logika terbalik) adalah selain yang 5 hari itu maka dibolehkan berpuasa.

Untuk lebih memperkaya tentang bagaimana luwesnya Islam, saya kutip sebuah riwayat dimana ketika ada Imam masjid Quba yg selalu membaca surat Al Ikhlas setiap ba’da surat fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman-temanmu (yang meminta ia tak membaca surat al-Ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no.741).

SHALAT RAJAB
Sedangkan shalat Rajab adalah jenis shalat MUTLAQ yang dapat dilakukan kapan saja. Jadi yang dimaksud dengan shalat Rajab adalah “shalat mutlaq yang dilakukan pada malam-malam bulan Rajab”. Maka tidak ada larangan melakukannya pada setiap waktu yang dibolehkan shalat.

Jangan sampai kita mengharamkan sesuatu yang halal. Allah berfirman: ”Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu (QS. At-Tahrim 66:1)

Adapun surat-surat yang dibaca dalam shalat mutlaq bulan Rajab tersebut silakan dibaca surat apa saja selama yang dibaca adalah al-Qur’an. Begitu pula yang dilakukan oleh imam masjid Quba.

Apalagi para waliyullah sudah mencontohkan dengan membaca surat-surat tertentu. kita tidak perlu lagi mencari-cari surat yang dibaca.

Ditambah lagi ada haditsnya tentang surat yang dibaca meskipun haditsnya dha'if atau maudhu', tanpa adanya hadits pun seseorang boleh saja membaca surat-surat tertentu.

Di bawah ini saya cantumkan hadits yang menunjukkan begitu luwesnya shalat mutlaq, dimana Bilal menciptakan shalat (mutlaq) syukrul wudhu
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال عند صلاة الفجر" يا بلال حدثني بأرجي عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دفَّ نعليك بين يدي في الجنة قال ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي ".
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada Bilal : "Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnyalah aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di sorga" Bilal menjawab: "saya tidak beramal dengan sesuatu amal apapun. Yang lebih saya harapkan pahalanya, kecuali saya mengerjakan shalat setelah aku bersuci (berwudlu) baik di waktu siang atau malam sesuai dengan yang telah ditentukan buatku untuk melakukan shalat. (HR. Bukhari dan Muslim )

4. Bulan Rajab adalah Bulan Haram

Bulan-bulan haram itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan-bulan tersebut. Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214)

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207)


Di bawah ini adalah salah satu contoh hadits yang diperdebatkan oleh para ahli hadits dan sufi
عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: "ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى".. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: "والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار. (إحياء علوم الدين ، للغزالي)

Dari Anas dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Tiada seorangpun yang berpuasa pada hari Kamis (kamis pertama bulan Rajab) kemudian shalat antara Maghrib dan Isya yaitu malam Jum’at 12 rakaat, dibaca pada setiap rakaat al-Fatihah satu kali, dan al-Qadr 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dipisahkan antara setiap 2 rakaat dengan 1 salam. Kemudian setelah shalat selesai bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian membaca pada sujudnya 70 kali
سبوح قدوس رب الملائكة والروح,
kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan 70 kali
رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم,
Kemudian sujud yang kedua dan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan pada sujud pertama. Kemudian memohon kepada Allah agar dikabulkan hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan. Rasulullah s.a.w. melanjutkan, dan demi yang jiwaku berada di tanganNYa (Allah) tiada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan menjalankan shalat ini kecuali Allah mengampuni seluruh dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan, dan sebanyak pasir, dan sebesar gunung, dan sebanyak dedaunan di pepohonan, dan ia akan memberi syafaat kepada 700 keluarganya yang masuk neraka”. (Ihya’ Ulumiddin)

Wallahu a'lam bishshawwab.

Semoga bermanfaat.

Kamis, Juni 03, 2010

APAKAH MEMAKAI CADAR ITU WAJIB?

Dr. Yusuf Qardhawi (3/6)
Sabda Nabi saw.:

"Jaminlah untukku enam perkara, niscaya aku menjamin untuk
kamu surga, yaitu jujurlah bila kamu berbicara, tunaikanlah
jika kamu diamanati, dan tahanlah pandanganmu ...?"9

"Janganlah engkau ikuti pandangan (pertama) dengan pandangan
(berikutnya), karena engkau hanya diperbolehkan melakukan
pandangan pertama itu dan tidak diperbolehkan pandangan yang
kedua."10

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kamu yang telah
mampu kawin, maka kawinlah, karena kawin itu lebih dapat
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan..." (HR
al-Jama'ah dari Ibnu Mas'ud)

Kalau seluruh wajah itu harus tertutup dan semua wanita
harus memakai cadar, maka apakah arti anjuran untuk menahan
pandangan? Dan apakah yang dapat dilihat oleh mata jika
wajah itu tidak terbuka yang memungkinkan menarik minat dan
dapat menimbulkan fitnah? Dan apa artinya bahwa kawin itu
dapat lebih menundukkan pandangan jika mata tidak pernah
dapat melihat sesuatu pun dari tubuh wanita?

4. Ayat "meskipun kecantikannya menarik hatimu"

Hal ini diperkuat lagi oleh firman Allah:

"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah
itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan
istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik
hatimu..." (al-Ahzab: 52)

Maka dari manakah laki-laki akan tertarik kecantikan wanita
kalau tidak ada kemungkinan melihat wajah yang sudah
disepakati merupakan pusat kecantikan wanita?

5. Hadits: "Apabila salah seorang di antara kamu melihat
wanita lantas ia tertarik kepadanya."

Nash-nash dan fakta-fakta menunjukkan bahwa umumnya kaum
wanita pada zaman Nabi saw. jarang sekali yang memakai
cadar, bahkan wajah mereka biasa terbuka.

Diantaranya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Muslim, dan Abu Daud dari Jabir bahwa Nabi saw. pernah
melihat seorang wanita lalu beliau tertarik kepadanya,
kemudian beliau mendatangi Zainab - istrinya - yang waktu
itu sedang menyamak kulit, kemudian beliau melepaskan
hasratnya, dan beliau bersabda:

"Sesungguhnya wanita itu datang dalam gambaran setan dan
pergi dalam gambaran setan. Maka apabila salah seorang
diantara kamu melihat seorang wanita lantas ia tertarõk
kepadanya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena
yang demikian itu dapat menghalangkan hasrat yang ada dalam
hatinya itu." (HR Muslim)11

Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Darimi dari ibnu
Mas'ud, tetapi istri Nabi saw. yang disebutkan di situ ialah
"Saudah," dan beliau bersabda:

"Siapa saja yang melihat seorang wanita yang menarik
hatinya, maka hendaklah ia mendatangi istrinya, karena apa
yang dimiliki wanita itu ada pula pada istrinya."

Imam Ahmad meriwayatkan kisah itu dari hadits Abi Kabsyah
al-Anmari bahwa Nabi saw. bersabda:

"Seorang wanita (si Fulanah) melewati saya, maka timbullah
hasrat hatiku terhadap wanita itu, lalu saya datangi salah
seorang istri saya, kemudian saya campuri dia. Demikianlah
hendaknya yang kamu lakukan, karena diantara tindakanmu yang
ideal ialah melakukan sesuatu yang halal."12

Peristiwa yang menjadi sebab atau latar belakang timbulnya
hadits ini menunjukkan bahwa Rasul yang mulia melihat
seorang wanita tertentu, lantas timbul hasratnya terhadap
wanita itu, sebagaimana layaknya manusia dan seorang
laki-laki. Tentu saja, hal ini tidak mungkin terjadi tanpa
melihat wajahnya, sehingga dapat dikenal si Fulanah atau si
Anu. Dalam hal ini, pandangannya itulah yang menimbulkan
hasratnya selaku manusia, sebagaimana sabda beliau: "Apabila
salah seorang diantara kamu melihat seorang wanita lantas
hatinya tertarik kepadanya ..." Maka menunjukkan bahwa hal
ini mudah terjadi dan biasa terjadi.

6. Hadits: "Lalu beliau menaikkan pandangannya dan
mengarahkannya."

Diantaranya lagi ialah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad bahwa seorang wanita datang
kepada Nabi saw. lalu ia berkata, "Wahai Rasulullah, saya
datang hendak memberikan diri saya kepadamu." Lalu
Rasulullah saw. melihatnya, lantas menaikkan pandangannya
dan mengarahkannya terhadapnya, kemudian menundukkan
kepalanya. Ketika wanita itu tahu bahwa Rasulullah saw.
tidak berminat kepadanya, maka ia pun duduk.

Seandainya wanita itu tidak terbuka wajahnya, niscaya Nabi
saw. tidak mungkin dapat melihat kepadanya, dan memandangnya
agak lama, dengan menaikkan dan mengarahkan pandangannya
(memandang ke atas dan ke bawah, dari atas sampai bawah).

Wanita itu berbuat demikian bukanlah untuk keperluan
pinangan. Kemudian dia menutup wajahnya setelah itu, bahkan
disebutkan bahwa dia lantas duduk dalam kondisi seperti pada
waktu dia datang. Maka sebagian sahabat yang hadir dan
melihat wanita tersebut meminta kepada Rasulullah saw. agar
menikahkannya dengan wanita itu.

7. Hadits al-Khats'amiyah dan al-Fadhl bin Abbas

Imam Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa seorang
wanita dari Khats'am meminta fatwa kepada Rasulullah saw.
pada waktu haji wada' dan al-Fadhl bin Abbas pada waktu itu
membonceng Rasulullah saw. Kemudian Imam Nasa'i menyebutkan
kelanjutan hadits itu, "Kemudian al-Fadhl melirik wanita
itu, dan ternyata dia seorang wanita yang cantik. Rasulullah
saw. lantas memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain."

lbnu Hazm berkata, "Andaikata wajah itu aurat yang harus
ditutup, sudah barang tentu Rasulullah saw. tidak mengakui
(tidak membenarkan) wanita itu membuka wajahnya di hadapan
orang banyak, dan sudah pasti beliau menyuruhnya melabuhkan
pakaiannya dari atas. Dan seandainya wajahnya tertutup
niscaya putra Abbas itu tidak akan tahu apakah wanita itu
cantik atau jelek. Dengan demikian, secara meyakinkan
benarlah apa yang kami katakan. Segala puji kepunyaan Allah
dengan sebanyak-banyaknya."

Imam Tirmidzi meriwayatkan cerita ini dari hadits Ali r.a.
yang di situ disebutkan: "Dan Nabi saw. memalingkan wajah
al-Fadhl. Lalu al-Abbas bertanya, 'Wahai Rasulullah, mengapa
engkau putar leher anak pamanmu?' beliau menjawab, 'Aku
melihat seorang pemuda dan seorang pemudi, dan aku tidak
merasa aman terhadap gangguan setan kepada mereka.'"

Tirmidzi berkata, "Hadits (di atas) hasan sahih."13

Al-Allamah asy-Syaukani berkata:

"Dari hadits ini Ibnu Qudamah mengistimbath hukum akan
bolehnya melihat wanita ketika aman dari fitnah, karena Nabi
saw. tidak menyuruhnya menutup wajah. Seandainya al-Abbas
tidak memahami bahwa memandang itu boleh, niscaya ia tidak
akan bertanya, dan seandainya apa yang dipahami Abbas itu
tidak boleh niscaya Nabi saw. tidak akan mengakuinya."

Selanjutnya beliau berkata:

"Hadits ini dapat dijadikan dalil untuk mengkhususkan ayat
hijab yang disebutkan sebelumnya, yakni (yang artinya):
"Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka
(istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir."
(al-Ahzab: 53).

Ayat tersebut khusus mengenai istri-istri Nabi saw., sebab
kisah al-Fadhl itu terjadi pada waktu haji wada', sedangkan
ayat hijab itu turun pada waktu pernikahan Zainab, pada
tahun kelima hijrah,14 (yang berarti ayat ini lebih dulu
turun daripada peristiwa al-Fadhl itu; penj.).

8. Hadits-hadits Lain

Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan hal ini ialah
yang diriwayatkan dalam ash-Shahih dari Jabir bin Abdullah,
dia berkata: Saya hadir bersama Rasulullah saw. pada hari
raya (Id), lalu beliau memulai shalat sebelum khutbah ....
Kemudian beliau berjalan hingga tiba di tempat kaum wanita,
lantas beliau menasihati dan mengingatkan mereka seraya
bersabda: "Bersedekahlah kamu karena kebanyakan kamu adalah
umpan neraka Jahanam." Lalu berdirilah seorang wanita yang
baik yang kedua pipinya berwarna hitam kemerah-merahan, lalu
ia bertanya, "Mengapa, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab:

"Karena kamu banyak mengeluh dan mengkufuri pergaulan
(dengan suami)."

Jabir berkata, "Lalu mereka menyedekahkan perhiasan mereka,
melemparkan anting-anting dan cincin mereka ke pakaian
Bilal."

Maka, dari manakah Jabir mengetahui bahwa pipi wanita itu
hitam kemerah-merahan kalau wajahnya tertutup dengan cadar?

Selain itu, Imam Bukhari juga meriwayatkan kisah shalat Id
dari Ibnu Abbas, bahwa dia menghadiri shalat Id bersama
Rasulullah saw., dan beliau berkhutbah sesudah shalat,
kemudian beliau datang kepada kaum wanita bersama Bilal
untuk menasihati dan mengingatkan mereka serta menyuruh
mereka bersedekah. Ibnu Abbas berkata, "Maka saya lihat
mereka mengulurkan tangan mereka ke bawah dan melemparkan
(perhiasannya) ke pakaian Bilal."

Ibnu Hazm berkata, "Ibnu Abbas di sisi Rasulullah saw.
melihat tangan wanita-wanita itu. Maka benarlah bahwa tangan
dan wajah wanita itu bukan aurat."15

Hadits itu juga diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Daud dan
lafal ini adalah lafal Abu Daud dari Jabir:

"Bahwa Nabi saw. berdiri pada hari raya Idul Fitri, lalu
beliau melakukan shalat sebelum kbutbah, kemudian beliau
mengkhutbahi orang banyak. Setelah selesai kbutbah, Nabi
saw. turun, lalu beliau mendatangi kaum wanita seraya
mengingatkan mereka, sambil bertelekan pada tangan Bilal,'
dan Bilal membentangkan pakaiannya tempat kaum wanita
melemparkan sedekah." Jabir berkata "Seorang wanita
melemparkan cincinnya yang besar dan tidak bermata, dan
wanita-wanita lain pun melemparkann sedekahnya."16

Abu Muhammad bin Hazm berkata, "Al-Fatakh ialah
cincin-cincin besar yang biasa dipakai oleh kaum wanita pada
jari-jari mereka seandainya mereka tidak membuka
tangan-tangan mereka maka tidak mungkin mereka dapat melepas
dan melemparkan cincin-cincin itu."17

Diantaranya lagi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dari Aisyah r.a., ia berkata, "Wanita-wanita mukminah
menghadiri shalat subuh bersama Nabi saw. sambil
menyelimutkan selimut mereka. Kemudian mereka pulang ke
rumah masing-masing setelah selesai menunaikan shalat,
sedangkan mereka tidak dikenal (satu per satu) karena hari
masih gelap."

Mafhum riwayat ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu dapat
dikenal jika hari tidak gelap, dan mereka itu hanya dapat
dikenal apabila wajah mereka terbuka.

Diantaranya lagi ialah riwayat Muslim dalam Shahih-nya bahwa
Subai'ah binti al-Harits menjadi istri Sa'ad bin Khaulah,
salah seorang yang turut serta dalam Perang Badar. Sa'ad
meninggal dunia pada waktu haji wada' ketika Subai'ah sedang
hamil. Tidak lama setelah kematian Sa'ad itu dia pun
melahirkan kandungannya. Maka ketika telah berhenti
nifasnya, dia bersolek untuk mencari pinangan, lalu
datanglah Abus Sanabil bin Ba'kuk kepadanya seraya bertanya
"Mengapa aku lihat engkau bersolek, barangkali engkau ingin
kawin? Demi Allah, sesungguhnya engkau belum boleh kawin,
sehingga berlalu atasmu tenggang waktu selama empat bulan
sepuluh hari." Subai'ah berkata, "Setelah dia berkata begitu
kepadaku, maka aku kumpulkan pakaianku pada sore harinya,
lalu aku datang kepada Rasulullah saw. dan aku tanyakan hal
itu kepada beliau, lalu beliau memberi fatwa kepadaku bahwa
aku telah halal untuk kawin lagi setelah aku melahirkan
kandunganku, dan beliau menyuruhku kawin apabila sudah ada
calon yang cocok untukku."

Hadits ini menunjukkan bahwa Subai'ah muncul dengan bersolek
di hadapan Abus Sanabil, padahal Abus Sanabil itu bukan
mahramnya, bahkan ia termasuk salah seorang yang melamarnya
setelah itu. Seandainya wajahnya tidak terbuka, sudah tentu
Abus Sanabil tidak tahu apakah dia bersolek atau tidak.

Dan diriwayatkan dari Ammar bin Yasir r.a. bahwa seorang
laki-laki dilewati oleh seorang wanita dihadapannya, lalu
dia memandangnya dengan tajam, kemudian dia melewati suatu
dinding lantas wajahnya terbentur dinding, lantas dia datang
kepada Rasulullah saw. sedangkan mukanya berdarah, lalu dia
berkata, Wahai Rasulullah, saya telah berbuat begini dan
begini." Lalu Rasulullah saw saw. bersabda:

"Apabila Allah menghendakõ kebaikan bagi seseorang, maka
disegerakannya hukuman dosanya di dunia, dan jika Dia
menghendaki yang lain untuk orang itu, maka ditunda-Nya
hukuman atas dosa-dosanya sehingga dibalasnya secara penuh
pada hari kiamat seakan-akan dia itu himar."18

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita itu menampakkan atau
terbuka wajahnya, dan diantaranya ada yang wajahnya menarik
pandangan laki-laki sehingga yang bersangkutan terbentur
dinding karena memandangnya dan berdarah mukanya.

9. Para Sahabat Memandang Aneh Memakai Cadar

Diperoleh keterangan dalam Sunnah yang menunjukkan bahwa
apabila pada suatu waktu ada wanita yang memakai cadar, maka
hal itu dianggap aneh, menarik perhatian, dan menimbulkan
pertanyaan,

Abu Daud meriwayatkan dari Qais bin Syamas r.a., ia berkata,
"Seorang wanita yang bernama Ummu Khalad datang kepada Nabi
saw. sambil memakai cadar (penutup muka) untuk menanyakan
anaknya yang terbunuh. Lalu sebagian sahabat Nabi berkata
kepadanya, 'Anda datang untuk menanyakan anak Anda sambil
memakai cadar?' Lalu dia menjawab, 'Jika aku telah
kehilangan anakku, maka aku tidak kehilangan perasaan maluku
..."19

Jika cadar itu sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, maka
tidak perlulah si perawi mengatakan bahwa dia datang dengan
"memakai cadar," dan tidak ada artinya pula keheranan para
sahabat dengan mengatakan, "Anda datang untuk menanyakan
anak Anda sambil memakai cadar?"

Bahkan dari jawaban wanita itu menunjukkan bahwa perasaan
malunyalah yang mendorongnya memakai cadar, bukan karena
perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan seandainya cadar itu
diwajibkan oleh syara', maka tidak mungkin ia menjawab
dengan jawaban seperti itu, bahkan tidak mungkin timbul
pertanyaan dari para sahabat dengan pertanyaan seperti itu,
karena seorang muslim tidak akan menanyakan, "Mengapa dia
melakukan shalat? Mengapa dia mengeluarkan zakat?" Dan telah
ditetapkan dalam kaidah, "Apa yang sudah ada dasarnya tidak
perlu ditanyakan 'illat-nya."