Senin, April 27, 2009

Ya Allah... Hamba segera datang kepadaMu

Labbayk... Allahumma Labbayk... Labbayka laa Syariikalaka labbayk... Innal Hamda wanni'mata laka wal Mulk... Laa Syariikalak...

Hmm... gambaran diriku dan istriku mengenakan pakaian ihrom semakin jelas. Ya Allah mudahkanlah hamba dan istri hamba bertamu ke rumahMu yang suci....

Alhamdulillah. Berkah Allah SWT. Berkah Rasulullah SAW. Berkah Guru Mursyid Syekh Ahmad Shahibul Wafa Tajul 'Arifin ra. Insya Allah kerinduan diri untuk berjumpa denganNya di Tanah Haramayn segera terwujud.

Sobat tercinta... Belum lama ini Allah telah memberikan rezeki yang sering Allah sebutkan dalam firman-firmanNya di Kitab Suci Al Qur'an kepada kami sepasang suami istri.

Wallaahu yarzuqu man yasyaa' bighayri hisab (An nur : 38)

Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa perhitungan (manusia)

Allah Maha Benar. Rezeki ini datang tanpa disangka-sangka. Senin, 6 April 2009 ada salah satu jamaah penulis mengirimkan pesan singkat melalui handphone. Saat itu Penulis sedang ada di Lasem Rembang, Jawa Tengah.

"Pa ustadz, Assalamu'alaykum wr.wb. Maaf ya Pak, saya mau tanya apakah pa Ustadz punya niat untuk berangkat haji? Saya dapat amanat dari seseorang yang berniat untuk memberangkatkan haji pa Ustadz. Maka saya memberanikan diri untuk tanya dulu ke pa ustadz. Kalo Pa Ustadz berkenan, maka akan diproses dan semua masalah teknisnya terserah pa Ustadz..."

Demikian bunyi sms itu. Diri ini serasa kejatuhan rembulan. Bukk... ketimpa beban besar tapi ringan sekaligus serasa ada enlighment. Luar biasa. Qalbu ini serasa ingin cepat-cepat berjumpa dengannya.

Memang... entah mengapa. Selepas pelaksanaan musim haji tahun 2008 kemarin kerinduan penulis untuk berjumpa Rasulullah saw, berziarah ke Makkah al Mukarromah dan Madinah Al Munawwaroh semakin menggebu-gebu. Seakan berkata pada diri sendiri, "Aku harus mewujudkan visi ini".

Entah doa yang mana yang membuat keinginan ini dikabulkan Allah SWT. Mungkin dari hasil pengabdian kepada guru Mursyid selama ini melalui jalan dakwah bersama mentor tercinta Al ustadz Al Mukarrom Al Hajj Wahfiudin, atau do'a dari sahabat-sahabat yang sering melakukan perjalanan umrah dan haji akhir-akhir ini. Atau buah dari ujian-ujian yang telah Allah SWT bebankan kepada keluarga kami selama ini. Wallaahu A'lam. Yang jelas Allah SWT untuk kesekian kalinya telah menunjukkan kekuasaanNya kepada kami.

Setelah penulis menjawab sms jamaah tersebut, kembali ia mengirimkan pesannya:
"Alhamdulillah. Kalau begitu mari kita realisasikan niat ini sesegera mungkin. Saya akan sampaikan pada orang tersebut. Dan selanjutnya dana akan ditransfer ke rekening ustadz. Semoga semua berjalan selamat dan lancar ya. Thanks Ustadz"

Begitulah... akhirnya hari-hari penulis disibukkan oleh pengurusan administrasi pemberangkatan ke tanah suci melalui ONH biasa (dananya nggak cukup kalo berangkat pake ONH Plus he...he...he...). Setelah menimbang-nimbang berbagai informasi yang penulis terima, akhirnya kami memutuskan untuk berangkat dari kampung halaman penulis di kabupaten Bogor.

Kenapa di kabupaten Bogor?

Setelah bertanya-tanya kepada orang-orang yang berpengalaman dan ke kantor urusan haji berbagai daerah, Kabupaten Bogor masih relatif lebih singkat waktu waiting listnya. Menurut mereka nomor porsi kami ada pada waiting list di tahun 2011, dibanding DKI Jakarta waiting listnya untuk yang daftar di tahun 2009 ini bisa terdata di tahun 2013. Kebayang kan lamanya....

Penulis mohon do'a kepada para bloggers, semoga perjalanan ini dimudahkan dan diselamatkan oleh Allah SWT serta menjadi haji yang mabrur. Amiin...

Kepada penyandang dana yang mulia Bapak Haji .... bin... dan Ibu Hajjah ... binti... (mereka berdua tidak mau disebutkan namanya dan minta untuk dirahasiakan) terimakasih banyak atas kemurahan hati bapak dan ibu. Semoga amal jariyah ini bermanfaat dan mengalir berkahnya untuk umat. Semoga Allah membalas amal baik bapak dan ibu dengan pahala yang berlipat-lipat dan Allah SWT memasukkan bapak dan ibu dalam jajaran para syahidin dan muqorrobiin.

Rabu, April 22, 2009

Manaqib di Masjidil Haram

Selepas mengikuti pesta demokrasi pada 9 April 2009 yang lalu Ajengan Gaos (KH. A. Gaos Saefullah Al Maslul) beserta tim manaqib dari Pondok Pesantren Suryala di Masjidil Haram berjumlah lebih kurang 60-an orang segera bertolak dari Bandara Soekarno Hatta menuju Jeddah.

Ajengan Gaos dan ikhwan akhwat TQN Suryalaya akan melaksanakan Umroh sejak tanggal 9 April hingga 17 April 2009.

Sepulang dari melaksanakan umroh, Ajengan Gaos dan tim diundang untuk mengisi manaqib SAQ Al Jailani di kediaman Bapak Haji Muhammad Usman di bilangan Pasar Minggu. Di depan para jamaah yang telah lama menanti informasi terbaru darinya, beliau bercerita:

Alhamdulillah, Manaqib tuan Syekh, atas ijin Allah telah diselenggarakan pada pukul 02.00 waktu Arab Saudi di sebuah tempat yang tidak ada orang menginjak tempat itu. Di sebuah tempat yang memiliki angka 37. Ini adalah bukti dari apa yang telah Pangersa Abah katakan sembilan belas tahun yang lalu.

Pangersa Abah pernah berkata, "Aos, Teangan Abah di Mekah dina tempat anu henteu aya jelama anu nincak eta tempat. Abah aya di dinya" (Aos, Cari Abah di tempat yang tiada orang menginjak tempat itu. Abah ada di sana)

Alhamdulillah. Tempat itu akhirnya kami temui. Jika dari tempat Ka'bah berdiri, tempat manaqib itu ada di lantai empat.

Selamat Jalan Iwan Darmawan

Satu lagi, aktivis dzikir TQN PP Suryalaya telah mendahului kita. Beliau dipanggil Allah SWT Senin 20 April 2009 pukul 15.30 WIB. Syariatnya karena sakit gagal ginjal.

Iwan Darmawan yang saya kenal adalah kawan yang sangat supel. Kawan-kawannya banyak. Kami kenal tim nasyid DEBU yang dikomandani Mustofa pun wasilahnya dari beliau.

Terakhir saya sempat sms-an dengan almarhum sekitar Jum'at 17 April 2009 untuk janji bertemu. Tapi beliau berhalangan karena sedang flu berat.

Mudah-mudahan Allah menerima semua amal ibadah almarhum Iwan dan mengampuni semua dosanya. Almarhum dikebumikan di pemakaman Menteng Pulo Jakarta.



Rabu, April 15, 2009

Hakim Al Tirmidzi (2)

Oleh : DR. Asep Usman Ismail, MA

Periode peralihan ini merupakan priode yang menentukan dalam perjalanan hidup al-Tirmidzî. Kegiatan ilmiah dan proses belajar mengajar yang dijalaninya selama ini tidak memberikan kepuasan batin pada diri al-Tirmidzî. Kepuasan dan ketenangan batin baru dirasakannya ketika ia berada di Mekah. Ia merasakan pengalaman spiritual ketika berhadap-hadapan dengan Ka’bah, di dekat Multazam. Pengalaman spiritual ini merupakan langkah awal al-Tirmidzî dalam memasuki kehidupan sufistik.

Keutamaan Memandang Wajah Ulama

Mata yang memandang mempunyai pengaruh kuat dan berdampak signifikan terhadap aktivitas batiniyyah kita. Begitu kuatnya pengaruh itu sehingga mempengaruhi kekhusyu’an seseorang untuk beribadah kepada Allah Ta’ala.

Syekh Thahir bin Saleh Al-Jazairi dalam kitabnya: Jawahirul Kalamiyah menguraikan sebuah permasalahan:

‘Bagaimana mata mempunyai pengaruh, padahal mata itu hanya termasuk bagian badan manusia yang lembut dan tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang dilihat, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari mata itu yang berhubungan dengan sesuatu yang dilihat?’

Maka dijawab bahwa tidak ada yang menghalangi jika sesuatu yang lembut itu mempunyai pengaruh yang kuat, dan tidak diisyaratkan bahwa adanya pengaruh itu harus ada hubungannya, karena sesungguhnya kita lihat sebagian manusia yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan bila melihat kepada seseorang dengan pandangan yang mengandung amarah, kadang-kadang menyebabkan yang dipandang itu ketakutan dan gemetar, malah bisa menyebabkan kematiannya. Padahal pada lahirnya ia tidak memasukkan sesuatu pada yang dilihatnya dan tidak terjadi antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi hubungan ataupun sentuhan.

Kalau magnet mempunyai kekuatan dapat menarik besi padahal tidak ada hubungan antara magnet dan besi yang ditariknya itu dan tidak keluar sesuatu yang dapat menyebabkan menariknya itu. Bahkan benda-benda yang lembut lebih besar pengaruhnya daripada benda-benda yang kasar. Karena sesungguhnya perkara-perkara yang besar adalah timbul dari kuatnya kehendak dan niat, sedangkan kehendak dan niat itu termasuk hal yang tidak tampak. Maka tidak mengherankan kalau mata mempunyai pengaruh terhadap yang dipandangnya sekalipun mata itu sangat lembut, dan tidak ada hubungan atau sesuatu yang keluar dari mata itu.

Kekuatan dan kecepatan pengaruh mata dalam memandang telah disinggung oleh Nabi SAW dalam suatu riwayat  dari Ibnu Abbas Ra.:

“Pandangan mata adalah suatu kebenaran. Jika ada sesuatu yang dapat mendahului taqdir (ketetapan Allah), maka sungguh pandangan mata akan mendahuluinya”. (HR. Muslim).


Karena itulah mata bisa membahayakan, seperti hipnotis, dll. dan Nabi SAW mengajarkan kepada kita suatu do’a:
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap syetan, binatang buas, dan pandangan mata yang membahayakan”.


Sari As-Saqathi Rhm. berkata: “Lidahmu adalah penyambung dari hatimu, dan wajahmu adalah cermin darinya. Pada wajahmu ditemukan apa yang ada di dalam hatimu”.[1]

Ketika anak-anak Ya’qub ingin pergi ke Mesir, menemui Yusuf As. yang ketika itu sudah menjadi Perdana Menteri, Ya’qub As. menasehati mereka: “Hai anak-anakku, janganlah kamu bersama-sama masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan!” (QS. Yusuf[17]: 67)

Qatadah mengatakan bahwa Ya’qub As. mengkhawatirkan mereka dari bahaya pandangan (Al-‘Ain) orang-orang yang melihat mereka karena anak-anak Ya’qub As. tergolong orang-orang yang tampan dan berpenampilan menarik. Demikianlah Al-Quran mengisahkan tentang isyarat kuatnya pengaruh pandangan terhadap sesuatu yang diinginkan, yang dipahami oleh sebagian orang tertentu yang diberikan pengetahuan tentangnya.

Keutamaan pandangan kepada wajah seorang Ulama banyak sekali, di antaranya sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:

“Barang siapa memandang kepada wajah orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Allah menjadikan pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat”. [2]

Imam Al-Hafizh Al-Mundziri meriwayatkan sebuah hadits dari 40 hadits berkenaan dengan keutamaan menuntut ilmu, yakni bersabda Rasulullah SAW:
“Pandangan sekali kepada orang Alim lebih Allah cintai daripada ibadah 60 tahun, berpuasa siang harinya dan berdiri ibadah pada malamnya”.

Kemudian sabda beliau SAW: “Jika tiada Ulama niscaya binasa (celaka)lah umatku”.

Hadits tersebut menunjukkan betapa besarnya keutamaan memandang wajah orang Alim secara lahiriyyah, dikarenakan seseorang yang melakukannya akan mendapat pengaruh kekhusyu’an dan ketenangan hati sehingga mendorongnya kepada Hubbul Akhirah.

Tidak semua Ulama dikategorikan seperti makna hadits di atas, karena kata ‘Ulama’ menggunakan Isim Makrifah (Al-’Ulamaa-u), yang menandakan ketertentuan/kekhususan. Tentunya Ulama yang dimaksud di sini adalah Ulama yang telah mencapai kemakrifatan yang Hakiki, dimana pancaran jiwanya mampu melenyapkan sekat-sekat yang menutupi hati.

Maka Rabithah, yakni memandang wajah Syekh dengan mata hati lebih diutamakan dan memiliki tempat yang khusus di kalangan Ahli-ahli Thariqat, sebagai penyatuan ruhaniyah seorang murid yang dhaif lagi faqir, dengan Syekhnya yang kamil menuju Hadhrat Allah Ta’ala.

Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian ahli dzikir yang dapat menyebabkan orang lain ingat kepada Allah. Yakni dengan memandang wajahnya saja, membuat mereka teringat untuk dzikrullah. Hadits lain menyebutkan bahwa ‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang apabila orang lain memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Allah, jika mendengar ucapannya maka bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya maka tertariklah pada akhirat’.[3]

Atas dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syekh Shufi) terdahulu sangat menganjurkan untuk senantiasa mengenang  wajah Syekhnya sebagai alat untuk mempermudah dzikir (ingat) kepada Allah SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.

Berkata Syekh Mushthafa Al-Bakri Rahimahullaahu Ta’ala:
“Dan di antara apa yang diwajibkan atas seorang murid adalah rabithah hatinya dengan Gurunya dan maknanya bahwa murid senantiasa mengekalkan atas penyaksian akan rupa Syekhnya. Inilah merupakan syarat yang dianjurkan bagi kaum Shufi yang mewariskan kepada maqam makrifat yang tinggi”. (Hidayatus Salikin)
 
(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
 

 

[1] Dr. Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi Pustaka Fajar, (Terj. Del wa Nafs).
[2] Siyarus Salikin, Abd. Shomad Palembani.
[3] Fadhail A’mal (edisi revisi), hal. 154, Maulana M. Zakariyya Al-Kandhalawi Ra.


Rabu, April 01, 2009

Hakim al Tirmidzi

Oleh : DR. Asep Usman Ismail, MA

Al-Hakîm al-Tirmidzî nama lengkapnya adalah Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasan al-Hakîm al-Tirmidzî. Lahir di kota Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah, pada 205 H/820 M dan wafat pada 320 H/935 M. Ia mendapat laqab (nama kehormatan) al-Hakîm al-Tirmidzî dan memiliki kunyah (nama panggilan) Abû ‘Abd Allâh (ayahanda ‘Abd Allâh); sedangkan nama dirinya adalah Muhammad ibn ‘Alî ibn Hasan.