Rabu, Desember 31, 2008

Uang Zakat Jadi Jaket


Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) mendadak mengumpulkan para pengurus ba’da Shalat Isya malam itu. Ketua DKM berencana mengadakan rapat penting. Ada sesuatu yang harus dibicarakan dengan pengurus-pengurus yang lain. Ini ada kaitannya dengan dana zakat masyarakat yang dikumpulkan melalui DKM.

Selama ini dana zakat mal penduduk sekitar masjid dikelola oleh salah seorang pengurus DKM, Gani. Gani adalah sosok pemuda jujur dan rajin di mata seluruh pengurus selama ini. Karena kejujuran dan kerajinannya Gani diberi kepercayaan menerima dan mengelola dana zakat masyarakat. Dan dana zakat itu kini telah memasuki tahun ketiga dikelola oleh Gani.

Dua tahun pertama dana zakat dikelola Gani, semua lancar-lancar saja. Pengurus DKM merasa puas. Pengurus pun semakin percaya kepada Gani. Namun, masuk tahun ketiga Gani mulai kelihatan perilaku anehnya. Gani tidak lagi memberikan laporan rutin setiap bulan kepada ketua DKM. Setiap ditanya, ada saja alasan yang dibuatnya. Ketua DKM mulai curiga.

Selidik punya selidik, ternyata ada sesuatu yang ganjil pada Gani. Akhir-akhir ini Gani tampak berpenampilan perlente. Setiap hari ia kelihatan mengenakan jaket kulit mengkilat berwana hitam. Kemana-mana jaket kulit itu selalu melekat di tubuhnya. Memang dengan tambahan penampilan berupa jaket kulit yang membungkus tubuh atletisnya, Gani terlihat lebih eye catching. Dan Gani menjadi lebih percaya diri.

Tidak hanya jaket, di rumah, Gani banyak menyimpan barang-barang yang tergolong wah. Ada televisi layar datar berukuran 27” dilengkapi satu set soundsystem bermerk. Ruang tamunya dihiasi satu set sofa empuk bernilai diatas sepuluh jutaan. Juga perabotan-perabotan rumah tangga lainnya.

Perubahan prilaku Gani dipicu oleh sikap istrinya. Selama ini kehidupan ekonomi keluarga mereka selalu pas-pasan. Dana zakat yang lumayan besar dan dipercayakan kepada Gani untuk dikelola, mengundang keinginan istrinya untuk sedikit mengecap manisnya uang masyarakat itu. Maka ia mulai merayu-rayu Gani untuk sedikit demi sedikit menyisihkan dana zakat itu. Laporan rutin tetap dilaporkan, tapi nilainya tidak sesuai dengan fakta. Praktek penyelewengan ini mulai dilakukan ketika memasuki tahun kedua.

Ketua DKM sebenarnya sudah lama mendengar perilaku aneh Gani. Namun ia tetap mempercayai Gani, karena Gani selalu rutin memberikan laporan. Tetapi ia tidak bisa berdiam diri, saat di tahun ketiga laporan mulai tersendat. Akhirnya ketua DKM memanggil Gani dan berbicara empat mata.

Setelah diinterogasi, Gani mengaku salah. Tetapi Gani tidak mampu mengembalikan dana zakat yang telah ia gunakan. Semuanya telah berganti menjadi aset keluarga Gani.
Rupanya kejadian inilah yang membuat Ketua DKM memanggil pengurus yang lain untuk rapat mendadak. Kebetulan Gali juga jamaah tetap Masjid yang tidak jauh dari tempat kostnya ini. Kasak-kusuk adanya rapat mendadak itu tidak luput dari perhatian Gali.

Meruya, 17 Desember 2008

Senin, Desember 22, 2008

Keraguan Membawa Hidayah

Ada seorang pendeta yang sangat bijak dan berpengaruh di Bagdad dan memiliki banyak pengikut. Ia memiliki pengetahuan yang luas, tidak hanya mengenai tradisi Yahudi dan Kristen, tetapi juga mengenai Islam. Ia pun mengetahui kitab suci Al Qur’an dan sangat menghargai Rasulullah SAW. Khalifah Bagdad waktu itu menghormatinya dan berharap ia beserta pengikutnya masuk Islam. Sebenarnya, pendeta itu ingin memeluk agama Islam. Hanya saja ia masih meragukan bahwa Mi’raj Rasulullah SAW terjadi berikut raganya.

Akal pendeta itu tak menerima peristiwa Mi’raj dan segala yang disampaikan oleh Rasulullah SAW sepulangnya dari perjalanan itu. Bahkan, sesungguhnya banyak kaum muslimin ketika itu yang tidak mempercayai penjelasan Rasulullah SAW dan menjadi murtad. Peristiwa itu benar-benar menjadi ujian yang sangat berat bagi keimanan kaum muslim karena akal tidak mampu menerima fenomena serupa itu.

Khalifah mengundang para bijak dan para syekh untuk meyakinkan si pendeta, namun tak ada yang mampu. Kemudian pada suatu sore, ia memohon kepada SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. untuk meyakinkan si pendeta mengenai kebenaran Mi’raj Rasulullah SAW

Ketika SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. datang ke istana, si pendeta dan khalifah tengah bermain catur. Saat si pendeta mengangkat sebuah bidak catur, tiba-tiba matanya beradu pandang dengan tatapan Syekh. Si pendeta memejamkan matanya…

Ketika membuka matanya, tiba-tiba ia telah berada di sebuah sungai dan dihanyutkan oleh alirannya yang deras. Ia berteriak minta tolong. Seorang penggembala muda lompat ke sungai menyelamatkannya. Ketika pemuda itu memeluknya ia sadar bahwa ia tidak berpakaian dan dirinya telah berubah menjadi seorang gadis.

Si penggembala menariknya keluar dari sungai serta menanyakan keluarga dan rumahnya. Ketika gadis itu menyebutkan Bagdad, si penggembala mengatakan butuh waktu berbulan-bulan untuk sampai ke sana. Si penggembala menghormati, menjaga dan melindunginya. Namun, karena tak ada tempat yang ditujunya, si penggembala menikahinya. Dari pernikahan itu mereka memiliki tiga orang anak.

Suatu hari, saat si istri mencuci pakaian di sungai yang menghanyutkannya beberapa tahun silam, ia tergelincir dan jatuh ke air. Ketika tersadar dan membuka mata… ia dapati dirinya tengah duduk di hadapan khalifah, memegang bidak catur dan masih bertatapan pandangan dengan SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S., yang berujar kepadanya, “Hai pendeta yang malang, apakah saat ini Kau masih enggan mengakui?”

Si pendeta, yang masih ragu dan menganggap apa yang dialaminya itu hanyalah mimpi, menjawab, “Apa yang kau maksudkan?”

“Apakah kau ingin berjumpa dengan anak dan suamimu?” tanya SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. seraya membuka pintu. Di depan pintu istana telah berdiri si penggembala dengan tiga orang anaknya. Mengalami runtutan kejadian ini, si pendeta langsung menyatakan keimanannya dan mengakui kebenaran Mi’raj Rasulullah SAW. Ia dan jamaahnya yang berjumlah sekitar 5000 orang masuk Islam melalui SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S.

Syekh Tosun Bayrak, Mengenal Sang Sultan Aulia
The Secret of Secrets, Hakikat Segala Rahasia Kehidupan, Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Rabu, Desember 17, 2008

Salim dan Mocin, Merentas Kendala Dakwah

Hari sudah beranjak sore ketika Salim berkemas, mempersiapkan semua perlengkapan untuk berbicara di depan para peserta Pelatihan Muballigh di sebuah pesantren. Panitia pelatihan mengundangnya memaparkan materi tentang pengantar Ilmu Falak Dasar ditinjau dari sudut ilmiah kekinian.

Meski ini pengalaman pertamakali menyampaikan ilmu falak, ia tetap bersemangat menyiapkan segala sesuatunya. Bekal sudah ia dapatkan. Ia banyak menyimak Ustadz pembimbingnya berbicara masalah ini. Juga beberapa referensi yang didapat dari sumber informasi modern, internet. Materi dalam bentuk power point pun sudah ia siapkan. Ia bergumam dalam hati kecil, Ya Allah mudahkanlah urusanku, janganlah Engkau persulit. Ya Allah sempurnakanlah Kebaikan-Mu padaku.

Motor Cina kreditan dari kantor telah siap sedia. Banyak kisah suka dan duka yang ia alami bersama motor kesayangannya ini. Sebuah anugerah istimewa dari Allah yang ia peroleh seusai mengelola program sosial untuk narapidana dan tahanan di sebuah lembaga pemasyarakatan di Tangerang. Walau harus mencicil, mocin ini dianggapnya sebagaimana bouraq Rasulullah SAW ketika melakukan Isra dan Mi’raj. Sebuah kendaraan yang memiliki misi dakwah. Dan memang itulah tugas yang sedang diemban mocinnya. Dengan mocin merahnya ini, Salim telah banyak menyelesaikan tugas dakwah ke berbagai lokasi di Jobodetabek.

Sama seperti hari-hari sebelumnya, mocin yang sudah menemani Salim selama dua tahun lebih ini harus dicek di sana-sini. Maklum kalau mocin sudah ngadat, ongkos perbaikannya nggak tanggung-tanggung, bisa separo harga mocin bekas. Tekanan angin pada ban dicek, rem depan dan belakang demikian, tidak ketinggalan lampu-lampu. Hari ini Salim akan melakukan perjalanan dakwah yang lumayan jauh. Ke wilayah Bogor, tepatnya di Cilengsi.

Setelah semua siap, Salim berangkat. Perlahan ia arahkan mocin ke arah Jalan Raya Bogor, melalui Cawang – Cililitan – Kramat Jati - Cibinong. Ia putuskan untuk menyusuri Jalan Raya Bogor dan berbelok ke arah Citeureup. Karena jalur ini yang sering ia lewati ketika berkunjung ke rumah kakak iparnya di kawasan Citeureup. Dari situ ia akan menyusuri jalan dua arah Citeureup-Cilengsi yang dipenuhi mobil-mobil truk pengangkut bahan dasar semen. Pikirnya, dengan melewati jalur ini maksimal pukul tujuh malam ia sudah tiba di lokasi pelatihan.

Manusia boleh berencana, tetapi Allah SWT Sang Pemilik Takdir. Hujan deras turun membasahi bumi ketika Salim baru sampai Condet. Ia tidak jadi menyusuri Jalan Raya Bogor melalui Kramat Jati karena khawatir terperangkap macet. Setelah beristirahat sebentar di depan sebuah Ruko yang telah ditinggal pulang karyawannya, Salim mengeluarkan jas hujan lalu mengenakannya. Salim kembali melanjutkan perjalanan.

Adzan Maghrib berkumandang ketika Salim sampai di Cibinong. Langit masih menurunkan hujannya ke atas bumi, walau sudah sedikit mengecil. Ia singgah di sebuah pom bensin dekat pintu tol Jagorawi, di Citeureup. Rupanya mocin kesayangannya ini kehausan. Memang, ia juga perlu beristirahat setelah dua jam lebih mematung diri, duduk di atas jok. Salim perlu peregangan otot, sekalian shalat Maghrib mumpung waktunya belum habis.

Usai istirahat, Salim bertanya kepada petugas pom bensin yang kebetulan melaksanakan shalat Maghrib bersamanya, “Permisi Mas, numpang tanya. Kalo ke arah Taman Buah Mekarsari, berapa kilometer lagi, ya? Kira-kira jam berapa sampai sana?”

“E… kurang lebih 35 kilometer lagi, Pak. Ya…, tergantung kecepatan motornya. Kalo lari santai kira-kira satu setengah jam lagi deh dari sekarang,” jawab petugas pom bensin.

Salim kembali melanjutkan perjalanan. Gerimis masih belum reda. Kecepatan motor dipacunya perlahan. Ketika melalui jalan Cituereup-Cileungsi, ia harus ekstra hati-hati. Jalan beraspal menjadi licin karena diguyur hujan, sementara truk-truk pengangkut bahan dasar semen berjalan beriringan membentuk antrian semut. Salim harus cerdik mencari celah jalan untuk menyalip diantara antrian itu. Akhirnya Salim keluar dari perangkap antrian truk setelah melewati perempatan Cibubur-Bekasi-Cilengsi-Citeureup.

Setelah melewati perempatan itu, jalan relatif lebih sepi. Salim lebih leluasa memacu motornya ke kecepatan yang lebih tinggi. Namun ia tetap harus berhati-hati. Kadang ia harus nge-rem mendadak ketika berhadapan dengan perbedaan permukaan aspal. Maklum, ternyata sedang ada pengerjaan perbaikan jalan di jalur tersebut.

Di depan pintu gerbang Taman Buah Mekarsari, Salim menghubungi panitia melalui ponsel. Ia dipandu untuk sampai ke lokasi pelatihan. Salim masih beranggapan bahwa lokasinya pasti berdekatan dengan Taman Buah Mekarsari. Tetapi setelah mendengar panduan dari panitia, urat-urat tubuh Salim melemas. “Masya Allah, masih jauh rupanya,” lirih Salim. Tetapi karena sudah bertekad, Salim membuang jauh-jauh pikiran sempit itu. “Aku harus tiba di lokasi. Peserta sudah menungguku. Masa sudah jauh sampai sini, mau mundur. Jangan menyerah, Salim!” seru hati kecil Salim.

Berdasarkan panduan panita, Salim kembali menyusuri jalan raya. Sesekali Salim berhenti dan bertanya kepada penduduk yang ditemuinya. Sampailah ia di mulut desa tempat lokasi pesantren berada. Setelah bertanya kepada salah satu tukang ojek di dekat sebuah mini market dan ditunjukkan jalan ke arah pesantren yang dimaksud, hati Salim mulai berbunga. “Hmm… Alhamdulillah. Akhirnya sampai juga,” gumamnya.

Tetapi, dalam melaksanakan sebuah kebaikan pasti ada ujiannya. Salim masih menyusuri jalan desa untuk masuk ke pesantren. Sebuah komplek perumahan sederhana yang kelihatannya baru dihuni oleh beberapa pembelinya, ia lewati. Selepas itu jalan menjadi gelap. Tidak ada penerangan. Lampu-lampu jalan desa padam. Ternyata PLN memadamkan aliran listriknya ke desa tersebut karena hujan yang terus turun sejak sore tadi.

Pandangan Salim kabur. Ia hanya mengandalkan penerangan mocinnya yang sudah mulai suram. Marka jalan menuju pesantren tidak bisa dilihatnya. Kini Salim mengandalkan ketajaman feeling. Sepertinya ia telah jauh masuk ke dalam desa. Cepat-cepat Salim mengeluarkan ponsel dan menghubungi panitia. Benar saja, ia tersasar cukup jauh. Kembali Salim dipandu.

Akhirnya Salim menemukan papan penunjuk lokasi pesantren. Ukurannya sangat kecil. Dengan kondisi yang gelap gulita sebagaimana saat itu, wajar saja papan itu tidak terlihat. Hati-hati Salim menyusuri jalan ke arah pesantren. Kondisi jalan tidak lagi beraspal. Tanah yang diguyur hujan sejak sore mengakibatkan becek. Salim harus meningkatkan kewaspadaan melalui jalur yang cocok untuk pembalap motocross.

Semakin ke dalam kondisi jalan semakin parah. Salim tidak berani menggunakan rem belakang. Khawatir ban belakang slip. Ia hanya berakselerasi dengan gigi satu. Kecepatan antara 0-10 km per jam. Di hadapannya jalan becek serasa kubangan lumpur. Salim masih belum tahu dimana lokasi pesantren sesungguhnya.

Tiba di sebuah jembatan kecil yang kondisi jalannya agak lebih baik dibanding yang lain, Salim melemparkan pandangan jauh ke depan. Semua serba gelap. Pandangannya terhenti di sebuah padang yang lapang. Ia tahu bahwa itu lapang karena ada pantulan cahaya dari kejauhan yang menerpa pandangannya. Tidak nampak sebuah kehidupan masyarakat di sana-sini. Kanan-kiri jalan kelihatan hanya ilalang setinggi satu meter. Salim mulai meragu. Jangan-jangan ia tersesat lagi.

Salim memutuskan berputar arah. Ia sempat melihat jalan setapak di kiri jalan yang barusan dilalui. “Mungkin jalan setapak itu yang sesungguhnya jalan menuju pesantren,” serunya lirih. Tiba di jalan itu, keraguan kembali menghampiri Salim. “Ah, kayaknya jalan ini nggak menuju pesantren. Daripada nyasar lagi, ya sudah Aku hubungi panitia lagi, deh.” Beberapa detik kemudian Salim mengeluarkan ponselnya. Ia kabarkan posisi mutakhir. Ternyata, benar. Salim kembali tersesat. Harusnya ia lurus terus di jalan tadi sebelum berputar arah dan harus melewati jalan berbecek yang tidak berujung.

Kemudian Salim kembali ke jalan berbecek. Ia semakin meningkatkan kewaspadaan agar tidak tergelincir. Setelah ia berlalu sejauh 100 meter, barulah ia temui pintu gerbang pesantren. Alhamdulillah. Akhirnya datang juga.

Di lokasi pesantren sinar lampu listrik tidak padam sebagaimana di jalan-jalan tadi. Rupanya komplek pesantren dialiri listrik dari generator. Tidak heran aktivitas pendidikan Islam tidak pernah berhenti. Salim disambut panitia dengan senyum gembira. Mereka pikir, Salim tidak akan sampai ke pesantren mereka. Tetapi, itulah Kuasa Allah. Jika Dia sudah Menghendaki terjadi, ya terjadilah. Salim memandangi motor dan dirinya. Kotor. Di sana-sini bercak-bercak lumpur menempel. Salim meminta ijin untuk membersihkan diri sebelum melakukan presentasi di depan peserta pelatihan.

Meruya, 16 Desember 2008

Selasa, Desember 16, 2008

Ketika Dua Psikolog Berbeda Madzhab Bertemu...

Sabtu Minggu yang Lalu
13 - 14 Desember 2008
Di Ruang 503 Training Center Bank Mandiri,
Jl. Tanah Abang Timur-Jakarta Pusat,
Sebuah Halaqah Psychotherapy terselenggara,
RADIX adalah dalangnya,
Kang ASEP sang Figur Utama,
Seorang Psikolog Forensik dari Cilacap,
Ikut menjadi pengecap,
Nikmatnya menu-menu dari Ciputat.




Kang Asep Haerul Gani
Pengasuh Pondok Pesantren Hyonotherapy - Ciputat
Praktisi HRD di berbagai perusahaan nasional
Dosen tamu di Universitas Indonesia, UIN Jakarta, Universitas Kebangsaan Malaysia dan lain-lain,
Penulis aktif di Portal NLP



Ibu Reni Kusumowardhani (Berbaju putih)
Psikolog Forensik RSUD Cilacap
Anggota HIMPSI Jaya
Pembicara di berbagai seminar Psikologi Forensik






Sedangkan yang lain...
Hanyalah Partisipan...
Yang ingin beradu untung,
Syukur-syukur menjadi therapiest,
Kalo nggak buat orang lain,
ya buat diri sendiri...
Gitu aja kok repot :)











Ada juga peristiwa seru,
Ketika Sang Psikolog Forensik,
Mempertanyakan beragam disiplin dan ilmu psikologi,
Dan Sang Psychotherapiest menjelaskan,
Kemudian terjadi dialog indah,
Bagaikan Syekh Siti Jenar,
dan Sunan Kalijaga Beradu argumentasi,





Sementara yang lain, tinggal bengong-bengong saja,
Ini dua orang pinter,
lagi ngomongin apa ya...
he.. he... he...










Akhirnya,
Sang Psikolog Forensik
Minta diterapi

Senin, Desember 15, 2008

Kematian dan Pandangan Sang Kekasih

SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. memiliki empat orang istri yang semuanya sangat setia dan taat kepadanya. Dari keempat istrinya, Syekh memiliki 49 anak, 27 laki-laki dan 22 perempuan.

Suatu hari, istri-istrinya mendatanginya dan berkata, “Wahai pemilik ahlak yang mulia, anak bungsumu wafat dan kami tak melihatmu menangis atau bersedih. Tidakkah kau menyayangi orang yang menjadi bagian dari dirimu? Kami sangat berduka, tetapi kau tetap sibuk dengan urusanmu seakan-akan tak ada yang terjadi. Kau adalah pemimpin, pembimbing dan harapan kami di dunia maupun di akhirat. Tetapi, jika hatimu sekeras itu, bagaimana kami dapat bersandar kepadamu di hari kiamat dan berharap kau menyelamatkan kami?”

Syekh menjawab, “Wahai sahabat-sahabatku yang tercinta, jangan pernah mengira hatiku keras. Aku mengasihi kaum kafir karena kekafiran mereka. Aku mengasihi anjing yang menggigitku dan berdoa kepada Allah agar ia tidak menggigit orang lain. Aku mengasihinya bukan karena ia menggigitku, tetapi karena jika menggigit orang lain, mereka akan melemparinya dengan batu. Tidakkah kalian tahu bahwa aku mewarisi kasih sayang dari orang yang telah diutus Allah sebagai rahmat bagi semesta alam?”

Para wanita itu berkata, “Engkau kasih bahkan kepada anjing yang menggigitmu, tetapi mengapa engkau tak menunjukkan rasa iba atas anakmu yang telah dipenggal pedang kematian?”

Syekh berkata, “Duh sahabat-sahabatku yang malang, kau menangis karena berpisah dengan anak yang kau cintai. Sedangkan aku takkan pernah berpisah dengan orang yang kucintai. Kau melihat anakmu dalam mimpi duniawi dan kau kehilangan dia dalam mimpi yang lain. Allah berfirman, ‘Dunia adalah mimpi.’ Dunia ini adalah mimpi bagi orang-orang yang tidur. Sementara aku tetap terjaga. Aku lihat anakku ketika ia berada dalam lingkaran waktu. Kini, ia telah keluar dari lingkaran itu. Aku masih melihatnya dan ia tetap bersamaku. Ia sedang bermain di dekatku persis seperti saat-saat sebelumnya. Ketahuilah, jika kau melihat dengan mata batin, baik dalam keadaan hidup maupun mati, kebenaran tidak akan pernah hilang.”

Syekh Tosun Bayrak, Mengenal Sang Sultan Aulia
The Secret of Secrets, Hakikat Segala Rahasia Kehidupan, Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Jumat, Desember 12, 2008

Daging Restan, Kok Dijual?

Jam 03.00 dini hari Pak Parjo, pengusaha warung nasi sederhana di pertigaan jalan masuk menuju kampus Gali sudah terjaga dari tidurnya. Ia bergegas menuju pasar pagi untuk membeli bahan-bahan makanan yang akan dimasak. Rutinitas yang sudah dijalaninya dua tahun belakangan ini.

Di pasar, dengan lincahnya Pak Parjo menyusuri lorong-lorong setapak yang terdapat lapak-lapak pedagang di sisi kanan dan kirinya. Tiba di sebuah lapak penjual sayur mayur Pak Parjo berhenti, sebagaimana biasa ia langsung meminta dibungkuskan sayur mayur yang dibutuhkan. Setelah membayar, ia berpindah ke lapak pedagang daging yang berjarak beberapa puluh meter dari pedagang sayur mayur. Basa-basi ringan segera terlontar dari bibir penjual dan pembeli itu. Suasana akrab memang sudah terjalin antara pak Parjo dan Mas Untung, sang penjual daging.

Di sela-sela kesibukan mengemas daging-daging yang dibeli Pak Parjo, Mas Untung setengah berbisik berkata, “Pak Parjo, ada kawan yang mau menyalurkan daging-daging murah. Dagingnya bagus-bagus, Pak. Harganya bisa miring sampai 50 persen dari harga di sini. Lumayan, kan. Bisa ngirit-ngirit modal. Kalo bapak mau, saya bisa langsung antar ke warung bapak nanti abis shubuh.”

Selintas Pak Parjo sempat terkejut, tetapi ia langsung tersadar. Ia menimpali sambil tersenyum, “Ah, yang bener aja Mas Untung. Mana ada penjual daging yang bisa tekan harga sampai 50 persen.”

“Beneran, Pak Parjo. Stoknya banyak. Siap disalurkan. Memang sih, barang restan. Tapi restan dari restoran hotel-hotel terkenal. Tau sendiri kan kalo restan hotel, kondisinya bagus-bagus.” Mas Untung bernegosiasi. “Kalo bapak mau, sekarang juga saya telepon orangnya”, mas Untung berusaha meyakinkan Pak Parjo sambil mengeluarkan hp Nokia dari saku jinsnya.

Dengan cara-caranya yang lihai, akhirnya mas Untung mampu membuat Pak Parjo setuju membeli barang-barang restan itu, mengingat modalnya semakin menipis jika ia belikan daging-daging segar harga pasar.

Singkat cerita, Pak Parjo berbisnis warung nasi seperti biasa. Hari demi hari pendapatannya semakin bertambah. Ini berkat pasokan daging murah restan restoran hotel. Modal tidak banyak terkuras, tetapi keuntungan berlipat-lipat. Pak Parjo tidak sadar daging-daging yang ia jual, meski sudah dimasak dengan campuran beragam bumbu dan menjadi hidangan yang beraneka tetap saja mengandung resiko penyakit yang laten.

Mahasiswa banyak mampir ke warung nasi Pak Parjo. Selain memang tidak ada saingan, masakan Pak Parjo terkenal enak dan nikmat. Harganya pun sesuai kantong mahasiswa. Tapi akhir-akhir ini mulai banyak keluhan dari orang-orang yang sering makan di warung nasi Pak Parjo. Mereka sering mengeluh sakit perut. Usut punya usut ternyata sumbernya adalah makanan-makanan dari warung nasi Pak Parjo.

Akhirnya mereka melapor ke Polisi. Setelah menerima laporan itu, Polisi melakukan penyelidikan. Ternyata ditemukan bahan-bahan makanan yang sudah kadaluarsa di warung nasi Pak Parjo dalam jumlah banyak. Bahan-bahan itu siap dimasak dengan aneka menu. Pak Parjo pun kemudian digelandang ke sel tahanan Polsek.

Kejadian ini, tidak luput dari perhatian Gali yang naluri jurnalistiknya telah terasah. Gali juga kadang-kadang makan di warung nasi Pak Parjo. Tiba-tiba saja ia merasa mual dan ingin muntah ketika mengingat makanan-makanan pak Parjo. Ia kemudian bertanya-tanya di dalam hati, “ Kenapa, ya. Orang mau melakukan itu? Demi untung yang tidak seberapa ia tega membuat orang menderita. Hmm… akhirnya dia juga ikut menderita. Kalo gitu gue mesti ke Ustadz neh… Buat diskusiin fenomena ini.”

Rabu, Desember 10, 2008

Srikandi TQN Banjarmasin

Tidak lengkap rasanya menikmati kesukesan kegiatan Pelatihan Membentuk Qalbu Ihsani untuk Komunitas Muslim di Banjarmasin tanpa menyebut nama ibu Badi’ah Ma’ruf, S.Ag. Wanita sepuh ini punya peran yang sangat besar dalam semua proses pelatihan. Semenjak persiapan, pelaksanaan hingga purna pelatihan.

Bu Badi’ah adalah istri almarhum Prof. Jurkani Yahya, wakil talkin TQN Ponpes Suryalaya di Kalimantan Selatan. Semangatnya luar biasa besar. Semenjak ditinggal suaminya, Bu Badi’ah otomatis mengurus keluarganya sendirian. Namun, itu semua tidak menjadikannya lemah. Prinsipnya, selama masih ada Allah semua yang tidak mungkin akan menjadi mungkin. Yang paling penting serahkan semuanya kepada Allah.

Bu Badi’ah mewarisi tugas yang sangat penting dari almarhum suaminya, yaitu pembinaan ikhwan TQN di Kalimantan Selatan. Sementara itu pertambahan jumlah ikhwan semakin meningkat. Wakil talkin dari Surabaya, KH. Ali Hanafiah Akbar beberapa kali datang membantu membina ikhwan baru. Tetapi toh, beliau tidak mungkin terus menerus tinggal. Masih banyak daerah lain yang butuh pembinaan dari beliau, terutama di Jawa Timur.

Mempertimbangkan kondisi seperti ini, rasanya sangat perlu dilakukan pembinaan ikhwan yang memiliki multiflying effect. Selanjutnya Bu Badi’ah berkoordinasi dengan Pak Gerilyansyah (Pak Igur), selaku Ketua Korwil Kalsel YSB Ponpes Suryalaya. Tawaran Ust. Wahfiudin untuk mengadakan pelatihan bagi ikhwan TQN setahun yang lalu, sepertinya cocok diterapkan pada masa ini. Bu Badi’ah dan Pak Igur pun langsung berkoordinasi dengan Ust. Wahfiudin di Jakarta.

Demikianlah, semua rencana dipersiapkan dengan matang. Semua potensi, meski sangat terbatas, dikerahkan semaksimal mungkin. Tempat pelatihan dan semua perlengkapan pendukung, Pak Igur yang bertanggungjawab. STIA Bina Banua yang diketuai Pak Igur mendukung penuh kegiatan ini. Rekrutmen, konsumsi, handout dan sertifikat peserta juga tiket Jakarta-Banjarmasin Tim Pelatih, Bu Badi’ah yang mengkoordinir.

Ust. Wahfiudin dan RADIX di Jakarta pun bergerak. Lobbying dilakukan dengan Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Banjarmasin. Atas persetujuan Kantor Pusat di Jakarta, dikucurkanlah dana sponsorisasi kegiatan pelatihan tersebut.

Semuanya berjalan begitu mudah. Tahap demi tahap persiapan bergulir laksana arus air yang mengalir deras dari hulu ke hilir. Hal ini menyiratkan restu guru Mursyid begitu nyata. Pangersa juga bekerja di balik kemudahan-kemudahan ini. Ikhwan hanya bertugas menjalankan proses dari satu titik ke titik lainnya. Sedangkan beliau, melalui kedekatannya dengan Sang Maha Menentukan menjadi pemeran utama terselenggaranya kegiatan pelatihan. Allahu Akbar. Semoga Allah mensucikan ruhnya. Semoga Allah SWT semakin meningkatkan kualitas qurbah beliau kepada-Nya.

Hari yang direncanakan pun tiba. Tujuhpuluhan peserta telah hadir di ruang pelatihan. Sebagian besar muballigh dan muballighah serta pegawai negeri sipil dari Departemen Agama, ada juga beberapa mahasiswa. Pelatihan kemudian resmi dibuka oleh Ketua Umum YSB Ponpes Suryalaya Pusat yang baru saja diangkat pertengahan Nopember yang lalu. Kedatangan beliau ke Banjarmasin pun melalui proses yang tidak direncanakan sebelumnya. Siratan-siratan ide datang begitu saja melalui qalbu dua wakil talkin yang terus berkoodinasi pada masa-masa persiapan pelatihan tersebut, Ajengan Jejen dan Ust. Wahfiudin.

Senin sore, di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Marsekal Muda (Purn.) Mahfudin Taka dihubungi oleh Ajengan Jejen melalui komunikasi telpon selular. Diceritakanlah rencana mereka untuk berkunjung ke Banjarmasin melakukan pembinaan ikhwan. Dan tim berencana mengajak serta ketua YSB. Sempat terkesan suara bingung dan ragu dari sang ketua, tetapi ketika diinformasikan oleh Ust. Wahfiudin semua sudah dipersiapkan, akhirnya beliau bersedia bergabung. Pak Taka kemudian terbang bersama Garuda ke Banjarmasin pada penerbangan pertama selasa pagi.

Allah Maha Perencana, semuanya sudah diatur. Meski panitia Banjarmasin tidak merencanakan, tetapi toh Allah sengaja mengirimkan ‘tentara’-Nya sebagai wujud ridho-Nya. Alhasil, pelatihan pun resmi dibuka oleh Ketua YSB Ponpes Suryalaya Pusat. Terharu dan bangga menyelimuti perasaan para peserta. Daerah mereka dikunjungi oleh orang-orang penting dari Ponpes Suryalaya dan melalui mereka pula cahaya ilmu Allah SWT akan memancar.

Namun dibalik itu semua, patut pula kita berterimakasih kepada Bu Badi’ah. Berkat kemauan kerasnya pelatihan bisa terselenggara di Banjarmasin. Bu Badiah tidak sendirian. Beliau dibantu oleh anak-anaknya yang mendukung penuh secara moral dan materil. Terimakasih Bu Badi’ah, terimakasih warga Banjarmasin. Cahaya petunjuk Allah semoga tetap terlimpah ruah untuk seluruh peserta pelatihan dan para panitia yang mendukung kegiatan tiga hari itu. Semoga pula dari tujuhpuluhan peserta yang hadir tumbuh kader-kader baru penggerak TQN yang militan dan memiliki ghirah dakwah yang besar. Agar cita-cita para pendahulu Muslim di tanah Banjarmasin terwujud.

Meruya, 11 Dzulhijjah 1429 H
9 Desember 2008 M

Selasa, Desember 09, 2008

Gerilyansyah Basrindu, Ketua YSB Korwil Kalsel

Ada banyak kenangan indah ketika kami bertandang ke Banjarmasin, 24 – 27 Nopember 2008 yang lalu. Tuan rumah, Bapak Gerlyansyah Basrindu yang akrab dipanggil Pak Igur, sosok bapak yang sangat ramah dan cepat beradaptasi. Padahal, kami belum lama mengenal beliau. Seingat kami, kita ketemuan saat ada training untuk sebuah perbankan syariah papan atas di kota yang sama tahun lalu.

Pak Igur merupakan tokoh penting di Banjarmasin. Banyak public figure Banjarmasin yang menjadi rekanannya, tidak sekadar ‘say hello’ atau kenal lewat ajudan. Bahkan banyak yang sudah sangat dekat seperti keluarga. Tidak heran jika ada acara-acara seremonial di kampus yang ia pimpin, STIA Bina Banua, banyak pejabat teras turut hadir sebagai tamu kehormatan. Cerdas sosial, dua kata itu agaknya tepat disandang Pak Igur. Selain sebelumnya beliau telah mendapatkan nama bagus, Syaifudin, dari sang guru mursyid di Suryalaya, Tasikmalaya.

Sore itu, sekitar pukul 17 lebih WITA, Pak Igur sudah menunggu rombongan dari Jakarta yang akan bertugas memberikan pembinaan pada komunitas muslim Banjarmasin. Rombongan yang dipimpin oleh Ajengan Zezen dan Ust. Wahfiudin ini berjumlah lima orang, termasuk penulis. Pak Igur sudah siap dengan Toyota Kijang Kapsul 1996nya. Rombongan yang baru saja mendarat di Bandara Syamsuddin Noer, dengan segera masuk ke dalam kapsul silver itu. Agak sesak memang. Namun, tidak berapa lama ternyata mobil penjemput lain tiba. Akhirnya sebagian rombongan hijrah ke mobil yang baru datang itu.

Setengah jam berlalu ketika kami tiba di penginapan. Sebuah guest house yang lumayan nyaman, tapi sayang nggak ada liftnya. Penulis dan seorang rekan kebagian kamar di lantai paling atas. Kebayang deh, capeknya. Tapi nggak apa-apa, sekalian fisioteraphy untuk kaki yang setahun lalu mendapat musibah. Alhamdulillah kedua kaki bagus ini masih diselamatkan Allah.

Penat belum hilang, tugas sudah menghadang. Rekan penulis yang baru selesai tugas training di Rantau Prapat kelihatan lelah sekali. Dia butuh istirahat. Ya, sudah akhirnya penulis dan Kang Ibnu – ajudan Ajengan Jejen – berangkat ke ruang training di Kampus STIA Bina Banua. Masih di dalam Kijang Kapsul Silver, Pak Igur setia mendampingi kami di belakang stir. Nuraniku bicara, “Hmm, bapak satu ini luar biasa. Padahal dia orang nomor satu di kampusnya. Bisa saja ia menyuruh bawahannya untuk tugas kecil seperti ini. Tapi, itulah Pak Igur.”

Tiba di kampus, kami langsung menuju ruang training. Sebuah aula serbaguna sederhana yang disulap menjadi ruang training berkapasitas seratus orang. Setting perlengkapan audio, layar dan projector, backdrop, tata kursi kemudian dengan cepat dilakukan. Sebuah rutinitas persiapan training yang sudah berulangkali dilaksanakan, sesuai SOP yang kantor bikin. Lewat maghrib, pekerjaan selesai. Lumayan lelah dan mandi keringat.

Letih sore itu nyatanya mengandung hikmah yang luar biasa. Pak Igur yang datang kembali ke kampus setelah menjemput istrinya, membawa kami ke sebuah rumah mungil dan asri di kawasan perumahan Bunyamin. Sebuah kediaman putra Ibu Badi’ah (istri almarhum Prof. Jurkani Yahya). Di rumah mungil itu telah menanti Ajengan Jejen dan Ust. Wahfiudin serta rekan kami. Tibanya kami serta merta menimbulkan ajakan tuan rumah untuk langsung menuju ruang makan. “Eh, tau aja tuan rumah. Lagi lapar-lapar gini diajak makan. Alhamdulillah,” seruku dalam hati.

“Woww…!!!” Penulis terkejut dengan hidangan di depan mata. Menu seafood ala Banjarmasin tertata rapi dan mengundang syahwat bathni (baca : perut yang keroncongan). Udang Gala berwarna merah dan Ikan Gurame Bakar menarik-narik air liur yang seperti ingin cepat-cepat menyeruak keluar dari dalam mulut. Apalagi sambalnya. Hmm… Dahsyat… Luar Biasa. Malam itu, sepertinya tuan rumah benar-benar tahu kondisi kami.

Suasana makan malam yang sangat berkesan. Peluh mengalir deras dari pelipis. Saking semangatnya menyantap Udang Gala dan Ikan Bakar. Seloroh kecil datang dari lisan Ust. Wahfiudin, “Saya, kalo makan sampai keluar keringat deras dari wajah, tandanya selera makan saya sangat cocok dengan menu yang disantap. Makanan malam ini sangat luar biasa. Tuan rumah emang paling bisa bikin senang tamu.”

Begitulah coretan kecil saat kami berkunjung ke Banjarmasin. Kami mendapatkan service istimewa dari Pak Igur dan keluarganya, juga Bu Badi’ah dan keluarganya. Makan malam itu menjadi motivator kami untuk semakin bersemangat melatih kawan-kawan tiga hari berikutnya.

Rawamangun, 5 Desember 2008

Rabu, Desember 03, 2008

7 Tahun Berjuang Sebelum Bertemu Guru Ruhani


SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. berusia delapan belas tahun ketika tiba di kota Baghdad. Saat tiba di gerbang kota, Nabi Khidir muncul dan melarangnya memasuki kota itu selama enam tahun. Kemudian Khidir membawanya ke sebuah bangunan tua dan berkata, “Tinggallah di sini dan jangan pergi meninggalkan tempat ini.”

Akhirnya SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. menetap di sana selama tiga tahun. Setiap tahun Khidir datang dan memerintahkannya menetap di sana. Mengenai pengalamannya di tempat itu SYEKH ABDUL QADIR AL JAILANI Q.S. bercerita :

Selama menetap di padang pasir di luar Bagdad, semua yang kulihat hanyalah keindahan dunia. Semuanya menggodaku. Namun, Allah melindungiku dari godaannya. Setan, yang muncul dalam berbagai paras dan rupa, terus mendatangiku, menggoda, mengusik bahkan menyerangku. Allah selalu menjadikanku sebagai pemenang. Hawa nafsuku pun datang setiap hari dengan paras dan rupa diriku sendiri memohon agar aku sudi menjadi sahabatnya. Ketika kutolak, ia menyerangku. Allah menjadikanku sebagai pemenang dalam setiap peperangan tanpa henti ini. Aku berhasil menjadikannya sebagai tawananku selama bertahun-tahun dan memaksanya tinggal di bangunan tua di padang pasir itu.

Selama beberapa tahun aku hanya memakan rumput-rumputan dan akar-akaran yang dapat kutemukan. Selama itu pula aku tak pernah minum. Tahun berikutnya, aku hanya minum tak makan apa-apa. Dan tahun berikutnya aku tak makan, tak minum, bahkan tak tidur.

Aku tinggal di bangunan tua istana raja-raja Persia di Karkh. Aku berjalan bertelanjang kaki di atas duri-duri padang pasir dan tak merasakan apa-apa. Aku terus berjalan. Setiap kali kulihat tebing, aku mendakinya. Tak sedikit pun kuberikan kesempatan kepada hawa nafsuku untuk beristirahat atau merasa nyaman.

Di akhir tahun ketujuh, pada suatu malam aku mendengar satu suara menyeru, “Hai Abdul Qadir, kini kau dapat memasuki Baghdad.”

Akhirnya, kumasuki kota Baghdad dan tinggal di sana selama beberapa hari. Namun, aku tak tahan menyaksikan kemaksiatan, keseatana dan kelicikan yang merajalela di kota itu. Agar terhindar dari pengaruh buruknya, aku pergi meninggalkan Bagdad dengan hanya membawa al-Qur’an.

Namun, ketika di gerbang kota itu untuk kembali menyendiri di padang sahara, kudengar satu suara berbisik, “Kemana kau akan pergi?” katanya, “Kembalilah, kau harus menolong masyarakat.”

“Kenapa harus kupedulikan orang-orang bobrok itu?” seruku lantang, “Aku harus melindungi imanku.”

“Kembalilah, dan jangan khawatirkan imanmu,” Bisikan suar itu terdengar lagi. “Tak ada sesuatu pun yang akan membahayakan dirimu.”

Aku tak dapat melihat siapa gerangan yang bicara itu.

Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Entah apa yang mendorongku, tiba-tiba aku bertafakur. Seharian aku berdoa kepada Allah, semoga Dia berkenan membukakan tabir diriku sehingga mengetahui apa yang harus kulakukan.
Hari berikutnya, ketika aku mengembara di pinggiran Bagdad, di sekitar Muzfariyah, seorang lelaki, yang tak pernah kukenal sebelumnya, membuka pintu rumahnya dan memanggilku, “Hai Abdul Qadir!”

Ketika berada tepat di depan rumahnya, ia berkata “Katakan kepadaku apa yang kau minta kepada Allah? Apa yang kau do’kan kemarin?

Aku diam terpaku. Tak dapat kutemukan jawaban. Orang itu menatapku. Lalu tiba-tiba membanting pintu dengan sangat keras sehingga debu-debu berterbangan dan mengotori nyaris seluruh tubuhku. Aku pergi sambil bertanya-tanya apa yang kuminta kepada Allah sehari sebelumnya. Aku berhasil mengingatnya, lalu kembali ke rumah orang itu untuk memberikan jawaban. Namun, rumah tadi tak dapat kutemukan, begitu pun orang itu. Rasa takut meneyelubungiku. Pikirku, ia tentu orang yang dekat kepada Allah. Kelak, aku mengetahui bahwa orang itu adalah Hammad al Dabbas, yang kemudian menjadi guruku.

Syekh Tosun Bayrak, Mengenal Sang Sultan Aulia
The Secret of Secrets, Hakikat Segala Rahasia Kehidupan, Syekh Abdul Qadir Al Jailani

Selasa, Desember 02, 2008

Istri Kerja Suami Merana

Pagi itu Galih tidak bisa konsentrasi menyelesaikan tulisannya yang telah deadline. Pikirannya dipenuhi suara-suara sedih kawan dekatnya yang semalaman telepon. Aris, kawan dekatnya ini sedang galau. Dia sedih dengan kondisi keluarganya akhir-akhir ini. Apalagi Aris sebagai kepala rumah tangga merasa tidak mampu mengendalikan bahtera yang telah ia layari selama 7 tahun ini.

Betapa tidak, sudah tiga tahun belakangan ia menganggur. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh pabrik di kawasan industri Cikarang. Tetapi, di penghujung tahun 2005 yang lalu ia kena PHK. Kontraknya di pabrik itu telah selesai. Ia telah mengajukan lamaran ke berbagai pabrik dan kantor. Tidak hanya di sekitar Cikarang, bahkan merambah ke Jakarta. Tapi apa daya, belum ada pabrik dan kantor yang mau menerimanya bekerja.

Berbeda dengan Rina, istrinya yang memiliki karir bagus. Setelah Aris terkena PHK, Rina berusaha membantu mengurangi bebannya dengan ikut melamar kesana kemari. Rejeki memang datang begitu cepat kepada istrinya. Baru sekali melamar ke kantor bank swasta di Jakarta, ia langsung diterima. Memang, kebetulan ada orang dalam yang masih saudara dekat istrinya itu.

Rina diterima sebagai tenaga marketing. Ia sangat mudah menyesuaikan diri. Rina tenaga marketing yang smart, banyak nasabah yang terpesona dan merasa puas dengan service Rina. Atasannya begitu percaya kepadanya, hingga proyek-proyek besar banyak ditanganinya. Dua tahun berikutnya ia menjadi Manager Marketing. Penghasilan pun beranjak naik.

Lain di kantor, lain di rumah. Kesibukan di kantor menyita waktu dan tenaga Rina. Jabatannya sebagai manajer membuat ia selalu pulang hampir larut malam. Beragam meeting harus ia hadiri. Kondisi ini membuat Rina tidak bisa mengurusi rumah tangga. Anak satu-satunya yang berusia 5 tahun ia titipkan kepada Aris, suaminya. Segala kebutuhan rumah tangga kini dikelola oleh Aris. Dari urusan mencuci baju, menyapu dan mengepel lantai, memasak dan mengantar anak mereka sekolah di TK diserahkan kepada Aris.

Lama kelamaan Aris mulai ‘nggak enak hati’. Aris merasa diperbudak oleh istrinya, meski Rina tidak pernah eksplisit ‘menyuruh ini itu’ kepada Aris. Tapi ego kelaki lakiannya terusik. Ingin ia berontak dan membalik kondisi ini, tapi dia tidak berdaya. Akhirnya ia hanya bisa ‘curhat’ kepada Galih, teman dekatnya.

Galih yang tekun mendengar keluh kesah Aris jadi bingung sendiri. Ia tidak bisa memberikan solusi terbaik kepada Aris kecuali menyarankan untuk terus berusaha melamar kerja ke kantor-kantor lain atau membuat usaha sendiri, walaupun kecil-kecilan. Sambil terus diiringi dengan memperbanyak shalat dan doa.

Dasar penulis, Galih mencoba menulis artikel berkenaan kondisi rumah tangga Aris. Kebetulan ia kebagian membuat jurnal ‘Polemik Keluarga’ di harian tempatnya kerja. Untuk melengkapi data-data hukum perkawinan dalam Islam, ia harus bertanya kepada gurunya.

Lelaki Pesolek

Galih sedang sibuk di depan laptopnya di sebuah kafe kopi kenamaan di bilangan Kelapa Gading. Segelas kopi hangat menemaninya. Berkali-kali ia mencium aroma harum minyak wangi dari beberapa pengunjung kafe yang hilir mudik. Sebagian besar pengunjung adalah pria-pria perlente karyawan kantor di kawasan tersebut.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah suara yang memanggil namanya. Kedengarannya sangat familiar. “Hei Guys…, Lagi ngapain lo di sini?” panggil si punya suara sambil memukulkan tangannya ke pundak Galih dari arah belakang. Galih menengok, “Hai John, apa kabar? Keren Lo! Elo ngantor di sini?” Jawab Galih sambil berdiri. Ternyata yang menyapa Galih adalah kawan lamanya, John semasa di SMA. Lalu Galih dan John terlibat obrolan panjang mengenang masa-masa indah mereka di SMA.

Galih terpesona dengan tampilan John sekarang. Beda dengan gayanya waktu di SMA dulu. John waktu di SMA rambutnya gondrong. Bagian bawah kemeja seragam hampir tidak pernah dimasukkan ke celana. Celana abu-abu sering dibiarkan bolong-bolong di lutut.. Bagian bawahnya sengaja di lepas jahitannya untuk sekadar meninggalkan kesan santai. Sepatu kets tanpa kaos kaki tidak pernah lepas dari kedua kakinya yang berukuran 43.

Kini, John berpenampilan eksekutif muda. Potongan rambutnya pendek dan tersisir rapi. Terlihat percikan sinar kecil-kecil pada permukaan helai-helai rambut yang memantul akibat polesan minyak rambut. Wajahnya putih bersih. Tampak polesan bedak tipis menghiasi pipi yang licin. Bekas cukuran kumis dan jenggot di atas dan di bawah bibir yang kehijauan menambah kesan ‘cantik’ sosok John. Kedua bibirnya berwarna merah, terkesan polesan tipis ‘lipstik’ yang sering digunakan kaum wanita.

Galih berpikir, jangan-jangan John sudah berganti kelamin sekarang. Tetapi ia heran, John masih berpakaian ala laki-laki tulen. Sikapnya tetap macho. John tidak menampakkan kesan gemulai. Gaya bicaranya sangat mengesankan, kadang meledak-ledak diselingi guyonan ringan, kadang serius tapi santai.

John dengan senyumnya yang lebar akhirnya berpamitan pada Galih. Ia berencana menemui rekan bisnisnya di kafe itu. Sambil bertukar nomor telepon John menyarankan Galih untuk melanjutkan komunikasinya di lain waktu. Akhirnya mereka berpisah.

Tinggal Galih termenung sendirian. Ia masih memikirkan penampilan John. Galih melebarkan pandangannya ke seluruh ruangan kafe itu. Ternyata tidak hanya John yang berpenampilan kelimis dan dihiasi ‘asesoris’ ala wanita.

Galih ingin menuangkan pengalaman barunya ke dalam laptop. Tapi ia ingin tahu mengapa mereka berpenampilan seperti itu. Dari jauh ia memperhatikan tingkah laku para eksekutif muda di hadapannya yang sedang menikmati kopi-kopi hangatnya. Galih berusaha mencari jawabannya.

Tetapi ia juga perlu tahu, apakah Islam memperbolehkan laki-laki berpenampilan seperti John. Dan untuk hal-hal yang berkaitan dengan hukum Islam Galih harus bertanya kepada ahlinya. Akhirnya ia pergi ke ustadz yang biasa ia sambangi.